Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Tampilkan postingan dengan label Liga Blogger Indonesia 2015. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liga Blogger Indonesia 2015. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Maret 2015

Serba-serbi Batuk yang Harus Kamu Ketahui

Batuk adalah cara tubuh membersihkan saluran napas
kita dari benda asing seperti asap atau debu.

Sebetulnya, batuk adalah cara yang sudah Tuhan ciptakan bagi tubuh kita agar bisa membersihkan saluran pernapasan dari benda asing seperti asap atau debu. Sebagian jenis batuk, misalnya yang disebabkan iritan semacam asap rokok atau alergen seperti serbuk bunga, bisa dicegah dengan menghindari faktor-faktor yang mencetuskannya. Batuk yang kita alami ketika terserang flu, bisa reda dengan sendirinya seiring dengan sembuhnya flu.  

Untuk meringankan batuk semacam ini, kita bisa melakukan hal-hal berikut ini di rumah:

(Book Review) Kaas


Judul             : Kaas
Pengarang    : Willem Elsschot
Penerjemah  : Jugiarie Soegiarto
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama

Selama puluhan tahun, Frans Laarmans merasa puas dengan hidupnya yang datar. Jadi pegawai surat-menyurat di General Marine and Shipbuilding Company, menerima gaji pas-pasan setiap bulan, hidup bersama istri yang hemat dan setia, serta dua anak yang tidak pernah bertingkah macam-macam. 

Satu-satunya kejadian dramatis yang baru-baru ini dialaminya adalah ketika ibunya yang renta dan sudah lama terkena pikun, wafat. Frans dan abang-abangnya mengadakan acara pemakaman. Di sanalah Frans bertemu Mijnheer Von Schoonbeke, pasien sekaligus teman Karel--abang Frans yang berprofesi sebagai dokter. Von Schoonbeke sangat menghormati Karel, maka ia juga bersikap baik pada Frans. Ia mengundang Frans ke jamuan makan malam di rumah mewahnya. Merasa tersanjung atas undangan itu, Frans memenuhinya. 

Ternyata, jamuan itu dihadiri teman-teman Von Schoonbeke; kalangan elite di Belgia. Walau tuan rumah menyambutnya ramah, Frans minder berada di sana. Tema obrolan mereka sama sekali ngga nyambung dengan kehidupan Frans: bisnis (yeah, kayak Frans ngerti aja), restoran mana yang makanannya enak (istrinya akan melotot kalau tahu harga makanannya), mobil model terbaru (Frans tak pernah mimpi untuk punya mobil, yang model lama sekalipun), juga travelling keluar negeri (seumur-umur, Frans keluar kota saja tidak pernah).

Tadinya, Frans berusaha membaur, sesekali melontarkan topik diskusi tapi selalu salah bicara. Akhirnya ia lebih banyak diam di pojokan. Garing ngga sih? Meski begitu, Frans enggan meninggalkan jamuan mingguan itu karena dua alasan. Pertama, tak enak hati pada tuan rumah yang telanjur memperkenalkannya secara terhormat sebagai "Mijnheer Laarmans dari perusahaan perkapalan"

Jika mereka mendapatinya bersama orang yang tak dikenal, ia akan memperkenalkan orang baru itu sedemikian rupa sehingga mereka akan menghargai orang tersebut setidaknya seratus persen lebih tinggi daripada keadaan sesungguhnya.

"Jadi, Anda ini insinyur," kata pria bergigi emas yang duduk di sebelahku.

"Inspektur," temanku Van Schoonbeke menukas.

Padahal sih aslinya jabatan Frans di sana cuma pegawai rendahan.

Kedua, jadi muncul semacam ego dalam diri Frans bahwa ia juga harus punya sesuatu yang bisa dipamerkan ke teman-teman barunya. Mendadak, pekerjaan yang sudah ditekuninya selama 30 tahun, jadi tampak remeh. Maka, begitu Von Schoonbeke menawarinya untuk beralih profesi menjadi pengusaha keju, Frans langsung berminat. 

Abang dan istrinya kurang setuju dengan keputusan Frans yang terburu-buru. Mereka juga kuatir pekerjaan Frans di General Marine akan terancam. Lagipula, selalu ada resiko gagal dalam berbisnis. Tapi karena Frans ngotot, akhirnya mereka mendukung juga. 

