Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia: Catatan Stella: Menanti Lamaran
Jadi, begitulah caraku memenangkan
Bahtiar. Mungkin sedikit curang, tapi pernahkah kalian dengar idiom ini? Everything is fair in love and war. Dan aku
berhasil. Tadinya kupikir begitu.
Saat bayi perempuanku lahir,
Bahtiar, sama seperti halnya diriku, tampak terpesona tak habis-habisnya pada
makhluk cantik itu. Bahkan kuapannya pun bisa membuat kami tersenyum.
“Apakah nama Lelie bagus untuknya?” kataku waktu itu.
“Apakah nama Lelie bagus untuknya?” kataku waktu itu.
Bahtiar mengulas senyum samar.
“Kau punya nama cantik lainnya, mijn man1?”
Selagi dia berpikir, aku
mengamati wajah berahang kukuhnya. Kelak aku akan memberinya anak-anak yang
sehat dan kuat. Darah dagingnya. Tapi biarlah dia mengira bayi ini anak
kandungnya.
“Dia tidak mirip aku.”
Sejenak kurasakan diriku membeku,
tapi lalu dia berkata, “Dia lebih mirip dirimu, Stella. Dia akan jadi secantik ibunya.”
“Ah.”
“Bagaimana dengan Nalini Sarisha?
Itu dua kata Sansekerta untuk ‘cantik’ dan ‘mengagumkan’.”
“Nalini,” aku menatap bayi yang
menggeliat dalam dekapanku, “Sarisha. Aku suka itu.”
Hingga bertahun-tahun sesudahnya,
kukira kebahagiaanku telah sempurna. Bahtiar, ayah dan suami yang baik. Dia
menjagaku dan Nalini seperti melindungi permata di dalam kotak kaca.
Bahtiar juga masih sahabatku yang
terkarib. Setiap malam, setelah Nalini tidur, kami menghabiskan waktu dengan memperdebatkan
berita hangat atau musik yang disiarkan di radio. Di penghujung semua itu, dia
selalu berpesan padaku sebelum tidur, “Bangunkan aku pukul tujuh.”
Dia memang harus bangun pukul
tujuh kalau tak ingin terlambat pergi bekerja. Ada mata kuliah yang harus
diajarnya pagi-pagi.
Kadang-kadang, aku terjaga di
tengah malam tanpa dia di sampingku, dan mendapatinya duduk terpekur di ruang
tengah, berkutat dengan kertas dan buku.
“Ada pekerjaan yang harus
kuselesaikan,” katanya. Atau, “Tidurlah.
Sebentar lagi aku selesai.” Lalu, dia akan kembali ke kamar kami dan berpesan
untuk dibangunkan pukul tujuh.
Suatu malam aku mendapati Bahtiar
dengan kepala tertelungkup di atas meja. Kupikir dia tertidur, dan berjingkat
hendak membangunkannya. Tapi tidak. Samar kulihat bahunya terguncang-guncang
pelan. Sebelah tangannya mencengkeram rambutnya. Tangannya yang lain memegang
selembar kertas. Lirih, kudengar isaknya.
Aku membeku di ambang pintu, lalu
diam-diam menyingkir.
Malam-malam berikutnya, aku mengintainya.
Diam-diam, kubuntuti dia keluar kamar. Dari celah pintu yang tak tertutup
rapat, aku bisa melihatnya mengambil sesuatu dari laci yang terkunci. Sehelai
kertas.
Bahtiar duduk separuh memunggungiku,
dan membaca isi kertas dengan cermat. Semakin lama dia membaca, semakin tampak gerak-geriknya
yang resah. Dia menggerakkan lengannya, seperti sedang menghapus airmata yang
tak habis-habis. Di akhir sedu sedannya yang pelan, dia membawa lembaran itu ke
bibirnya, seperti seorang lelaki mengecup kekasihnya.
Saat dia beranjak untuk menyimpan
kembali benda itu, aku tersaruk menuju kamar. Pura-pura masih pulas bermimpi,
padahal benakku terjaga sampai pagi.
Apa yang dibacanya setiap malam? Apa
yang membuatnya menangis? Kenapa dia merahasiakannya dariku, zijn vrouw2? Pertanyaan-pertanyaan
menghantuiku.
Aku mencemaskannya, sekaligus
kecewa karena dia tidak cukup mempercayaiku untuk berbagi.
