Aku menghisap
rokokku dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Batang yang keberapa
ini? Ah, masa bodohlah. Aku berhenti menghitung sejak berjam-jam lalu.
Tepatnya, sejak aku pulang dari rumah sakit tadi malam, membawa suatu rahasia.
“Stella... Niet geslapen, ja1?” Adriaan bergumam padaku dengan suara mengantuk. Kedua matanya setengah terpejam. “Pukul berapa ini...?”
“Pukul tiga pagi, Adriaan,” kataku, menikmati hisapan terakhir sebelum melumat puntung rokokku ke asbak di atas nakas.
“Stella... Niet geslapen, ja1?” Adriaan bergumam padaku dengan suara mengantuk. Kedua matanya setengah terpejam. “Pukul berapa ini...?”
“Pukul tiga pagi, Adriaan,” kataku, menikmati hisapan terakhir sebelum melumat puntung rokokku ke asbak di atas nakas.
“Hmm,” jawabnya, lalu berguling membelakangiku.
Aku menyelinap kembali ke balik selimut.
“Adriaan.”
“Hmm?”
Aku menimbang-nimbang. Haruskah
kuberitahu Adriaan rahasiaku? Hubungan kami baru berlangsung sebentar.
Sejujurnya, hubungan ini bahkan lebih berupa simbiosis mutualisme belaka.
Adriaan butuh seseorang untuk mengisi kesepiannya. Aku butuh seseorang untuk
mengalihkan hatiku dari mantan kekasihku.
Mantan? Ah, niet2. Aku dan lelaki itu bahkan tak pernah jadi
sepasang kekasih. Dia hanya menganggapku sahabat, yang menyenangkan untuk
diajak berdebat tentang apapun. Tentang kebencian ingenieur3 Soekarno pada Amerika, yang dianggapnya absurd.
Tentang buku Jane Austen yang digemarinya; Pride
and Prejudice. Tentang Elizabeth Bennet, tokoh utama dalam buku itu, yang
menolak tunduk pada definisi “terhormat” pada zamannya. Zaman di mana seseorang
haruslah kaya raya atau berdarah bangsawan untuk bisa disebut “terhormat”.
“Stella, kamu ini tidak hanya cantik,
tapi juga cerdas, dan tak sungkan memperlihatkan kecemerlanganmu pada siapapun.
Ini,” katanya di setiap akhir perbincangan seru kami, “adalah kemewahan yang
jarang kutemui pada perempuan-perempuan pribumi asli. Terutama perempuan Jawa.
Mereka terbiasa dipingit dan menuruti kata-kata kaum lelaki.”
Aku sudah terlampau sering
mendengar lelaki menyebutku cantik. Pertama, Papa. Dia selalu memanggilku mijn mooie lelie. Bunga liliku yang
cantik. Kedua, mantan-mantan kekasihku. Postur tinggi dan garis wajah Eropa yang
kudapat dari Papa Willem, mereka sebut cantik. Kulit langsat dan rambut ikal
legam yang kuperoleh dari Mama Hartini juga mereka bilang cantik.
Tapi kenapa hatiku bergetar hanya
ketika lelaki itu yang memujiku? Kenapa senyumku tak bisa berhenti mekar hanya
karena dia bilang, aku mengingatkannya pada Elizabeth Bennet?
Tak terbilang lagi waktu yang
kami isi dengan obrolan intim yang panjang, pertengkaran, sesapan kopi (atau, dalam
kesempatan yang sangat jarang, brendi), serta kepulan asap rokok.
Sampai suatu malam, kami terlalu
banyak berbicara dan terlalu banyak menyesap alkohol. Semuanya tampak kabur,
dan tahu-tahu kami terbangun esok paginya di atas ranjang yang sama, hanya
terbungkus sehelai selimut. Dia tampak sangat bingung, terus-menerus minta maaf
padaku atas “peristiwa semalam” yang bahkan tak diingatnya.
Tapi aku ingat. Semuanya.
Tatapan matanya yang tajam.
Lengannya yang kokoh. Bibirnya yang terasa manis di bibirku.
Diam-diam aku jatuh cinta
padanya. Diam-diam aku berharap dia punya rasa yang sama untukku. Aku bermimpi
suatu saat dia akan memintaku menjadi zijn
vrouw. Istrinya.
Nyatanya, hubungan kami tak
kemana-mana. Aku tak pernah beranjak dari posisi lamaku yang terkutuk: zijn beste vriend. Sahabat karibnya. Dia
mengagumiku hanya karena jiwa liberalku, yang kuwarisi dari mendiang Papa. Dia
betah bersamaku sebab kami seide, sejiwa. Tapi tidak sebagai kekasih.
Penantianku kandas saat suatu
hari dia berlari padaku dan berseru, “Stella! Aku bertemu seorang gadis!”