Istrinya mengusulkan, selama menjajaki bisnis baru, Frans jangan berhenti dari pekerjaan tetapnya, melainkan harus pura-pura sakit sehingga tidak perlu datang ke kantor. Karel malah memberinya surat dokter yang menyatakan Frans kena penyakit syaraf (semacam depresi gitu) sehingga butuh istirahat selama 3 bulan. 

Berbekal surat rekomendasi dari Von Schoonbeke, Frans datang ke PT. Hornstra, salah satu perusahaan pemasok keju terbesar di Belanda. Frans akan memperoleh 300 gulden setiap bulan plus komisi 5% dari hasil penjualan. Dimulailah petualangan Frans sebagai pedagang keju edam! 

Kini terbentanglah dunia keju bagiku. 

Frans dipenuhi luapan optimisme baru. Penuh semangat, Frans memikirkan nama untuk bisnis kecilnya, memasang pesawat telepon, malah sampai berniat memesan kertas dengan kop surat segala. 

Saat jamuan makan berikutnya, Von Schoonbeke bahkan menyebut Frans sebagai "Mijnheer Laarmans, pedagang besar bahan makanan!". Orang-orang mulai menganggapnya penting dan melibatkannya dalam percakapan. Rasa percaya diri Frans langsung melesat naik.

Namun optimisme Frans harus teruji ketika 20 ton keju edam pertamanya datang. Sanggupkah Frans menjual semua itu dan menjadi pedagang keju yang sukses?

*

Dulu, pertama kali melihat cover Kaas yang minimalis tapi ngejreng itu, saya langsung tertarik beli. Meski buku ini udah lamaaaa banget selesai dibaca, saya ingin menulis resensinya di sini.  Kenapa? Karena temanya lumayan menggelitik, tentang seorang karyawan kecil yang ingin memperbaiki hidupnya dengan berbisnis sendiri. 

Lebih baik mana, jadi pegawai atau punya usaha sendiri? 

Rasanya pertanyaan ini selalu jadi bahan diskusi panas dalam keseharian kita. 

Sebagian berpendapat, lebih baik jadi pegawai bergaji tetap. Sehari dua tak masuk karena izin atau sakit, masih dibayar utuh tiap bulan. Kalau beruntung, bisa dapat tunjangan dan asuransi yang lumayan. Menjadi wiraswastawan itu penuh resiko. Iya kalau dagangan laku. Iya kalau sukses. Banyak juga lho yang bangkrut atau ditipu rekanan.

Sebagian lainnya mengelu-elukan kerennya punya usaha sendiri. Jadi bos bagi diri sendiri meski baru tahap merintis usaha, itu lebih bagus ketimbang digaji besar tapi sebagai bawahan orang lain. Sudah setia mengabdi pada perusahaan, eh bisa aja lho di-PHK! Kalau jadi wiraswastawan, malah bisa bantu membuka lapangan pekerjaan buat orang lain kan?

Frans Laarmans termasuk yang ingin mengubah nasibnya jadi lebih baik dengan menjadi pebisnis. Tapi ternyata, menjadi wiraswastawan tak semudah yang dikira Frans. Butuh kerja keras supaya 20 ton keju yang duduk manis dalam gudangnya itu terjual! Semangat dan usaha Frans sebagai pemula boleh dipuji sih, meski tak semuanya terwujud sesuai angan-angan. 

Salah satu hal yang saya suka dari Kaas adalah, betapa dukungan keluarga itu penting dalam jatuh-bangun karir seseorang. Istri Frans memang menentang ide soal berdagang keju, tapi toh ia tetap menghargai antusiasme suaminya, tetap memberi nasihat tanpa menyinggung ego suaminya, dan untungnya Frans juga mau mendengar masukan dari keluarganya. Ini terbukti menyelamatkan Frans dari resiko kehilangan pekerjaan di tempat lamanya. Saat bisnis keju tak berjalan mulus, istri Frans sama sekali ngga melontarkan celaan semacam "Tuh kan, apa gue bilaaang?". Hehehe.  

Di sisi lain, ada pelajaran berharga juga yang bisa ditarik dari kumpulan orang elite di sekitar Von Schoonbeke. Kadang kita mudah silau dengan keberhasilan orang lain, dan terburu-buru ingin jadi seperti mereka. Padahal, keberhasilan itu bukan sesuatu yang instan dan gampang diraih. Butuh proses panjang, dan mungkin juga berkali-kali gagal, sebelum mencapai sukses. Sayangnya, saat silau kita lupa mempelajari bagaimana perjalanan orang-orang sukses itu sebelum menjadi dirinya yang sekarang.

