Suara itu membuatku terjaga. Dentang pertama terdengar seperti lolongan kesepian. Aku menunggu dalam kegelapan sampai bunyi itu menghilang, lalu disusul dentang kedua yang sama muramnya. Jam antik itu sudah berdiri tegak di tempatnya sejak dulu kala. Bisa jadi usianya lebih tua dariku, sebab aku tak pernah menjumpai jam semacam itu lagi di rumah orang lain ataupun di toko.
Waktu masih kecil, aku pernah berdiri lama sekali di
depan benda kokoh itu. Aku mengamati jarum-jarumnya yang tak pernah berhenti
berputar. Kupandangi bandulnya, yang serupa gelang perunggu raksasa, berayun ke
kiri dan ke kanan. Aku penasaran kapan jarum-jarum dan bandul jam itu akan berhenti
bergerak karena lelah.
“Tiara, kamu tahu? Kita, manusia,
adalah makhluk ceroboh yang menyebalkan,” tiba-tiba aku teringat ucapan Kakek
di masa lampau, saat dia memergokiku terpaku di depan jam antiknya.
“Menyebalkan? Kenapa, Kek?”
“Kita menghamburkan waktu untuk melakukan
hal-hal tak berguna, dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan. Lalu kita menyesali
semua itu, merengek dan bersumpah akan memperbaiki hidup kita, jika saja waktu
bersedia berputar kembali ke masa lalu.”
Waktu itu, aku menatap Kakek
dengan kagum meski tak memahami maksudnya. Pokoknya kata-kata Kakek terdengar bijak
dan penting.
“Jam antik inilah yang setia berdentang
setiap jamnya untuk mengingatkan manusia bahwa waktu itu berharga. Bahwa tak
ada gunanya menyesali masa lalu, karena semakin kita sibuk bernostalgia, semakin
banyak waktu yang akan terbuang sia-sia.”
Lalu, Kakek bilang hari itu
terlalu cerah untuk dilewatkan dengan memelototi sebuah jam.
Sepasang mataku ingin mengatup
lagi, tapi rasa haus di kerongkongan memaksaku menyibakkan selimut dan
menjejakkan kaki di lantai. Aku berjingkat meninggalkan kamar, merasakan tekstur
bilah-bilah kayu yang lentur dan sedikit berkeriut di bawah kakiku.
Aku berjalan di koridor,
mengerjapkan mataku. Berusaha mengenali benda-benda di sekitarku hanya dengan
bantuan cahaya bulan dari jendela. Di ruang tengah, tampak seonggok kain jatuh
di samping sofa. Mungkin Kakek tak ingat sudah menjatuhkan selimutnya di sana.
Aku bermaksud memungut kain itu, tapi sesuatu membuat napasku tercekat.
Di balik sofa, baru tampak olehku,
onggokan selimut yang berantakan menutupi sesosok tubuh tertelungkup. Sebuah kursi
roda dan tabung terguling di dekatnya. Refleks kutekan tombol lampu di dinding
dekat sofa. Ruangan itu mendadak terang-benderang, memperlihatkan lebih nyata
lagi kengerian di depanku.
“Kakek? Kakek? Kakek?! Kakek!!”
Yang kuingat berikutnya adalah,
aku terjatuh di atas lututku, mengguncang-guncang tubuh ringkihnya perlahan.
Panik melandaku saat kusadari betapa dingin kulitnya di telapak tanganku. Dengan
gugup kupasangkan lagi selang oksigen yang mendesiskan udara ke hidungnya, tapi
ternyata dia tak bernapas. Gemetar, kuraba pergelangan tangannya. Harapan mulai merayap di benakku saat kutemukan denyut-denyut nadinya. Lemah. Tapi ada. Kakek masih hidup!
Aku meneriakkan namanya sekeras mungkin,
berulang-ulang. Aku berharap itu akan membangunkannya, tapi sia-sia.
Ruangan gaduh karena semua
penghuni rumah terbangun dan keluar dari kamar mereka. Ibu memekik dan
menangis, tapi Ayah masih cukup sadar untuk berseru, “Panggil ambulans!”
Aku mendahului Ayah menuju
pesawat telepon di meja dekat sofa, dan tertegun. Gagang telepon terayun pelan
dalam posisi menggantung. Sementara di bawahnya, sebelah tangan Kakek terjulur
seolah hendak menggapai gagang telepon itu.
Mungkinkah Kakek terbangun karena
rasa sakit? Merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya, lalu menghela dirinya ke
atas kursi roda dan berusaha menelepon bantuan medis, namun gagal? Aku tak
punya waktu untuk menebak-nebak. Jemariku bergerak hendak menekan nomor
panggilan darurat medis, tapi ada yang aneh dengan gagang telepon itu. Ada
suara kemeresak, dan samar terdengar suara hembusan napas seseorang, entah
siapa.
“Halo? Halo? Siapa ini?”
Hening. Hening yang canggung,
seolah seseorang di ujung sana sedang ragu, menimbang-nimbang apakah dia harus menjawab
atau tidak.
“Siapa ini??” nadaku tajam,
nyaris menuduh.
Klik!
Sambungan terputus.
“Tiara! Sudah telepon ambulans?” Ibu
mengingatkanku. Masih dengan rambut berantakan, Ayah berlari memegang serenteng
kunci, membuka pintu depan.
Kutekan nomor darurat itu. Cuma
nada sibuk yang menyambutku. Kutekan lagi. Lagi, dan lagi. Sibuk.
“Kita menghamburkan waktu untuk
hal-hal tak berguna...”
Waktu.
Kubanting gagang telepon itu,
lalu berseru, “Tak ada waktu lagi, Yah! Kita bawa Kakek ke rumah sakit!”
Ibu berlari untuk menyalakan
mesin mobil kami dan membuka gerbang. Ayah tergesa menggendong tubuh Kakek. Saat
itulah segumpal kertas melayang dari genggaman tangan Kakek, mendarat di
kakiku.
Aku memungutnya, meluruskannya hingga
tampaklah sebaris huruf sambung yang ditulis dengan tangan bergetar.
Abimanyu Prasetya
Siapa dia?
Pandanganku tertambat pada
pesawat telepon di atas meja. Benda itu mengingatkanku pada suara kemeresak dan
napas manusia yang kudengar tadi.
Aku punya firasat.
Siapapun orang itu, dia mungkin
tahu siapa Abimanyu Prasetya.
*
aduhh jd abimanyu syp mba... hihhihihi penasaran ini,,, :p
BalasHapuskasih tahu ngga, yaaa... :3 *ngikir kuku* *ditimpuk jam antik*
Hapusiyaaa anak mana tuh abimanyu?
BalasHapusbukan a guy next door deh pokoknya... hehehe
HapusPenasaraann.. :D
BalasHapus*baca lanjutannya :)
monggooo... :D
Hapus