“Kenalan, Yuk!”
Sosok lelaki renta yang sejak
tadi kuperhatikan diam-diam, mendadak bicara padaku dari kursi rodanya.
Sudut-sudut bibirnya meruncing jadi senyum, dan seketika itu pula kerut-merut
yang bersilangan muncul di wajahnya. Wajah itu dibingkai rambut tipis keperakan.
Aku balas tersenyum.
“Boleh... Namaku Tiara,” kataku
ceria sambil mengulurkan tangan, “nama Kakek siapa?”
“Nama Kakek... Humm, siapa ya?”
Rautnya sedikit bingung, mencoba mengingat-ingat. Tangannya, yang kini berjabatan
dengan tanganku, tergantung gamang.
Aku melirik novel Pride and Prejudice yang tergeletak di
pangkuannya, lalu berkata, “Kelihatannya itu buku bagus. Milik siapa itu, Kek?”
Lelaki itu menyentuh bukunya,
membuka halamannya dan menemukan sebuah tulisan tangan rapi terukir di sana.
“Hmmm,” Lelaki itu memicingkan
matanya, “Bah-ti-ar. Ohya, betul. Betul. Bahtiar. Itulah nama Kakek. Dan, ya,
ini buku kesukaan Kakek. Buku terbaik sepanjang masa.” Kakek Bahtiar tergelak,
seolah menertawakan dirinya sendiri yang kikuk.
“Buku terbaik? Memang isinya
tentang apa sih, Kek?” tanyaku, mulai berminat.
Kakek Bahtiar menepuk-nepuk buku
itu penuh sayang, lalu mulai bercerita tentang tokoh-tokoh di dalamnya, yang
hidup di masa lampau di Inggris. Tentang Nyonya Bennet yang punya lima anak
perempuan dan pusing tujuh keliling memikirkan cara agar mereka bisa
mendapatkan suami kaya. Tentang Elizabeth Bennet, yang terlalu cerdas untuk
zaman di mana seorang perempuan baru disebut terampil jika dia pintar bersolek,
bermain piano, dan menyulam; zaman di mana karier tertinggi seorang perempuan
adalah menjadi istri dari lelaki kaya yang bergelar bangsawan.
Kakek Bahtiar begitu lihai
mengisahkan semuanya sehingga aku seolah-olah bisa melihat tokoh-tokoh itu
berlompatan keluar dari dalam buku dan beraksi di hadapanku; Elizabeth yang
judes pada Tuan Darcy saat mereka belum lama saling kenal, Lidya yang super
centil dan Tuan Wickham yang bermulut manis namun ternyata pembohong besar.
Kata-kata lelaki itu mulai
tersendat. Napasnya tampak berat.
“Kakek baik-baik saja? Kakek
terlalu bersemangat sih...” kataku kuatir, membenahi letak selang oksigen yang
melintang di bawah hidungnya.
Lelaki tua itu menggeleng, mengangkat
kedua tangannya; memberi isyarat bahwa tak ada yang perlu dicemaskan. Tak lama
setelah itu, napasnya normal kembali, dan ia terkekeh.
“Jantung Kakek ini mulai ringsek..
Maklumlah, barang antik. Kamu tahu, Nak... Siapa namamu tadi? Dira ya?”
“Tiara, Kek...”
“Iya. Kamu tahu Tiara? Kakek
punya cucu perempuan lho. Dia seumuran denganmu. Namanya... Namanya... Aduh,
siapa ya nama cucu Kakek yang cantik itu?”
Aku menatap sabar lelaki itu,
yang kini dahinya berkerut-kerut banyak sekali, berusaha mengingat. Bibirnya
komat-kamit menyebut beberapa nama yang mungkin adalah nama cucunya itu.
“Akhir-akhir ini Kakek sering
melupakan banyak hal, Tiara,” katanya, akhirnya meminta maaf. “Sesekali, saat ingatan
Kakek muncul, semuanya terasa jelas dan nyata. Kakek ingat nama-nama,
tempat-tempat, kejadian-kejadian, sampai ke detil terkecil. Tapi, ingatan itu lebih
sering menyembunyikan diri, jauh di sudut otak Kakek.”
Ia mengerjapkan matanya, lalu
memandang kolam ikan di depan kami. Aku masih asyik menyimak celotehnya.
“Tiap kali ingatan itu hilang,
Kakek merasa takut..” bisiknya, seolah tak ingin ada orang lain yang mengetahui
ketakutannya.
“Tidak apa-apa, Kek.. Lupa itu
kan manusiawi. Boleh kutarik sedikit kursinya, Kek?” hiburku sambil menarik
kursi rodanya, sedikit lebih dekat padaku, supaya perbincangan kami lebih
nyaman.
