Judul : Dua Cinta Negeri Sakura
Pengarang : Irene Dyah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 192 halaman
Pengarang : Irene Dyah
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 192 halaman
Miyu Hasegawa adalah gadis Tokyo yang separuh hatinya mencintai Solo. Miyu terpesona pada kehangatan kota ini, iramanya yang tidak serba diburu waktu seperti Tokyo, juga tariannya yang tenang dan meditatif. Selain itu, Solo juga telah mempertemukannya dengan Scott. Scott, sang fotografer, sosok Mr. Right yang mengisi hati Miyu.
Hanya saja, ada satu hal yang menjadikannya Mr. Wrong: Scott sudah menikah.
Menjauh dari Scott tidaklah semudah yang Miyu inginkan. Lelaki itu juga tinggal di Tokyo, dan seperti tak mau menyerah berusaha mengejar Miyu.
Pertarungan batin yang melelahkan ini terasa lebih menghimpit lagi ketika Miyu tidak bisa berterus terang pada kedua sahabatnya, Aliyah dan Ajeng.Aliyah sudah seperti keluarga dengan Scott, dan Miyu kuatir masalahnya akan merenggangkan persahabatan Aliyah dengan lelaki itu. Sementara sahabatnya yang lain, Ajeng, membenci komitmen bernama 'pernikahan' dan selalu over skeptis soal percintaan lelaki-perempuan. Alih-alih mendapat solusi yang menenangkan, bisa-bisa Miyu dijejali ide liberal yang aneh-aneh.
Miyu tahu, rasa yang ada di antara dirinya dan Scott ini salah, tapi di sisi lain, ada bagian hatinya yang menginginkan lelaki itu. Pertemuan Miyu dengan Misaki, istri Scott, menambah kacau perasaan gadis itu. Di ujung patah hatinya, ia bertemu dengan sosok lain. Thariq tidak seperti Scott yang memabukkan atau lihai memperlakukan perempuan dengan romantis. Thariq, tampaknya sungguh-sungguh ingin mendekati Miyu dengan niat yang tulus. Sederhana dan apa adanya. Apakah dia Mr. Right untuk Miyu? Apa yang akan Miyu lakukan ketika Scott akhirnya blak-blakan memilih Miyu ketimbang Misaki?
*
Cinta segitiga memang sudah banyak ditulis dalam novel-novel. Tapi Dua Cinta Negeri Sakura punya hal lain yang membuat konflik jadi terasa lebih "runcing", yaitu perbedaan budaya antara Miyu dan Scott. Latar budaya yang berbeda ini turut mempengaruhi cara berpikir kedua tokoh nantinya.
Scott sepertinya terbiasa hidup dengan pola pikir liberal ala barat yang berprinsip sah-sah saja mengejar kebahagiaan sendiri apapun bentuknya. Komitmen pernikahan itu ada karena suka sama suka, jadi tak lagi wajib dijaga bila salah satu pihak sudah tidak suka.
Sementara Miyu, yang lahir dan besar dalam adat timur, yakin kebahagiaan itu tidak akan utuh jika ada di atas penderitaan orang lain. Menjalin cinta baru padahal masih terikat janji setia dengan orang lain, jelas akan ada yang menderita karena itu kan?
Perbedaan pula yang melatari persahabatan Miyu-Ajeng-Aliyah yang warna-warni. Miyu yang kalem dan penuh pertimbangan, Ajeng yang impulsif dan blak-blakan, Aliyah yang kadang galau namun keibuan. Karakter mereka bertiga saling bertolak belakang, tapi justru itulah yang bikin chemistry makin seru. Kekompakan Ajeng dan Aliyah bahu-membahu menguatkan Miyu juga bakal bikin pembaca iri. Ingin rasanya berada di antara sahabat-sahabat yang saling menjaga seperti itu.
Salah satu nilai lebih Dua Cinta Negeri Sakura adalah, novel ini tidak sekedar menawarkan hiburan tapi juga nilai kebaikan. Tentang cinta, misalnya. Kadang kita menyalahgunakan istilah "cinta" untuk membenarkan perbuatan-perbuatan yang salah. Kawin lari dan memutus tali silaturahmi dengan keluarga, demi "cinta". Atau, mengkhianati pasangan demi "cinta" yang baru. Kasihan kan si cinta, dijadiin alasan terus.. Nah, dari kisah Miyu-Scott ini, kita bisa belajar jujur dalam membedakan mana cinta sejati, mana nafsu belaka.