Lalu, tanpa bisa kubungkam, dia
bercerita tanpa henti tentang gadis pribumi itu. Matanya berbinar membahas
senyum simpul, wajah tersipu, bahkan kegalakan perempuan itu saat dia coba
merayunya.
Politik, sastra, dan seisi dunia
tersingkir dari pembicaraan kami. Dia terus mencekokiku dengan cerita asmara mereka,
sementara aku pura-pura antusias mendengarnya.
Hanya dua bulan berselang, dia
datang memamerkan cincin emas itu.
“Cantik kan?” ujarnya bahagia.
Aku menatapnya nanar, lalu
menjawab, “Cantik,” meski tahu cincin itu bukan untukku.
“Aku akan melamarnya malam ini,
lalu kami akan menikah tahun depan. Tentu saja kalau dia menerima lamaranku...”
“Absurd! Kalian baru dua bulan
saling mengenal!”
“Dua bulan, duabelas tahun. Apa
bedanya, Stella? Kami saling mencintai.”
Aku menghilang berhari-hari. Bersembunyi
di kamar sewa temanku, menangis sepuasnya dan hanya berhenti saat tegukan-tegukan
brendi berhasil menumpulkan hatiku. Temanku prihatin dan memperkenalkan
Adriaan, orang berdarah campuran sepertiku.
“Siapa tahu kalian saling cocok.”
Dan dalam waktu singkat, aku
sudah bersama Adriaan.
“Adriaan, aku ingin bilang sesuatu.”
“Apa?”
“Aku hamil.”
Aku merasakan tubuhnya mengejang
sesaat.
“Semalam aku ke rumah sakit.
Dokter bilang aku hamil.”
Hening.
“Siapa ayahnya?”
Aku terduduk.
“Apa maksudmu? Kaulah ayahnya.”
“Kau yakin?”
“Yakin!” teriakku jengkel, “Berbaliklah
dan biarkan aku melihatmu.”
Aku ingat merasa lega ketika
mendapat haid setelah “peristiwa semalam” dengan “sahabatku”. Lalu aku terus
bersama Adriaan, dan sejak itu aku belum haid lagi. Sudah telat dua minggu.
Adriaan tersadar penuh sekarang. Dia
menatap kanopi tempat tidur. Gelisah.
“Kapan aborsinya?”
“Apa?” Aku tidak tuli kan? “Aku
tidak mau aborsi.”
“Kita tak mungkin menikah secepat
itu. Kita kan... baru saling kenal. Yah, aborsi atau tidak, itu kuputusanmu.
Tapi aku tak ingin terlibat.”
Malam itu kuakhiri dengan hengkang
dari kamar Adriaan. Ohya, aku sempat menamparnya. Bagaimanapun, jiwaku
tertampar berkali-kali lipat lebih sakit. Tak adakah yang benar-benar peduli
padaku?
Suara Papa terngiang lembut, “Mijn mooi lelie, kuatlah. Beranilah!”
Papa sudah mengajariku untuk jadi
gadis pemberani, tapi lupa mengajariku cara sembuh dari patah hati. Aku sudah
menunggu dia begitu lama, tapi justru gadis lain yang memenangkannya.
“Wacht alleen voor degenen die zwak zijn. Vergeet niet dat!4”
Langkahku
terhenti.
Kuulang lagi, dan
lagi kalimat Papa.
“Wacht alleen voor degenen die zwak zijn.”
Menunggu hanyalah untuk mereka yang lemah.
Papa benar. Apa yang kudapat dari
penantian? Tidak cinta sejatiku. Tidak juga Adriaan.
Aku tidak akan pasrah. Tidak akan
pernah menunggu lagi.
Aku harus mengejar apa yang
hendak kuraih.
Aku memaksa otakku bekerja
sepanjang perjalanan pulang. Rencana mulai tersusun, satu-persatu. Aku membasuh
wajahku. Memulasnya dengan bedak tipis dan gincu berwarna pucat. Memasang
ekspresi bingung yang tepat untuk lelaki tercintaku.
Lalu, dengan tenang aku datang ke
pintu rumahnya. Membiarkannya menyambutku, kaget sekaligus senang karena aku muncul
setelah sebulan lebih menghilang. Dan, ini dia.
“Bahtiar...”
Aku tak mau menunggu lagi.
“Aku hamil.”
*
Terjemahan:
- Belum tidur ya?
- Bukan
- Insinyur
- Menunggu hanyalah untuk mereka yang lemah. Ingat itu!
eeeeeeeeeeeeeh?
BalasHapushaduuuh..
#makin penasaran
selamat menebak-nebak ya. hihihi...
Hapushadeuuh ini toh yang ngerebut bahtiar ...
BalasHapusYep, ini dia... Stella orangnya... :(
Hapushiks..
BalasHapuskasian bahtiar, ambar, abimanyu :'(
keren..
belum sempet bersatu tapi udah berpisah aja ya... T.T
Hapus