Perubahan apa pun yang ingin kita lakukan dalam hidup, harusnya datang dari passion. Dari keinginan sendiri, bukan sekedar ikut-ikutan seperti Frans Laarmans yang mendadak minat berbisnis sendiri karena ingin membuktikan bahwa dirinya pantas bergabung dalam kelompok elite Von Schoonbeke.

So, what's the answer for  "Lebih baik mana, jadi pegawai atau punya usaha sendiri?"  

Cuma kita yang bisa menjawabnya. :)   

Senin, 23 Maret 2015

Blogger dan Ekosistemnya



Dulu, waktu saya masih menganggap blog hanya sebagai "tempat sampah" pribadi, saya tidak terlalu memikirkan tentang pentingnya menjalin pertemanan dengan blogger lainnya. Yang penting menulis di blog, ada atau tidak ada yang membaca. Ada atau tidak pembaca yang merasa tulisan saya memberi manfaat. Pokoknya, just me and my blog.

Blogger yang asyik sendiri dengan dunia kecilnya (yaitu blog yang dikelolanya), mungkin bisa diibaratkan seperti tetangga "anti-sosial". Pernah punya tetangga dekat rumah yang tidak pernah berbaur dengan masyarakat sekitar? Nyaris tidak pernah terlihat, kalau berpapasan pun semacam acuh tak acuh, paling banter hanya mengangguk dan tersenyum kecut? Kalau kita duluan tersenyum dan menyapa, baru deh dia membalasnya dengan lebih ramah. 

Hehe. Ngga asyik kalau hidup seperti itu kan?

Lambat laun, saya mulai merasakan sendiri kebutuhan untuk berteman dengan blogger lain, baik yang seminat atau pun tidak. Apalagi setelah saya blogwalking kesana kemari dan menemukan bahwa, ngeblog itu bukan cuma untuk diri sendiri. Melihat hal-hal keren yang para blogger lain sudah lakukan dengan blognya, saya jadi menyadari: mubazir juga nih kalau blog, dengan segala potensinya, cuma jadi keranjang curhat.

Sebagaimana manusia lainnya, blogger adalah makhluk sosial yang pastinya saling membutuhkan satu sama lain. Karenanya, berinteraksi dengan blogger lain, termasuk membentuk komunitas, menjadi kebutuhan. Apalagi bila seorang blogger bercita-cita untuk jadi profesional dan mendapatkan penghasilan utamanya dari ngeblog.

Saya pernah membaca beberapa blog milik para blogger profesional, dan di sana mereka beberapa kali menceritakan perjalanannya atau berbagi tips tentang professional blogging, poin penting yang tak pernah absen dari tips mereka adalah: jalinlah relasi dengan para blogger lainnya. Seorang blogger sulit menjadi profesional hanya dengan mengandalkan diri sendiri. 




Menjalin pertemanan dengan para blogger lainnya akan membawa kita pada hal-hal baru, misalnya jadi tahu perkembangan-perkembangan baru tentang media digital atau media sosial, topik-topik apa yang sedang hangat dan bisa jadi sudut pandang baru untuk bahan tulisan di blog, tips-tips untuk mengatasi masalah seputar ngeblog.

Bergabung dengan komunitas bisa menjadi jalan bagi seorang blogger menuju ekosistem yang lebih luas lagi, yang menawarkan banyak kesempatan. Entah itu peluang bisnis, meningkatnya traffic kunjungan ke blog kita sendiri, job semacam product review atau liputan acara, info lomba, dan lain-lain.

"Ah, saya kan cuma personal blogger, part-time blogger, ngeblog karena hobi saja. Saya tidak mencari uang dari ngeblog kok."

Menurut saya, membaur dengan baik dalam "ekosistem" blogger tidak cuma diperuntukkan bagi para blogger profesional kok. Bagi saya pribadi, tujuan nomor satu mengapa seorang blogger itu harus berjejaring dengan blogger lainnya adalah silaturahmi. Silaturahmi itu bagian dari ibadah lho. Bila dari hasil silaturahmi itu kemudian seorang blogger bisa memperoleh banyak kesempatan dan keuntungan, maka itu bonus yang tentu saja layak diterima dengan senang hati.

