Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia: Orang Ketiga Pertama
“Mau sampai kapan kamu memandangi lukisan itu?”
Teguran lembut itu membuatku berpaling dari lukisan reproduksi Van Gogh. Tubuh Antares yang menjulang membuatku harus sedikit mendongak saat memandang wajahnya. Pada wajah yang sewarna tembaga itu, ada sepasang mata teduh yang menatapku lekat. Itu adalah tatapan yang mestinya bisa meluluhkan hati perempuan mana pun, tapi entah kenapa tidak hatiku.
Aku menghela napas, lalu kembali menekuri pemandangan yang tersaji di atas kanvas; sosok-sosok petani di hamparan kebun anggur merah.
“Mungkin sampai aku puas, lelah, atau bosan,” jawabku datar. Getir.
Mengebaskan perasaan mulai menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini. Memang tidak menyenangkan, tapi hati yang kebas lebih baik daripada hati yang nyeri.
“Begitu? Lalu mau sampai kapan kamu bersikap begini? Sampai puas, lelah atau bosan juga?”
“Sikap yang mana?”
“Ya sikap yang sedang kau tunjukkan ini! Murung. Apatis. Mangkir di jam kuliah...”
“Aku sedang cuti.”
“...mengurung diri di kamar sampai induk semangmu cemas! Melamun. Menangis...”
“Aku ini sedang cuti sakit. Sakit hati!”
Antares terdiam. Mungkin dia sudah kehabisan kata-kata untuk memarahiku. Antares adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Ya, sahabat. Aku lebih suka menganggapnya begitu, meski aku tahu dia mempedulikanku lebih dari itu, sejak dulu.
“Ini karena lelaki itu kan?”
Aku membisu. Toh Antares sudah tahu jawabannya. Lagipula, menyebut nama “lelaki itu” terlalu menyakitkan. Hatiku tidak cukup kebas untuk itu. Belum.
“Kamu tahu, Res? Van Gogh hanya berhasil menjual satu buah lukisan seumur hidupnya. Lukisan ini. The Red Vineyard. Kebun Anggur Merah.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Itupun baru terjual beberapa bulan sebelum kematiannya. Sungguh sial Vincent van Gogh... Mencurahkan seluruh cintanya, hidupnya, untuk lukisan; dan tak seorangpun mempedulikan karya-karyanya. Dia hidup miskin sampai akhir hayatnya..”
“Cukup, Ambar,” tegur Antares, seperti seorang guru yang menyuruh muridnya berhenti berulah.
“Dunia baru menyadari betapa brilian karya-karyanya, lama setelah dia mati.”
“Jangan rusak dirimu seperti ini hanya karena lelaki itu. He’s not worth it.”
“Aku memang sudah rusak, Res. Tak utuh lagi.”
Remuk, tepatnya.
“Seharusnya kau membenci bajingan itu, lalu melupakannya.”
Aku tertawa pahit pada lukisan di hadapanku.
“Ohya,” rapalku sinis, “andai semudah itu, Res!”
“Kenapa tidak? Aku selalu ada untukmu. Kita bisa menghadapi ini berdua.”
“Sudahlah, Res... Akulah yang sudah menggores wajah sendiri dengan arang. Kau tidak perlu ikut ternoda bersamaku.”
Aku melangkah meninggalkan ruang galeri seni, tempat di mana aku dan Antares berada sejak berjam-jam lalu. Antares mencengkeram pergelangan tanganku, memaksaku berbalik menghadapinya.
“Kalau begitu, beritahu dia.”
“Siapa?”
“Bajingan sialan yang membuatmu begini. Bahtiar!”
Aku memalingkan wajah. Aku sudah mempertimbangkan ide itu ribuan kali sebelum Antares menyinggungnya. Aku berhak merebut Bahtiar kembali. Toh dia memang milikku, sebelum perempuan itu muncul membawa calon anak dalam rahimnya. Anak Bahtiar.
