Bertahun-tahun
lalu, saat saya masih seorang co-asisten di fakultas kedokteran, saya selalu
tertegun saat bertemu pasien dengan Human
Immunodefficiency Virus/Acquired Immuno Defficiency Syndrome (HIV/AIDS). Sebagian
dari mereka masih segar bugar, dan rutin mengonsumsi obat antiretroviral.
Sebagian lainnya tergolek lemah di ranjang rumah sakit, berusaha melawan
ganasnya virus dengan sisa kekuatan yang mereka miliki.
Setiap
kali berhadapan dengan mereka, saya tergelitik oleh satu pertanyaan: kok bisa sih mereka kena penyakit itu?
Seringkali
saya menebak jawabannya. Kebanyakan hanya berupa tebakan penuh prasangka buruk.
"Lihat
tuh, tatonya banyak banget. Pantesan terinfeksi HIV.”
"Astagahhh!
Ada parut-parut bekas luka di pergelangan tangannya! Dasar pecandu narkoba.”
"Mbak
itu bilang, dia tertular dari pacarnya. Lagian sih free sex segala. Ngga pake
pengaman pula.”
Sampai
suatu hari, saya mengalami kecelakaan. Saat itu saya sedang bertugas sebagai
dokter jaga di unit gawat darurat sebuah rumah sakit swasta. Malam itu
melelahkan. Banyak pasien datang dan pergi. Salah satunya, seorang lelaki tua
yang tiba dalam keadaan koma. Ia tampak sedikit ikterik (kuning). Menurut
keluarga yang membawanya ke rumah sakit, dia ada penyakit sirosis hati. Kami
memberikan pertolongan semaksimal mungkin saat itu juga, tapi lelaki itu akhirnya
meninggal dunia di UGD. Dengan isak tangis, keluarga membawa pulang jasad
lelaki itu. Saya baru saja berjalan hendak keluar dari ruangan itu ketika
sesuatu menusuk kaki saya.
Benda
itu adalah jarum yang tadi dipakai perawat saat memasang infus pasien lelaki tua. Entah bagaimana, mungkin jarum itu luput dari pengamatan, bergulir jatuh
ke lantai lalu melukai saya. Lukanya sangat kecil dan hanya sesaat terasa sakit,
tapi saat itu saya takut luar biasa! Pasien itu livernya berpenyakit. Bagaimana
kalau dia juga ada hepatitis? Apa jadinya kalau dia punya HIV?? Atau entah
penyakit apalagi yang mungkin saja bersarang dalam tubuhnya??
Saya
terus berdoa pada Tuhan agar semua dugaan itu salah.
Beberapa
bulan kemudian, saya menjalani pemeriksaan lab. Tidak ada hepatitis, apalagi
HIV. Setahun sesudahnya, darah saya diperiksa kembali. Nihil. Saya sehat!
Alhamdulillah!!
Saya ngga bisa berhenti bersyukur untuk ini!
Lalu
saya terhenyak. Bagaimana jika pasien-pasien AIDS itu dulunya terinfeksi dengan
cara seperti itu? Coba bayangkan seorang ibu rumah tangga baik-baik,
terkena AIDS melalui suaminya yang habis ‘jajan’ dengan pekerja seks komersial
di luar sana? Bayangkan bayi tanpa dosa, terlahir dengan HIV yang ditularkan
ibunya. Atau, bayangkan seorang dokter yang sungguh-sungguh
mengamalkan ilmunya demi kesembuhan pasien, secara tak sengaja terinfeksi HIV dari pasien yang ia tolong.
Mereka
ini sama sekali bukan orang-orang brengsek. Kenapa justru mereka yang harus
mengalami hal seburuk AIDS?
