Sudah baca cerita sebelumnya? Ini
dia: Balas Kangenku, Dong!
Tanganku bergerak membuka pintu mobil, tapi Antares menarik tanganku yang lainnya. Kami beradu pandang sejenak.
Tanganku bergerak membuka pintu mobil, tapi Antares menarik tanganku yang lainnya. Kami beradu pandang sejenak.
“Jangan,” katanya.
Akal sehatku memerintahkan hal
yang sama. Aku mengabaikan keduanya, dan malah menjejakkan kaki ke aspal. Istri
Bahtiar terlalu terperangah untuk berkata apa-apa. Samar kudengar Antares
mengumpat, lalu menyusulku keluar dan membanting pintu mobil.
Kini kami berdiri berhadapan, aku
dan Bahtiar. Dia menatap perutku yang membuncit, syok. Aku sendiri sedang
menutupi bibirku yang gemetar dengan telapak tanganku. Saat itulah dia melihat
selingkar cincin platina di jariku. Dulu, di tempat yang sama, terpasang sebuah
cincin yang lain. Cincin yang dihadiahkannya saat melamarku. Cincin yang
beberapa bulan kemudian kulempar ke wajahnya saat dia bilang akan menikahi
perempuan lain.
“Kalian sudah menikah?”
“Ya, September kemarin. Dua bulan
setelah...” Dua bulan setelah kau
mencampakkanku, bodoh!
Hening. Aku bergerak-gerak gugup
di bawah pandangan matanya. Berbeda dengan tatapan Antares yang meneduhkan, sepasang
mata milik Bahtiar yang tajam dan menaklukkan selalu berhasil membuatku gugup,
sekaligus terpesona.
“Apa kabar, A? Kamu...” Rupanya
dia sama canggungnya denganku. Yah, wajar, mengingat kami berpisah dalam
situasi menyakitkan. Pandangan matanya kini nanar melekati perutku.
“Kabarku baik... Bayimu sudah
lahir, B?” Aku melirik bayi berpipi bulat kemerahan dalam gendongan istrinya.
Bahtiar mengangguk kikuk.
“Umurnya dua bulan sekarang...
Kami baru selesai dari poliklinik anak. Imunisasi BCG,” lagi-lagi dia
memandangi perutku, “Kapan bayimu akan lahir?”
“Bukan urusanmu, Bung,” Antares mendengus
sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.
Suasana nostalgia yang aneh
antara aku dan Bahtiar buyar. Kami terhempas kembali ke alam nyata. Aku memberi
Antares tatapan menegur. Akulah pihak yang disakiti di sini, bukan dia. Kalau
ada yang boleh bersikap sengit, akulah orangnya. Bukan dia.
“Menurut dokter, dua minggu lagi,”
aku melepas tangan Antares dari pinggangku dan menggenggamnya, “kami sudah
menyiapkan nama untuknya.”
Nalini. Abimanyu. Persis yang kita rencanakan dulu, B. Hanya saja, kamu
memutuskan keluar dari rencana.
“Dua minggu lagi?” Bahtiar menatapku
menyelidik, “Bukankah itu terlalu dini? Kalau kalian menikah bulan September...”
Aku menggigit bibirku, mengutuk
kelancangan lidahku yang berbicara terlalu banyak. Bahtiar mulai curiga
memperhatikan gerak-gerikku. Tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.
“Usil betul. Itu juga bukan
urusanmu, Bung!” Antares berbalik, masuk kembali ke dalam Ford Convertible-nya.
Ia memberi isyarat padaku untuk berbuat serupa. Begitu juga akal sehatku. Kali
ini aku menuruti keduanya.
“A!” Bahtiar mencengkeram
pergelangan tanganku.
“B! Lepaskan!”
“Apa... Apa ini bayiku?”
Butuh sekian detik hingga lidahku
mau bergerak, “Bukan.”
“Lepaskan istriku, Brengsek!”
Antares meninju wajahnya, cukup keras untuk membuatnya tersungkur ke aspal.
Bahtiar menyentuh sudut bibirnya
yang berdarah, tapi masih memerangkapku dalam tatapannya. “Kau bohong, kan?”
Mendadak, bergumpal-gumpal
kemarahan mendesak di dalam diriku. Aku marah karena Bahtiar, setelah apa yang
dilakukannya padaku dulu, berani-beraninya mendesakku seperti itu. Di depan
istrinya dan suamiku. Aku marah karena aku pembohong yang buruk.
Dan, aku marah karena sekeras
apapun aku berusaha melupakan Bahtiar, cintaku masih bersikeras berhenti di
dirinya.
“Cukup, B!” bentakku, “Bukan
hanya kamu yang bisa meninggalkan masa lalu dan melanjutkan hidup. Aku juga
bisa. Dan ini,” aku menyentuh bagian tubuhku, tepat di mana bayi itu berdenyut
bersamaku, “adalah bayiku dan Antares. Paham?”
Yang berikutnya kuingat adalah
aku membiarkan Antares membawaku meninggalkan huru-hara itu. Antares diam
seribu bahasa, tidak membentak ataupun menghiburku. Aku tahu itu artinya dia marah
besar padaku. Dia terus mengemudi, membiarkanku menangis sepuasnya hingga badai
hatiku mereda.
“Ambar, aku harus bagaimana?”
untuk kali pertama, Antares memecah kebekuan di antara kami.
“Apa maksudmu?”
Antares menghela napas panjang.
Ia menepikan mobilnya tiba-tiba.
“Ada bajingan yang pernah
menyakitimu dengan menikahi perempuan lain, tapi belum bisa juga kamu lupakan
bahkan setelah kamu jadi istriku. Menurutmu, aku harus bagaimana menghadapi
dia? Hah?”
Antares menghantam kemudi dengan
kepalan tangannya. Dia menumpukan kedua lengan di atas kemudi, lalu membenamkan
kepalanya di sana. Aku diam. Kusentuh rambut Antares lembut. Dia menoleh padaku,
perlahan memindahkan tanganku ke dalam genggamannya.
“Maafkan aku, Res... Maaf...” aku
memandang matanya, mencari sekeping kedamaian di sana, “kamu boleh tidak
mempercayai kata-kataku ini, tapi aku benar-benar berusaha keras menuntaskan
perasaanku yang masih tersisa pada B.”
Aku membawa tangannya yang besar
dan hangat ke wajahku.
“Suatu saat nanti cintaku akan
sampai di tempat yang semestinya. Berhenti di dirimu. Sampai saat itu tiba, kumohon
tunggu aku di sana... Kau bersedia, Res?”
Antares menarikku mendekat, lalu
mendaratkan satu kecupan di keningku, lama. Aku memejamkan mata dan tersenyum.
Kurasa itu berarti jawabannya ‘Ya’.
*
hahaha.. bahtiar kayak nama temenku dan dia ga mungkin menghamili anak gadis orang hehehe...
BalasHapussalam kenal mbak ruri..
huaaa, apabila ada kesamaan nama, tempat atau peristiwa dalam cerita ini, itu hanya kebetulan belaka, mas. hehehe... salam kenal kembali :D
Hapusudah baca dari kemaren tapi belum ngabsen
BalasHapushahaha
#penting
Mbak Ambar kethokane galau pisaan.. :D
BalasHapusHo-oh, mbak... Angel tenan arep move-on.
Hapus