Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia:
Kenalan, Yuk!
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Balas Kangenku, Dong!
Cintaku Mentok di Kamu
Untuk Kamu, Apa Sih yang Nggak Boleh?
Catatan Stella: Menanti Lamaran
Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh
Aku menyeret langkahku menuju pesawat telepon, dengan robekan surat cinta itu di tanganku. Jika bukan Nenek Stella yang menulisnya untuk Kakek, lantas siapa? Telepon malam itu, siapa yang memulainya? Kakek, ataukah sosok misterius di ujung lainnya?
Benakku dipenuhi dugaan, dan aku akan mencari jawabannya.
Aku mengangkat gagang telepon, menekan tombol redial.
“Terima kasih sudah menghubungi Rumah Sakit Kencana Med...”
Klik!
Ah, ya. Belum ada yang memakai telepon ini sejak seminggu lalu, saat aku mencoba menghubungi ambulans.
Aku harus mencoba cara lain.
“Bisa saya minta print-out panggilan keluar dari nomor telepon rumah kami? Tagihan bulan ini membengkak, entah kenapa.”
Lelaki di depanku tersenyum penuh pengertian, lalu mencarikan data di komputernya untukku.
“Ini hasil print-out pemakaian telepon November 2012, Mbak.”
"Terima kasih banyak."
Aku menyimpan kertas itu, lalu buru-buru kembali ke rumah sakit. Aku harus menemani Kakek, menggantikan Ibu yang akan pulang beristirahat di rumah. Tadi Ibu meneleponku, mengabari bahwa Kakek sudah boleh dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan biasa. Syukurlah... Masa kritisnya sudah berlalu.
“Apa kabar, Kek?” Aku menggenggam tangan keriputnya, yang tidak dipasangi infus. “Nyenyak tidurnya semalam?”
Kakek tersenyum, memperlihatkan kerut-merut di wajahnya yang kusukai. Dia mengangguk di atas bantalnya. Aku membalas senyumnya.
“Pagi ini kamu cantik sekali. Kamu selalu cantik, Ambar...”
Senyumku menggantung canggung di sudut bibirku. Aku terbiasa tidak dikenali oleh kakekku sendiri, juga terbiasa mendengarnya menyebut nama-nama orang yang tak pernah kudengar sebelumnya. Bisa jadi mereka kawannya di masa lalu. Atau lawan.
Atau mungkin nama-nama itu tak pernah nyata, dan hanya ada dalam kabut memorinya?
“Ini Tiara, Kek... Cucu Kakek.”
“Ooh. Bukan Ambar ya?”
Aku menatap raut kecewanya, sedikit penasaran.
“Siapa Ambar, Kek?”
Senyum Kakek berubah lain saat aku menyebut nama itu. Seperti senyum seseorang yang bahagia saat nama kekasihnya disebut.
“A for Ambar.
“But no longer,
not anymore.
Senyumnya mendadak lenyap, digantikan sedu sedan yang memilukan. Entah kenapa.
“Jangan, jangan kemana-mana, Ambar,” gumamnya sedih, “tinggallah untukku, di sini...”
Aku berusaha menenangkan Kakek, membisikkan di telinganya bahwa aku ada di sini menemaninya. Bahwa kami akan membawanya pulang begitu dia sembuh. Perlahan-lahan, Kakek tertidur. Aku mengecup dahinya, lalu keluar sejenak menuju taman, di mana aku bisa mengecek hasil print-out yang kudapat.
Aku berhenti mencari di baris kesebelas.
Tanggal 30 November 2012, pukul 01.53, ada satu panggilan berdurasi duabelas menit ke nomor +622113121110
Setengah berspekulasi, kuhubungi nomor itu dengan ponselku, lalu menunggu.
Dering pertama. Dering kedua. Sampai dering kelima...
“Halo?”
Suara seorang perempuan menyambutku, sedikit bergetar, tapi terdengar lembut dan simpatik. Suara yang seharusnya menenangkan siapapun pendengarnya.
Tapi aku disergap panik. Ini adalah drama yang sama sekali tak direncanakan. Aku tak punya plot untuk diandalkan, atau naskah untuk dihapal. Hanya firasat yang menuntunku sampai sejauh ini.
“Halo?” Suara itu menyapa lagi.
Aku tak bisa mundur lagi.
“H-halo? Bisa saya bicara dengan... Abimanyu Prasetya?”
“Dari siapa ini?”
“Ini... Tiara, temannya.”
“Teman di mana ya?”
Aku mulai gelisah dengan interogasi ini, tapi terpaksa memutar otak. Aku bahkan tak tahu wujud Abimanyu Prasetya seperti apa.
“Teman... kuliahnya.”
“Ooh, teman satu jurusan ya, akuntansi?”
“Ya, betul...”
Sekilas terdengar suara dengusan di ujung sana.