Hikmah kontemplatif lainnya dari novel ini adalah tentang Tuhan. Bahwa secanggih apapun zaman, sehebat apapun manusia, tetap saja butuh Tuhan. Tetap saja fitrahnya mengakui adanya kekuatan besar yang mengendalikan seluruh alam, seperti yang dialami Miyu. Mulanya, ia tak pernah terlalu mengingat Tuhan, sampai masalah Scott menjungkirbalikkan hatinya dan ia butuh tempat bersandar menguatkan diri.
"Logikanya adalah, semua hal indah dalam hidupku berasal dari Tuhan, tempat semua berawal dan kembali. Tapi apa yang sudah kulakukan untuk mewujudkan rasa terima kasihku? Kepada siapa aku harus berterima kasih saja , aku tidak tahu..."
Perbandingan kultur Jepang-Indonesia yang ditulis cukup detil di sini juga menarik. Lucu juga sih, kebiasaan di Indonesia yang kadang kita anggap kelemahan, oleh Miyu malah dipuji. Misalnya, filosofi "Ah, nggak apa-apa" ala orang Indonesia. Menghadapi semua masalah dengan ringan dan cenderung memaafkan kesalahan atau kecerobohan kecil.
Orang Jepang menyebut sifat ini sebagai "ooraka"... berhati besar, pemaaf, tidak menganggap besar suatu masalah. Sungguh kontras dengan sifat bangsa Jepang. Semua harus serbasempurna. Serbapresisi.
Contoh lainnya, saat Aliyah berusaha menjelaskan pada ibunya--yang heran karena Chika, cucunya, sudah bisa makan sendiri dengan rapi pada usia 2 tahun, bahwa di Jepang, anak-anak sudah dibiasakan mandiri sedini mungkin. Begitu anak sudah bisa berjalan, ya tidak digendong lagi. Sudah bisa makan sendiri, ya tidak lagi disuapi. Di negeri kita, Chika mungkin akan dikomentari, "Kasihan anak sekecil itu disuruh makan sendiri."
Di Jepang, hampir tak ada tenaga asisten rumah tangga. Pun keluarga muda biasanya tinggal terpisah dari orangtua. Mau tak mau, anak-anak ini harus dapat segera hidup mandiri agar tidak membebani lingkungannya.
Hanya saja, sayang karakter Scott terasa kurang lovable dan irresistable. Saya agak bingung apa kelebihan Scott (selain tampang ganteng dan kengototannya mengejar Miyu), sampai bisa bikin Miyu yang bijak dan selalu berpikir rasional itu mabuk kepayang. Begitu pula tokoh Thariq, yang sebetulnya potensial untuk dijadikan saingan berat Scott, cuma disinggung sedikit. Karakter utuhnya seperti apa, pembaca pun akan bertanya-tanya. Dialog langsungnya dengan Miyu malah cuma satu kali. Sisanya diceritakan secara naratif saja.
Dengar-dengar, novel ini--yang merupakan sekuel dari Tiga Cara Mencinta, bakal menjadi karya trilogi. Karena akhir cerita memang masih ada yang menggantung dan bikin penasaran, sekuel akhirnya layak ditunggu nih. Saya harap di sekuel selanjutnya, pengarang akan membuat tokoh-tokoh lelaki terasa lebih nyata, kalau perlu sampai bikin pembaca ikut termehek-mehek jatuh cinta.
sampul bukunya keren ya..
BalasHapusiya, saya suka alas fotonya yang dari kayu itu :D
HapusSepertinya novelnya menarik karena settingnya di solo dan sya cukup lama tinggal disana jadi mungkin bisa lebih mnghayatinya. Pengen rasanya di setiap negara ada toko buku indonesia jadi bisa beli dengan mudah.
BalasHapusSetting-nya di Jepang kok Mas.. pertemuan pertama Miyu & Scott dibahas di buku kesatu (Tiga Cara Mencinta) :D
HapusSetuju Bang, sy yakin di toko buku nanti bakal banyak yg jatuh cinta pada pandangan pertama sama buku ini gara2 sampulnya :)
BalasHapusKayanya ini buku soal cinta :)
BalasHapusBukaaan.. ini buku cerita detektif. Hahaha. *just kidding*
HapusPengin juga baca novel yg manis begini :D
BalasHapusgulali kali mbak Leyla, manis.. hihihi :)
Hapus