Selasa, 17 Maret 2015

Berbagi Sudut Pandang Unik Lewat Photo Blog


Blog memang tempat berbagi yang menyenangkan. Apa pun hal yang ingin kita bagi tak melulu harus berupa tulisan. Blogger pecinta fashion, misalnya, bisa saja mengisi blognya dengan foto-foto pakaian hasil desain sendiri, atau kreasi mix and match dari koleksi pakaian yang ia punya. Para blogger yang hobi travelling juga sering mengunggah foto-foto berbagai tempat yang dikunjunginya. 

Foto ternyata bisa jadi postingan yang sangat menarik. Mengapa? Karena satu foto boleh jadi menceritakan lebih banyak hal ketimbang lima paragraf tulisan. Jadi sah-sah saja seorang blogger menjadikan blognya sebagai photo blog

Tak harus punya kamera canggih berbanderol harga belasan jutaan rupiah, bermodalkan kamera smartphone 8 MP atau kamera digital dengan resolusi 10 MP pun kita bisa menghasilkan foto yang cukup baik. Apalagi sekarang banyak aplikasi pengolah foto yang mudah dipakai dan bisa diunduh gratis di internet. Meski memang tak bisa dipungkiri, kualitas hasil jepretan kamera DSLR tentu bisa berkali-kali lipat lebih keren dibanding kamera saku, hehe. Itu kembali pada pilihan masing-masing blogger. 

Salah satu blogger yang memakai konsep photo blog adalah Minako Shoh. Dalam blognya, machinami.biz, blogger berkebangsaan Jepang ini mengunggah puluhan foto jalan dan berbagai hal di sepanjang jalan yang dilaluinya. Lewat tagline blognya, "wandering the wonderful streets", Minako seolah membawa kita mengembara di jalan-jalan berbagai negara. 

Sekilas, tema foto yang dipilih Minako mungkin dianggap kurang menarik bagi sebagian orang. Apa serunya coba foto pojokan pasar tradisional, gang sempit, atau selokan? Itu kan biasa banget. Di Indonesia juga banyak.

sebuah gang di sudut Shanghai
(machinami.biz)
pasar tradisional di Quang Nam Province, Vietnam
(machinami.biz)
Tapi justru menurut saya di situlah kelebihan Minako. Ia mampu melihat hal-hal biasa itu dari sudut unik, yang sering luput dari perhatian kita meski hampir setiap hari kita juga melihat apa yang Minako temui. Kuntum bunga liar di pinggir jalan, atau deretan jemuran bra di pagar rumah tetangga misalnya (hehehe). Di zaman serba sibuk ini, kita memang cenderung berjalan atau berkendara dengan pikiran terfokus ingin cepat sampai di tempat tujuan, sampai-sampai kita lupa menikmati perjalanan itu sendiri! Hayo ngaku, iya apa iya?

Minako mengabadikan sudut pandangnya yang orisinil itu dalam foto-foto, dan dengan melihat hasil jepretannya kita seperti diingatkan, "Makanya, sesekali berhentilah sejenak. Amati dan nikmati apa yang ada di sekeliling kamu!"

Hmm, sudah saatnya kita lebih jeli mengamati lingkungan sekitar kita. Hal-hal yang kelihatan sepele, jika diamati dari angle yang tepat bisa menjadi pengalaman yang amat menarik untuk dibagi. 

Jumat, 13 Maret 2015

Blogger di Persimpangan Jalan


Di pekan kesepuluh ini, tema yang dilemparkan panitia Liga Blogger Indonesia sedikit bikin saya galau: "Menjadi Blogger Profesional".

Seperti biasa, sebelum menulis saya cari wangsit alias referensi dulu dengan bertanya ke mas Google. Alhasil, sampailah saya di blog-blog keren, yang pemiliknya tak pernah saya kenal namun saya bisa belajar banyak dari kisah mereka. Perjalanan sukses mereka sebagai blogger profesional cukup berliku; kebanyakan memulai dari nol, dan dengan usaha yang tak mudah akhirnya mampu meraup penghasilan fantastis dari blognya.

Kisah-kisah yang mereka tuturkan di blognya, saya rangkum sekilas menjadi tulisan Tertarik Menjadi Blogger Profesional. Dari tanggapan yang masuk di kolom komentar mau pun di media sosial, ternyata banyak juga blogger yang berambisi menjadi blogger profesional.