Saat
itulah saya baru sadar, selama ini saya telah keliru menghakimi ODHA. Malu
rasanya kalau ingat bahwa pikiran saya sama sempitnya dengan orang-orang yang
menganggap HIV/AIDS sebagai kutukan, dan dengan demikian orang-orang yang kena kutuk
harus dijauhi. “Pantaslah mereka kena
penyakit itu. Itu hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa mereka!”
Mata
saya mulai terbuka. Terlepas dari apapun masa lalu mereka, banyak lho ODHA yang gigih dan punya tekad kuat untuk
bertahan hidup. Mereka berhenti menyalahkan Tuhan atas apa yang sudah terjadi. Mereka
berbuat, mulai dari rutin minum obat antiretroviral dan menjalani gaya hidup
yang lebih sehat, bergabung dalam komunitas untuk saling memberi dukungan moral
dan materiil satu sama lain, mendampingi teman-temannya ke rumah sakit untuk
medical check up, hingga menggelar kampanye pencegahan AIDS tanpa lelah, untuk
memperingatkan orang-orang tentang bahaya HIV/AIDS dan cara menghindarinya.
Salah
satu cara berkampanye adalah melalui dunia maya. Dengan menyebar brosur kegiatan
komunitas ODHA atau melakukan penyuluhan tentang pencegahan HIV/AIDS di tempat
dan waktu tertentu, hanya sekelompok orang yang bisa terjangkau. Tapi bayangkan
betapa banyak orang yang bisa membaca sebuah artikel blog di dunia maya? Dengan
sekali posting saat prime time (jam-jam
utama di mana orang-orang paling banyak berselancar di cyber world), sebuah artikel bisa dibaca oleh ribuan orang di
seluruh dunia. Belum lagi jika orang-orang ini mempromosikan artikel yang baru
dibacanya, lewat jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, e-mail dan
sebagainya, bisa-bisa jumlah pembaca artikel bertambah puluhan kali lipat. Semakin
banyak orang yang tercerahkan dong ya. J
Komunitas-komunitas
peduli HIV/AIDS mulai menyadari pentingnya internet sebagai media edukasi
masyarakat. Beberapa dari mereka membuat akun jejaring sosial, blog dan website
untuk menyampaikan informasi yang benar tentang AIDS. Salah satu tujuannya,
supaya masyarakat menghindari perilaku beresiko terinfeksi HIV, juga tak lagi
menaruh kesan negatif pada ODHA. Singkat kata, jauhi virusnya, bukan orangnya.
Mungkin,
hari ketika pertama kali mereka dinyatakan HIV positif adalah momen tergelap
dalam hidup mereka. Tapi bagaimanapun, mereka berhasil melaluinya. Mereka mampu
bangkit dan menyulut obor. Bukan sekedar untuk mencari jalan keluar dari
kegelapan, tapi juga memperingatkan orang lain agar jangan terjatuh seperti
mereka.
Saya pun
berhenti menghakimi ODHA.
"Kok
bisa sih kena penyakit itu?” Jika saya memang harus mencari
tahu jawabannya, itu hanya sebagai informasi riwayat medis pasien. Informasi
semacam ini bisa sangat berguna untuk pasien juga lho nantinya. Tapi buat saya
pribadi, ngga penting lagi bertanya bagaimana virus itu bisa menerobos masuk ke
tubuh ODHA. Biarlah itu menjadi masa lalu kehidupan mereka. Kita tidak
berhak menghakimi siapapun hanya karena penyakit yang ia derita.
*
nice post :)
BalasHapusthanks for reading my blog, Aisy ^^
Hapuswah rur, pasti takut banget ya waktu terkena jarum itu, hiiii. Betul, jangan hakimi mereka, karena yang berhak menghakimi hanya Allah
BalasHapusiya Win. mungkin itu teguran buatku, supaya ngga lagi men-judge orang seenaknya..
HapusSangat menginspirasi Mba.. saya jadi tercerahkan setelah baca post ini.
BalasHapus^_^ tularkan cerahnya pada orang-orang di sekitar ya mbak..
Hapus