Lelaki itu mengangguk-angguk, “Ya..
Manusia itu pelupa. Lupa itu biasa. Tapi tidakkah semua jadi menakutkan ketika kamu
mendapati dirimu tiba-tiba berada di tempat asing? Kamu tak tahu siapa dirimu, mengapa
kamu berada di sana, dan kebingungan mencari jalan pulang...”
Aku diam saja, sebab aku tak
punya jawaban yang tepat untuknya.
Tiba-tiba, lelaki itu
memandang berkeliling dengan asing.
“Di mana ini?” Dia menatapku
panik, seolah tahanan yang diculik dengan mata tertutup kain dan mendapati
dirinya berada di tempat tak dikenal.
“Di rumah, Kek.”
“Rumah?”
“Iya.”
“Kamu siapa,Nak? Sepertinya
Kakek familiar dengan wajahmu...”
Aku tersenyum lebar, walau
sesuatu yang tajam baru saja menggores hatiku. “Lupa” memang manusiawi, namun “lupa”
itu menyedihkan jika yang terlupakan adalah hal-hal terpenting dalam
hidupmu. Tak ubahnya penyakit Alzheimer, yang merenggut nyaris semua memori Kakek
Bahtiar dan hanya menyisakan kepingan-kepingan kecil, ingatan yang samar
tentang almarhumah istrinya, anaknya, dan cucunya: aku.
“Kenalan, yuk!” Kuulurkan
tanganku lagi, seperti tadi. Seperti kemarin lusa. Seperti hari-hari sebelumnya
saat Kakek tidak mengingatku. “Namaku Tiara.”
Perlahan, tangan keriput yang
gemetar itu menyambutku.
“Nama Kakek, Bahtiar. Kakek punya
cucu perempuan sebaya kamu, Nak. Dia juga cantik seperti kamu.”
“Iya, Kek. Aku tahu.”
Pelan-pelan, kudorong kursi
rodanya menjauhi taman, kembali ke kamar. Hari sudah senja. Saatnya kakek
beristirahat.
*
Nice story, Riri :)
BalasHapusGaya tulisannya juga keren. Suka :))
makasih, mbak Ratih :) Saya Ruri, btw. Hehehe
HapusBagus bangetttt :)))))))
BalasHapusmakasih, Bila, seneng bangettt dikunjungi :)))
HapusLupa,terlupakan, bnyak hal mungkin yg ingin kita lupakan, namun ketika yg terlupa adalah yg takningin kita lupakan mka itu membuat sedih..
BalasHapusKisah kecil yg mengharukan...
Salam kenal :)
sedih ya..
BalasHapus*pukpuk Nath*
Hapushehehe saya memvisualisasikan saat sang kakek berkata, "siapa tadi nama kamu, Adira ya?", sambil bayangin perusahaan kredit itu ^^v
BalasHapusWah.. iya ya? Aku ganti deh, takut dikira iklan soalnya. Hehe.. ^.^
HapusBagusss :')
BalasHapusmakasih, Mey ^___^v
Hapus"Elizabeth yang judes pada Tuan Darcy saat mereka belum lama saling kenal, Lidya yang super centil dan Tuan Wickham yang bermulut manis namun ternyata pembohong besar."
BalasHapuscmiiw: kurang tanda koma
"kataku kuatir"
cmiiw: khawatir?
"Lelaki itu mengangguk-angguk,"
cmiiw: iya, memang si kakek laki-laki. detailnya lelaki berumur itu.
keseluruhan:
o.k, sip sip sip. sudah bagus di awalan.
thank you masukan-masukannya mas.. ^.^ *sungkem*
HapusSi kakek ingat betul cerita dalam buku itu tapi lupa nama cucunya.. :(
BalasHapusAlzheimer kira-kira gambarannya seperti itu, mbak Rin.. Yang lebih dulu terlupakan adalah memori jangka pendek (misalnya lupa kalau sudah makan, lupa mau ngapain dan ke mana) atau orang/kejadian yang ada belakangan. Kenangan yang udah jadul banget, misalnya potongan lirik lagu kesukaan (dalam cerita ini, novel kesukaan), malah bisa jadi masih diingat dengan jelas. Lama-lama penyakit ini makin progresif, dan semakin banyak hal-hal yang sulit diingat. :)
HapusBeberapa film tentang Alzheimer yang pernah saya tonton itu The Notebook sama Black (India). Ooh jadi yang diserang ingatan jangka pendek dulu ya?
Hapusiya mbak. aku pernah nonton film Korea yang tokoh utamanya kena Alzheimer Disease, judulnya A Walk To Remember. Kalo The Notebook & Black malah aku belum tau..
HapusBagusss. Tapi sedih :(
BalasHapus*pukpukpuk* :3
Hapus