“Kalau begitu kamu salah sambung, Tiara. Abimanyu yang ini tidak pernah ambil jurusan akuntansi kok. Sudah ya main-mainnya, selamat siang...” tandas perempuan itu, membuatku mati kutu.
“Tunggu!” teriakku, sebelum dia sempat memutuskan sambungan, “Tolong bilang padanya, ini penting! Ini tentang kakek saya, Bahtiar.”
Bunyi kemeresak itu muncul lagi.
“Bahtiar, katamu?”
“Ya. Anda kenal kakek saya?” tanyaku, setengah berharap.
“Kamu... cucunya?”
“Ya.”
“Bahtiar...” Perempuan itu menarik napas panjang. Amat panjang. “Apa kabarnya, dia?”
“Dia... Sedang dirawat di rumah sakit. Serangan jantung. Bisa saya menemui Anda? Ada yang ingin saya tanyakan, tentang kakek saya.”
“Rumah sakit? Di mana? Kita bertemu di sana saja,” perempuan itu terdengar sungguh-sungguh.
“Jangan bilang dulu pada Bahtiar soal ini,” dia mencamkan kalimat itu, “nanti dia berharap untuk dijenguk. Aku... mungkin tak akan menemuinya nanti.”
“Baiklah... Boleh saya tahu... Siapa Abimanyu Prasetya?” kataku, sedikit bernada minta maaf. Tapi sepertinya kelancanganku tidak mengganggunya.
Hening sejenak.
“Dia putraku.”
“Ooh,” informasi itu masih tak berarti apa-apa bagiku, “dia akan datang juga nanti sore?”
Kuharap begitu.
“Yah... Lihat saja nanti.”
“Dan, siapa nama Anda?” tanyaku terakhir kalinya, sebelum pembicaraan kami usai.
“Aku? Namaku Ambar.”
Kenalan, Yuk!
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Balas Kangenku, Dong!
Cintaku Mentok di Kamu
Untuk Kamu, Apa Sih yang Nggak Boleh?
Catatan Stella: Menanti Lamaran
Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh
Aku menyeret langkahku menuju pesawat telepon, dengan robekan surat cinta itu di tanganku. Jika bukan Nenek Stella yang menulisnya untuk Kakek, lantas siapa? Telepon malam itu, siapa yang memulainya? Kakek, ataukah sosok misterius di ujung lainnya?
Benakku dipenuhi dugaan, dan aku akan mencari jawabannya.
Aku mengangkat gagang telepon, menekan tombol redial.
“Terima kasih sudah menghubungi Rumah Sakit Kencana Med...”
Klik!
Ah, ya. Belum ada yang memakai telepon ini sejak seminggu lalu, saat aku mencoba menghubungi ambulans.
Kujejalkan surat
itu di saku jaketku, lalu mengemudikan New CRV abu-abu metalik Ayah ke suatu
tempat.
“Bisa saya minta print-out panggilan keluar dari nomor telepon rumah kami? Tagihan bulan ini membengkak, entah kenapa.”
Lelaki di depanku tersenyum penuh pengertian, lalu mencarikan data di komputernya untukku.
“Ini hasil print-out pemakaian telepon November 2012, Mbak.”
"Terima kasih banyak."
Aku menyimpan kertas itu, lalu buru-buru kembali ke rumah sakit. Aku harus menemani Kakek, menggantikan Ibu yang akan pulang beristirahat di rumah. Tadi Ibu meneleponku, mengabari bahwa Kakek sudah boleh dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan biasa. Syukurlah... Masa kritisnya sudah berlalu.
“Apa kabar, Kek?” Aku menggenggam tangan keriputnya, yang tidak dipasangi infus. “Nyenyak tidurnya semalam?”
Kakek tersenyum, memperlihatkan kerut-merut di wajahnya yang kusukai. Dia mengangguk di atas bantalnya. Aku membalas senyumnya.
“Pagi ini kamu cantik sekali. Kamu selalu cantik, Ambar...”
Senyumku menggantung canggung di sudut bibirku. Aku terbiasa tidak dikenali oleh kakekku sendiri, juga terbiasa mendengarnya menyebut nama-nama orang yang tak pernah kudengar sebelumnya. Bisa jadi mereka kawannya di masa lalu. Atau lawan.
Atau mungkin nama-nama itu tak pernah nyata, dan hanya ada dalam kabut memorinya?
“Ini Tiara, Kek... Cucu Kakek.”
“Ooh. Bukan Ambar ya?”
Aku menatap raut kecewanya, sedikit penasaran.
“Siapa Ambar, Kek?”
Senyum Kakek berubah lain saat aku menyebut nama itu. Seperti senyum seseorang yang bahagia saat nama kekasihnya disebut.
“A for Ambar.
B for Bahtiar.
A and B, they’re supposed to be
together,” celoteh Kakek, seperti mengucapkan sajak anak-anak. Mungkin
sepotong lirik lagu di masa kecilnya dulu? Aku menyimaknya ingin tahu.
