Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Minggu, 09 Februari 2014

Antares Bima

Sudah baca cerita-cerita sebelumnya? Ini dia:

Kenalan, Yuk!
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Balas Kangenku, Dong!
Cintaku Mentok di Kamu 
Untuk Kamu, Apa Sih yang Nggak Boleh?
Catatan Stella: Menanti Lamaran
Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh
Jangan Kemana-mana, di Hatiku Saja

Situasi  memanas di negeri ini.

Berawal dari berita menggemparkan, tentang ditemukannya jenazah enam jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya. Aku dan Antares melihat foto-foto jenazah menyedihkan, yang diekspos di surat kabar Berita Yudha. TVRI dan RRI tak henti-hentinya menyiarkan berita bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa biadab pada 30 September itu..

Gelombang  kebencian terhadap apapun yang berbau PKI merebak di mana-mana. Kantor-kantor  komisariatnya dirusak atau dibakar massa. Orang-orang yang dianggap aktivis PKI diseret keluar dari rumah mereka, dibunuh di tempat atau dibawa paksa dan tak terdengar lagi kabar beritanya. Suasana di luar sana mencekam.

Sudah tiga hari ini Antares di rumah saja, tidak berpraktik di rumah sakit ataupun klinik seperti biasanya. Dia melongok lukisanku yang tertutup sehelai kain.

“Apa yang kau lukis kali ini?” Tangannya terulur, menyibak kain itu.

“Jangan dibuka!” sergahku. Dia tahu, aku tidak pernah mau memperlihatkan karyaku yang belum selesai pada siapapun. “Masih rahasia.”

Lengan Antares, yang baru berhasil membuka sebagian kain penutup, mematung. Dia menatapku, kecewa sekaligus penasaran. Aku mengusirnya kembali ke sofa, lalu meneruskan melukis.

Dering telepon terdengar. Siapa pula, larut malam begini?

“Aku saja,” kata Antares, beranjak untuk mengangkatnya. Tak lama, ia kembali padaku dengan wajah keruh. Apa ini karena telepon barusan?

“Siapa, Res?”

“Widya. Dia panik... Anwar baru saja diculik oleh orang-orang tak dikenal. Mereka menuduhnya terlibat peristiwa 30 September, hanya karena dia anggota Lekra.”

Aku menjatuhkan kuasku. Ya Tuhan... Widya dan suaminya, Anwar, adalah teman dekat kami.

“Setahuku Anwar memang ikut organisasi underbouw PKI itu... tapi terlibat pembunuhan? Mustahil,” bisikku, “tidak adil, menuduhnya begitu tanpa bukti! Lagipula, siapa orang-orang ini, menculik seenaknya? Mengangkat diri mereka sendiri sebagai hakim jalanan.”

“Kebencian dan prasangka bisa membutakan, Ambar.”

Kami tenggelam sejenak dalam pikiran masing-masing.

“Bilang pada Widya untuk kemari. Dia lebih aman bersama kita, daripada sendirian.”

Antares menggeleng. “Lebih baik kujemput dia ke rumahnya.”

“Jangan gila, Res!” Aku mencengkeram lengannya, menahannya tetap di sisiku, “Di luar sana sedang kisruh. Bagaimana kalau... Kalau terjadi apa-apa padamu?”

Ada sebersit ketakutan dalam suaraku. Anehnya, Antares malah tersenyum senang.

“Kau mengkhawatirkanku?”

Aku mendengus, merasakan wajahku memanas.

“Mungkin.”

“Oh... Ya sudah, berarti tidak apa-apa kalau aku pergi kan.”

Aku baru menyadari kerutan manis di sudut matanya, yang muncul saat dia tertawa seperti sekarang. Tapi itu tidak melenyapkan kecemasanku sama sekali. Aku duduk terdiam, melihatnya mondar-mandir mengambil mantel tipis, kunci mobil, dan menyuruh Damar menyiapkan Ford Convertible-nya.

“Paling tidak tunggulah sampai terang tanah, Res. Jangan selarut ini.”

Dia berlutut di depanku. Diangkatnya daguku lembut, memaksaku untuk balas menatapnya.

“Aku akan kembali, doakan saja. Ya?”

Malam itu adalah malam terpanjang yang pernah kuingat.

Aku masih duduk tegak di kursi yang sama, berharap akan mendengar deru mesin Ford yang kukenal, menandakan kepulangan Antares. Aku berharap dia akan muncul di ambang pintu beranda sambil tersenyum, menenangkan gelisahku dengan keteduhan matanya.

Tapi, yang kulihat datang padaku adalah Antares yang tersaruk bersimbah darah. Wajahnya pucat pasi. Senyumnya ternoda oleh seringai kesakitan. Tepat saat tubuhnya ambruk di hadapanku, aku terbangun dari mimpi buruk itu.

"Mama..." Abimanyu, masih terbalut piyama dan rambut yang berantakan, menyentuh pipiku yang basah oleh airmata. "Mimpi buruk ya?"

Butuh waktu beberapa saat sebelum napasku yang memburu kembali tenang. Abimanyu menghiburku dengan sebuah pelukan.

"Aku pernah nangis. Gara-gara mimpi buruk. Tapi kata Papa itu cuma mimpi. Mimpi tidak bisa menyakiti siapa-siapa. Jadi aku harus berani," tuturnya polos.

Aku ingin benar mempercayainya. Itu hanya mimpi buruk. Tak lebih.

Aku mengantar putraku kembali ke kamarnya, lalu memberinya ciuman di dahi. “Mama tidak takut lagi,” bisikku. Abimanyu tersenyum, kedua matanya sudah kembali terpejam.

Bohong.

Aku bahkan terlalu takut untuk tidur. Aku takut akan bermimpi buruk lagi tentang Antares.

Siaran terakhir RRI sudah selesai sejak tadi, tapi aku membiarkan radio itu tetap menyala. Aku berharap, setidaknya suara desis monoton benda itu bisa meredam bisik-bisik kecemasan di benakku. Aku duduk, kali ini di depan kanvasku yang tertutup kain. Kusingkap kain itu hingga jatuh ke lantai.

Di atas kanvas itu, terlukis dengan sapuan cat minyak, sebuah padang yang tertutup rerumputan dan bunga-bunga liar. Di sana, berdiri seorang lelaki, memandangi matahari yang setengah tenggelam di cakrawala. Langit yang menaunginya jingga sempurna. Lelaki itu sudah lama menunggu di sana, sejak langit masih biru dan dihiasi sekumpulan awan.

Lukisan ini belum selesai. Masih ada yang kurang. Maka, aku memutuskan untuk membunuh ketakutanku dengan melukis.

Aku larut dalam ketenangan cukup lama, sampai kudengar suara mesin mobil yang kukenal memasuki pekarangan. Antares!

Aku menghambur keluar. Ford merah itu penyok di beberapa bagian, dan kaca-kaca jendelanya pecah. Damar keluar dari pintu pengemudi, menghampiriku dengan badan luka-luka dan wajah pucat. Mataku bergerak nyalang mencari sosok Antares.

“Bu Ambar...”

“Damar, mana suami saya?” tanyaku. “Dia harusnya pulang ke sini. Mana Widya?”

“Bu Widya... sudah tewas, Bu.”

Aku merasa bibirku bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.

“Saat kembali ke sini, kami dicegat di Kramat Raya... Mereka.. menyeret kami keluar... lalu memukuli...”

“Suami saya," selaku tak sabar, "dia bagaimana??”

“Bapak di rumah sakit Cipto, Bu. Kondisinya kritis.”

*


Posted via Blogaway


Posted via Blogaway

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentarnya :)