Sudah baca cerita-cerita sebelumnya? Ini dia: Kenalan, Yuk!
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Pernahkah kamu merindukan
seseorang begitu hebatnya sampai hatimu sakit? Yah... Jika orang itu terlarang
untuk dirindukan, sebaiknya jangan. Terlalu menyesakkan. Sungguh.
“Masih pusing, Ambar?”
Aku menolehkan kepalaku yang tersandar
di bantalan jok mobil. Kami baru saja selesai dengan pemeriksaan rutin
kehamilanku di rumah sakit. Aku mengeluhkan pusing dan tungkaiku yang bengkak. Dokter
bilang tekanan darahku agak tinggi, tapi bayiku baik-baik saja. Dia memintaku
untuk kontrol kembali tepat waktu.
Antares meneliti wajahku, mencari
kalau-kalau ada sedikit saja tanda bahwa aku kesakitan.
“Sudah mendingan kok, Res.”
Seolah belum yakin dengan jawabanku,
dia menyentuh keningku dengan telapak tangannya,lalu tampak lega karena tak ada yang salah dengan
suhu tubuhku.
Rasa sakit yang lain muncul di
hatiku; yang kukenali sebagai rasa bersalah tiap kali Antares mencurahkan
perhatian padaku. Mengkhawatirkanku. Di awal pernikahan, ia begitu setia memijiti
bahu dan leherku tiap kali aku terpuruk di depan dudukan toilet, memuntahkan
apapun yang kumakan karena apa yang disebut morning
sickness. Dia juga sabar menghadapiku dan emosiku yang diaduk-aduk oleh
hormon kehamilan.
Yang terpenting: dia mencintaiku
dan bersedia menunggu hingga aku membalasnya.
Istri manapun akan bersukacita dicintai
suaminya.
Tapi, berhakkah aku?
Aku adalah perempuan yang menikah
dengan Antares lantaran terlanjur hamil dan lelaki yang menghamiliku harus
menikahi perempuan lain; yang dihamilinya lebih dulu. Aku menikah dengan
Antares karena dia bersedia melamarku dan aku tak punya pilihan lain.
Tak heran ibu Antares diam-diam tidak
menyukaiku. Jika aku jadi dirinya, aku juga akan membenci aku. Dia merestui
pernikahan kami hanya karena pendirian Antares tentangku tak bisa diubah lagi.
Pada keluarganya, Antares mengakui
bayi di rahimku sebagai anaknya. Hampir semuanya menunjukkan reaksi terkejut
yang sama, tapi aku bisa merasakan ibunya meragukan pengakuan Antares.
Kadang-kadang, ketidaksukaan perempuan separuh baya itu bisa kutangkap lewat
sindiran-sindiran yang menusuk. Saat Antares tidak ada, tentu.
“Berapa usia kandungan Nak Ambar?
Empat bulan? Hmm, bukankah sekitar empat bulan lalu Antares sedang training di
Singapore dan baru pulang dua bulan kemudian?”
“Ibu selalu berharap Antares akan
mendapatkan gadis baik-baik. Aduh, Nak Ambar. Tahu kan, gadis-gadis zaman
sekarang. Lihai memikat dan menjebak lelaki agar terpaksa menikahi mereka.
Bukan Nak Ambar, tentu saja...”
Putranya tak pernah tahu. Aku
menyimpan kata-kata itu untukku sendiri; menerimanya sebagai hukuman karena sudah
merebut putra kesayangannya dari gadis baik-baik manapun yang bisa dia harapkan
sebagai menantu.
“Oke. Kita pulang,” Antares
menyalakan mesin Ford Thunderbird Convertible-nya, tapi dua orang mendadak muncul
dan bertengkar di depan mobil.
“Aku tidak minta macam-macam,
Mas. Aku cuma minta kamu ada di sampingku saat aku melahirkan!” Seorang
perempuan yang tengah hamil besar memarahi lelaki di hadapannya—pasti suaminya.
“Mauku juga begitu, Sayang.. Tapi,
sudah perintah Komandan, Masmu harus dinas ke Flores...” bujuk sang suami,
masih dalam seragam tentaranya.
“Komandan. Komandan. Memangnya
Komandan itu yang dulu kau peristri? Bilang padanya, setelah ditinggal
berbulan-bulan, istrimu butuh ditemani lebih dari seminggu! Bilang, istrimu sebentar
lagi melahirkan, dan masih kangen sama suaminya! Memangnya kamu tidak kangen
aku, Mas?! ” Kali ini perempuan itu terisak-isak.
“Ya kangen, Sayang...” Lelaki
tegap itu menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan.
“Kalau begitu, balas kangenku
dong! Temani aku sampai anak kita lahir... Aku ingin, ketika terlahir nanti, anak
ini diadzani ayahnya... ”
Din!
Antares menyela drama kecil itu dengan
menekan klakson. Pasangan itu menyingkir sambil tersipu-sipu, tak mengira ada
penonton yang menyaksikan pertengkaran mereka. Kami berdua tersenyum geli.
“Pasangan yang manis,” komentar
Antares, tertawa kecil.
“Iya,” kataku sambil menoleh
sekilas. Sepasang suami-istri itu kini bergandengan mesra.
Andai aku bisa berteriak lantang pada
Bahtiar seperti perempuan tadi.
Bahwa aku merindukannya setengah
mati, dan ingin balas dirindukan olehnya.
Aku juga ingin ditemani saat hari
itu tiba. Aku bermimpi tanganku digenggam hangat saat berpeluh menahan sakit luar
biasa di rahimku. Aku membayangkan bayi ini, menangis dan masih berselimutkan
sisa air ketubanku, ditimang penuh sayang oleh... ayahnya.
Tapi buat apa berlama-lama dalam
mimpi, kalau kenyataan yang kumiliki jauh berbeda? Aku sudah memilih bersama
Antares, dan tak ada jalan untuk kembali.
Aku berhenti memandangi
suami-istri itu dan kembali menatap ke depan.
“Ambar...”
Genggaman Antares menegang di
kemudinya. Tatapannya tertancap pada sesuatu di luar jendela. Aku mengikuti
arah pandangannya, dan terpaku.
Seorang perempuan menggendong bayinya
yang terbungkus selimut. Di sampingnya, seorang lelaki berjalan menenteng tas kain
bergambar kelinci merah muda. Dari dalamnya menyembul ujung botol susu.
Lelaki itu, my dearest B. Orang yang paling
ingin kutemui di dunia ini. Atau tidak.
Tapi lelaki itu keburu melihatku
sebelum aku bisa menghindar. Dia menghampiriku, ragu tapi penasaran. Setelah hening yang lama, dia berbisik.
“A?”
“B?”
*
bersambung kan yaaa? :D
BalasHapuspastinyaaa... ^.~
Hapusduh.. rumah sakitnya samaan?
BalasHapusiya tuh! dunia sempit banget. :(
Hapus