“But no longer,
not anymore.
Everything they had was finally over.”
Senyumnya mendadak lenyap, digantikan sedu sedan yang memilukan. Entah kenapa.
“Jangan, jangan kemana-mana, Ambar,” gumamnya sedih, “tinggallah untukku, di sini...”
Aku berusaha menenangkan Kakek, membisikkan di telinganya bahwa aku ada di sini menemaninya. Bahwa kami akan membawanya pulang begitu dia sembuh. Perlahan-lahan, Kakek tertidur. Aku mengecup dahinya, lalu keluar sejenak menuju taman, di mana aku bisa mengecek hasil print-out yang kudapat.
Aku berhenti mencari di baris kesebelas.
Tanggal 30 November 2012, pukul 01.53, ada satu panggilan berdurasi duabelas menit ke nomor +622113121110
Setengah berspekulasi, kuhubungi nomor itu dengan ponselku, lalu menunggu.
Dering pertama. Dering kedua. Sampai dering kelima...
“Halo?”
Suara seorang perempuan menyambutku, sedikit bergetar, tapi terdengar lembut dan simpatik. Suara yang seharusnya menenangkan siapapun pendengarnya.
Tapi aku disergap panik. Ini adalah drama yang sama sekali tak direncanakan. Aku tak punya plot untuk diandalkan, atau naskah untuk dihapal. Hanya firasat yang menuntunku sampai sejauh ini.
“Halo?” Suara itu menyapa lagi.
Aku tak bisa mundur lagi.
“H-halo? Bisa saya bicara dengan... Abimanyu Prasetya?”
“Dari siapa ini?”
“Ini... Tiara, temannya.”
“Teman di mana ya?”
Aku mulai gelisah dengan interogasi ini, tapi terpaksa memutar otak. Aku bahkan tak tahu wujud Abimanyu Prasetya seperti apa.
“Teman... kuliahnya.”
“Ooh, teman satu jurusan ya, akuntansi?”
“Ya, betul...”
Sekilas terdengar suara dengusan di ujung sana.
“Kalau begitu kamu salah sambung, Tiara. Abimanyu yang ini tidak pernah ambil jurusan akuntansi kok. Sudah ya main-mainnya, selamat siang...” tandas perempuan itu, membuatku mati kutu.
“Tunggu!” teriakku, sebelum dia sempat memutuskan sambungan, “Tolong bilang padanya, ini penting! Ini tentang kakek saya, Bahtiar.”
Bunyi kemeresak itu muncul lagi.
“Bahtiar, katamu?”
“Ya. Anda kenal kakek saya?” tanyaku, setengah berharap.
“Kamu... cucunya?”
“Ya.”
“Bahtiar...” Perempuan itu menarik napas panjang. Amat panjang. “Apa kabarnya, dia?”
“Dia... Sedang dirawat di rumah sakit. Serangan jantung. Bisa saya menemui Anda? Ada yang ingin saya tanyakan, tentang kakek saya.”
“Rumah sakit? Di mana? Kita bertemu di sana saja,” perempuan itu terdengar sungguh-sungguh.
Aku menyebutkan nama rumah sakit
itu, beserta alamatnya. Dia akan datang pukul empat sore ke kafetaria. Di
sanalah kami akan berjumpa.
“Jangan bilang dulu pada Bahtiar soal ini,” dia mencamkan kalimat itu, “nanti dia berharap untuk dijenguk. Aku... mungkin tak akan menemuinya nanti.”
“Baiklah... Boleh saya tahu... Siapa Abimanyu Prasetya?” kataku, sedikit bernada minta maaf. Tapi sepertinya kelancanganku tidak mengganggunya.
Hening sejenak.
“Dia putraku.”
“Ooh,” informasi itu masih tak berarti apa-apa bagiku, “dia akan datang juga nanti sore?”
Kuharap begitu.
“Yah... Lihat saja nanti.”
“Dan, siapa nama Anda?” tanyaku terakhir kalinya, sebelum pembicaraan kami usai.
“Aku? Namaku Ambar.”
*
apa yg akan terjadi di kafetaria?
BalasHapus#lanjutin mbaaaa
iyaaa... baru mau nulis lanjutannya. sabar yak... ^.^
Hapusmakin seru, mari lanjutkan mbak :D semangaaaat!!!
BalasHapus\\\^o^///
Hapuslanjutin mba ,nge gantung bacanya hhihihiih...:D
BalasHapuspot kali, mas... ngegantung... :)
Hapuswaah.. jalan-jalan dan ketemu blog asik ini
BalasHapussaya pengen tau loh lanjutan ceritanya.. :)
masih dibikin, mbak Riesna... hehehe (".)>
Hapusmba,, kok lama banget sih lanjutannya :((
BalasHapus