Aku bisa datang dan menggagalkan pernikahan mereka, satu minggu lagi, tepat dua bulan setelah aku dan Bahtiar berpisah. Tapi lalu apa bedanya aku dan perempuan itu?
Ah. Ironis. Aku kini berada di posisi yang mirip dengan perempuan itu. Dulu, mungkin dia juga didera bimbang sebelum nekat minta pertanggungjawaban Bahtiar. Aku membayangkan perasaan perempuan itu jika aku nekat mengacaukan hari pernikahan mereka.
“Atau aku yang harus bilang padanya—“
“Jangan!” sentakku. “Kumohon, jangan beritahu dia."
Aku menangis tersedu di sudut ruangan yang sepi. Kubiarkan tubuhku yang lunglai merosot ke lantai berlapis karpet. Raut wajah Antares melunak. Dia duduk bersila di sisiku. Antares tak lagi berkata apa-apa. Dia hanya meminjamkan bahunya untukku sebentar. Dan itulah yang kubutuhkan saat ini.
“Kalau kamu tidak ingin dia tahu,” kata Antares sungguh-sungguh, “maka biarkan aku yang menggantikan posisinya. Aku tidak keberatan, meski saat ini aku hanya pelarian bagimu.”
Antares. Mungkin tak akan kutemukan lagi ksatria semacam dia. Mungkin aku bisa belajar mencintainya.
Sesuatu dalam tubuhku berdenyut pelan. Aku menyentuh bagian itu dengan kedua belah tanganku, lembut. Mendadak, tanpa bisa kuhalangi, potongan dialog singkat berkelebat di benakku.
“Nalini Sarisha. Nama yang indah untuk bayi perempuan kan?”
“Sangat! Hmm, kalau bayinya laki-laki, kita namai Abimanyu Prasetya, ya?”
Aku mengelus perutku. Di dalamnya ada rahim yang, belum lama ini kutahu, dihuni denyut kehidupan baru. Sekarang aku masih bisa menyamarkan perubahan bentuk tubuh dengan blus-blus terlonggar yang kumiliki. Tapi aku tak bisa bersembunyi lebih lama lagi. Lambat laun orang-orang akan menyadari bahwa aku hamil, lalu ribut menggunjingkan di mana orang yang semestinya menjadi suamiku. Nama keluargaku akan tercoreng selamanya.
Apalagi aib yang dapat melebihi itu?
“Res... Kamu yakin mau menjadi ayah anak ini?”
“Dengan segenap hatiku, Ambar. Menikahlah denganku.”
*
Huwa, bikin cerbung juga ya. Ayo lanjut... :))
BalasHapusbentar mbaaak.. lagi pusing mikir ide buat judul hari ke-5 >__<
Hapuswaduh..terus piye? terus piye?
BalasHapus#pembaca setia
nantikan episode berikutnya, hanya di Kacamataku... *disiram aer ujan* ;D
HapusLanjuutkaaannn!
BalasHapus:)
mudah2an bisa istiqomah nulis flashfiction sampe hari terakhir ^o^9
HapusAamiinn.... :)
Hapuswaa.. makin seru :)
BalasHapussemangat nge-FF! ^.^v
Hapuseh ada lia jugaa..
Hapus*dadah ke lia.. :D*
kyaaa lagi program flash fiction ya kak.. muantep.. saya tidak berbakat sama sekali bikin fiksi huks huks..
BalasHapusnungguin lanjutannya ya kak :)
saya malah ngga jago nulis non fiksi, Din... nulis yg fiksi juga belum jago, ding. hehehe
HapusWah kakak saya lupa bisa nyasar ke sini, tapi ini bagus banget :)
BalasHapusmakasih yaa.. boleh kok sering-sering nyasar kemari :) etapi kok anonim sih, saya jadi ngga bisa balik berkunjung :/
Hapus