Suatu malam dia pulang terlambat
karena janji diskusi dengan mahasiswanya di kampus. Setelah menidurkan Nalini,
aku berdiri di depan meja itu. Memandangi lacinya yang bisu terkunci seperti
kotak pandora.
Apa isinya?
Aku menemukan perkakas di gudang,
dan merusak kunci itu. Di dalamnya ada selembar kertas terlipat, agak lusuh
seperti terlalu sering dibuka dan dilipat kembali. Itulah satu-satunya benda dalam
laci itu.
Aku membaca tulisan huruf-huruf
sambung yang indah di dalamnya.
“My dearest B,
‘Kita.’
Huruf-huruf yang mampu meleburkan dua jiwa berbeda, aku dan kamu, menjadi
satu...”
Aku mendudukkan tubuhku yang limbung ke kursi. Meski tak ingin, mataku terus terhunjam ke sana, membaca surat itu sampai bagian terakhir.
“‘Kita.’
Kita terurai paksa, kembali menjadi aku dan kamu yang asing satu sama lain. Pintalan mimpi kita musnah, tiada. Sekedar istana pasir yang luluhlantak terhela ombak. Ombak itu berwujud seorang perempuan dari masa lalumu. Orang ketiga yang merampas ‘kita’ dariku.
Sejak itu, ‘kita’ bukan aku dan kamu yang menyatu.
Mulai detik itu, ‘kita’ adalah kamu dan dia.
Jadi inilah, B. Kita berpisah di persimpangan takdir. Kamu ambil jalanmu, dan aku pilih jalanku sendiri. Kemanapun ini menuju, kuharap ada akhir yang bahagia di sana.
Salam terakhirku,
A.”
Jika biasanya Bahtiar yang duduk di sini, kali ini
akulah yang berada di tempatnya, termangu memegang surat itu. Surat dari Ambar.
Kupikir aku telah menyingkirkannya dari benak Bahtiar.
Kupikir diriku dan bayiku sudah cukup untuk menghapus kenangannya bersama perempuan
itu.
Kupikir aku berhasil memenangkan Bahtiar.
Oh, Stella tolol!
Aku hanya berhasil merantai tubuhnya di sisiku, tapi tidak hatinya.
Saat dia tersenyum padaku, dia sedang tersenyum pada perempuan lain. Saat dia bisikkan kata-kata cinta, dia sedang menyatakan cinta pada perempuan lain. Saat aku ada dalam dekapannya, yang dia harapkan ada di sana adalah perempuan lain.
Aku melolong, murka dan kecewa. Aku ingin melumat surat itu jadi serpihan-serpihan kecil sebelum membakarnya, tapi sepasang tangan kokoh menghentikanku pada robekan pertama.
“Hentikan, Stella!” hardiknya menggelegar.
Direbutnya robekan itu dariku, dan dipandanginya
dengan patah hati.
“Jadi ini yang kamu tangisi setiap malam? Ini
rahasiamu? Bahwa selama enam tahun kita bersama, kamu selalu memikirkan Ambar?
Hah?”
Hening.
“Jawab aku,” kataku, setengah memohon.
Dia hanya menatapku dengan sorot terluka, yang selama
ini aku terlalu buta untuk melihatnya. Dibenahinya potongan surat itu, lalu
dilipatnya hati-hati. Disimpannya baik-baik benda itu di saku kemeja.
Bahtiar berbalik pergi menuju ke kamar, namun di ambang pintu dia menoleh.
“Bangunkan aku pukul tujuh...” katanya, sama seperti malam-malam
sebelumnya.
Dalam kepalan tanganku, ada sisa robekan surat.
Di dalamnya, ada nama yang seharusnya untuk bayi perempuan mereka. Nalini Sarisha.
Dalam kepalan tanganku, ada sisa robekan surat.
Di dalamnya, ada nama yang seharusnya untuk bayi perempuan mereka. Nalini Sarisha.
*
Terjemahan:
- Mijn man : suamiku
- Zijn vrouw : istrinya
bangunkan ayu kalo udah ada cerita selanjutnya ya mbaa
BalasHapusAyo bangun, banguuun... udah ada tuh! :D
HapusTernyata mbak suka nulis fiksi ya, yuk ikutan Giveaway Flash Fiction BeraniCerita.com! DL 21 Feb ya! Jangan ketinggalan!
BalasHapus