Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Kamis, 17 Januari 2013

Sambungan Hati Jarak Jauh

Sudah baca cerita-cerita sebelumnya? Ini dia:    Kenalan, Yuk!
                                                                               Pukul Dua Dini Hari
                                                                               Orang Ketiga Pertama
                                                                               Cuti Sakit Hati


Di ruang gawat darurat itu, mereka memasangkan berbagai alat, menusukkan jarum infus dan obat-obatan ke tubuh Kakek yang sekarat.

“Ayo, bertahanlah—beri dia atrofin sulfat 1 ampul lagi! Ayolah, berdenyutlah lebih cepat...”

“Dok, lihat! VT1!” Seorang perawat berseru sambil menatap horor layar monitor di sisi Kakek, yang memperlihatkan gelombang-gelombang tajam yang tak kupahami. Apapun itu, pasti gawat, karena dokter itu semakin ganas menembakkan rentetan perintah.

“Sialan! Siapkan defibrilator2!! Beri aku 200 joule!”  

Aku tahu mereka profesional dan berusaha menolong Kakek, tapi tanpa sadar aku menekap mulutku saat dokter menempelkan dua bilah alat logam di dada telanjang Kakek, membuat dada itu tersentak. Berulang kali.

“Naikkan! 360 joule!!”

Ibu memekik ngeri di pelukan Ayah, membuat mereka tersadar bahwa kami masih di sini, menyaksikan...

Mereka buru-buru menyuruh kami menunggu di ruang tunggu. Saran bagus.

Kami duduk tegak di sofa kulit sintetis di ruang tunggu, terlalu stres untuk sekedar menyandarkan punggung. Aroma lembut pengharum ruangan menyelinap ke penciumanku. Tetap saja, itu tak mampu melenyapkan sepenuhnya bau khas rumah sakit yang menggelisahkan.

Tak jauh dari kami, ada meja berisi setumpuk majalah lama dan beberapa eksemplar surat kabar. Di ruangan hanya ada beberapa orang saja. Tampang mereka sama tegangnya dengan kami. Di sudut, seorang perempuan mengisi gelas kertasnya dengan kopi panas dari vending machine, tapi hanya meneguknya sekali, sambil menangis.

Ibu menatap hampa layar televisi plasma yang menampilkan acara reality show, sambil bolak-balik melirik ke arah pintu ruang gawat darurat. Ayah pamit keluar untuk merokok, kebiasaan buruk yang telah lama dia tinggalkan. Aku sendiri tak bisa berhenti mengetuk-ngetukkan tumitku ke lantai marmer.

Rumah sakit, semewah apapun, tak akan bisa membuatmu merasa benar-benar nyaman. Atau aman dari rasa kehilangan. Memang banyak yang bahagia saat meninggalkan rumah sakit. Pulang dalam keadaan sembuh, atau menimang bayi yang baru lahir.

Tapi tak bisa dipungkiri, selalu ada peristiwa sedih di tempat seperti ini.

Sebagian orang mendapat vonis penyakit mematikan. Sebagian lagi harus menggadaikan segala harta bendanya agar bisa bertahan hidup lebih lama dengan cuci darah, atau kemoterapi. Sisanya harus menyerah pada kematian dan hanya menyisakan duka bagi orang-orang yang mencintainya.

“Keluarga Tuan Bahtiar ditunggu di UGD segera!” panggilan merdu itu berasal dari pengeras suara. Ibu dan aku terlonjak dari sofa, bergegas ke ruang gawat darurat disusul Ayah.

Bermacam dugaan menyesaki benakku. Apa Kakek selamat? Apa kondisinya terlalu parah? Atau...

“Kondisinya belum stabil, dia tetap harus dipantau intensif di ruang ICU,” sang dokter berbicara. Kali ini, ia tampak lebih lunak dan berempati. Mungkin tadi keadaan memaksanya untuk bersikap begitu garang.

“Boleh dijenguk, Dok?” kata Ibu.

“Tuan Bahtiar belum sadar. Kami akan memindahkannya ke ICU, dan keluarga bisa menemuinya nanti pada jam besuk. Maaf..”

“Tak apa, Dok.. Terima kasih banyak,” kata Ayah.

Pukul tujuh pagi, aku pulang. Sendirian. Ibu menunggui Kakek di rumah sakit, sementara Ayah masih disibukkan dengan urusan administratif perawatan Kakek. Aku kembali ke rumah untuk mengambilkan pakaian ganti untuk Kakek dan Ibu.

Aku berusaha menenangkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berkali-kali berbisik, mencoba meyakinkan diriku sendiri.

“Kakek masih hidup. Dia akan bertahan..”

Aku masuk ke kamar orangtuaku, menarik travel bag pertama yang bisa kutemukan di dasar lemari, dan mulai memasukkan pakaian-pakaian Ibu ke dalamnya, lalu berpindah ke kamar Kakek. Aku sedang memilah pakaian-pakaian dan menjejalkannya ke travel bag ketika menemukan robekan kertas usang itu, terlipat di antara tumpukan pakaian.

Apa ini?

‘My dearest B,’ aku mengernyit pada tulisan tangan bersambung yang indah itu.

B? Bahtiar...?

Aku terus membaca.

‘Kamu bilang, akan menamai bayi perempuan itu Nalini Sarisha. Dua kata Sansekerta yang berarti cantik dan mengagumkan. Aku bilang, kalau yang lahir bayi laki-laki, akan kuberi dia nama Abimanyu Prasetya. Seperti nama putera Arjuna, yang artinya pemberani. Prasetya artinya janji. Aku ingin bayi ini kelak menjadi lelaki yang berani memegang janjinya.’

Aku tak tahu kalimat selanjutnya, sebab di situlah letak robekannya berada. Surat ini begitu dalam dan romantis... Seperti penyambung dua hati yang terpisahkan oleh jarak jauh.

Apakah ini ditulis oleh almarhum Nenek? Tapi dari ketiga anak Kakek dan Nenek, tak ada satupun yang bernama Nalini Sarisha atau Abimanyu Prasetya. Apakah mereka berubah pikiran, lalu memilih nama-nama lain untuk paman dan tanteku?

Tunggu.

Kubaca ulang potongan surat itu dengan cepat, seolah mencari kata kunci. Tanpa sadar, tanganku yang lain merogoh saku jaket dan menyentuh secarik kertas. Kertas yang dini hari tadi jatuh dari genggaman Kakek. Yang ditulisinya sebuah nama.

Abimanyu Prasetya.

Aku merasa yakin, penerima surat yang berinisial B itu memang Kakek. Dan entah kenapa, perasaanku mengatakan bahwa pengirim surat cinta ini bukan Nenek.

Lantas, siapa? 
*



  1. VT : Kependekan dari ventricular tachycardia, sejenis aritmia atau gangguan irama jantung berbahaya di mana bilik jantung berdenyut terlalu cepat sehingga tidak adekuat untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
  2. Defibrilator : Alat kejut jantung yang digunakan untuk mengatasi beberapa jenis aritmia berbahaya, bekerja dengan cara mengalirkan energi listrik (dalam dosis tertentu) ke jantung untuk merangsangnya kembali berdenyut normal dan teratur. 

4 komentar:

Terima kasih untuk komentarnya :)