Bagaimana dengan saya?

Saya menjadi blogger dengan niat awal menyenangkan diri sendiri. Saya bukan orang yang suka atau pun pandai bicara, dan sangat menikmati mencurahkan isi hati dan pikiran lewat tulisan. Selain itu, saya berharap sedikit pengalaman dan pengetahuan yang saya bagi di blog manfaatnya bisa menjangkau lebih banyak orang ketimbang kalau saya cuma meng-estafetkan semua itu lewat penyuluhan tatap muka, misalnya. Lebih hemat waktu dan tenaga pula. 

Sampai sekarang pun, saya masih enjoy jadi blogger biasa seperti ini. Bahwa tulisan saya bisa berguna untuk pembaca, itu adalah imbalan yang sangat memuaskan. 

Sebetulnya, ada keinginan untuk menjadi blogger profesional, bahkan sudah terbayang tema blog apa yang akan saya gunakan. :) Tapi proses yang akan saya hadapi masih panjang. Saya masih belajar pelan-pelan tentang seluk-beluk ngeblog. Juga ada kewajiban-kewajiban lain yang harus saya prioritaskan sehingga belum bisa seperti teman-teman blogger lain yang konsisten setiap hari menulis di blognya, bahkan ada yang punya beberapa blog sekaligus dan tiap hari di-update isinya. Dengan tulisan sendiri ya. Bukan hasil copas dari blog orang lain! 

Salut untuk mereka yang sudah mantap memilih jalan untuk menjadi blogger profesional atau pun tetap menjadi blogger yang blogging just for fun. Salut untuk blogger yang berhenti dari fulltime job-nya untuk menjadi fulltime blogger, mau pun untuk part-time blogger yang tetap konsisten ngeblog di sela-sela padatnya aktivitas harian.

Jalan mana pun yang kita pilih di persimpangan, wahai blogger, blogosphere akan selalu mempertemukan kita. ;)

Cara Nge-print Hemat dengan Fine Print


Setelah hampir sepuluh tahun lamanya tak bersentuhan dengan dunia akademis, kini saatnya saya kembali mengasah otak yang berkarat. Senang rasanya berada di antara teman-teman, yang mayoritas lebih muda, cerdas dan semangat belajarnya masih tinggi. Semoga saya segera ketularan berpikir dan berjiwa muda ya (walau umur tetep ngga akan bisa kembali muda, hahaha). ^_^  

Senang pula saya bisa menimba ilmu dari dosen-dosen yang sudah sangat senior namun tak pernah berhenti belajar. Selain mengajar di kampus, mereka juga tak segan membagi ilmunya dengan menulis makalah di jurnal ilmiah atau menulis buku. Bagi saya, mereka adalah contoh nyata bahwa learning is a lifetime process!  

Saya pun mulai disibukkan dengan kuliah, tugas dan persiapan ujian. Sering kali saya harus mencetak dokumen bahan kuliah atau tugas presentasi, yang tentu saja butuh amunisi kertas dan tinta printer cukup banyak.

Dari seorang teman di kampus, saya baru tahu ada program komputer bernama Fine Print yang bisa membantu kita nge-print dokumen tapi tetap hemat kertas dan tinta. Kemana aja ya sayaaa? Hihihi... Maklumlah mantan mahasiswi angkatan jadul. 

Program Fine Print bisa diunduh di internet, dengan pilihan versi gratis atau berbayar. Saya baru mencoba yang versi gratis saja, untuk mencetak slide presentasi. Ternyata hasilnya lebih memuaskan dibandingkan fitur print biasa yang ada di program Microsoft Powerpoint. 

Dengan fitur biasa, hasil print-out slide tampak kecil. Agar tulisan pada slide masih bisa terbaca dengan jelas, maksimal kita hanya bisa mencetak 6 slide dalam satu halaman kertas A4. Itu pun masih menyisakan banyak tempat kosong di kertas. Mubazir rasanya. *emak-emak irit*

Dengan Fine Print, saya bisa mengatur agar isi slide tercetak dengan ukuran diperbesar. Sangat nyaman dibaca! Selain itu, saya juga bisa nge-print 8 slide per halaman kertas A4. Contoh hasil print-out seperti yang tampak di bawah ini. 

Hasil uji coba nge-print.
Atas: fitur biasa. Bawah: Fine Print
Kalau kamu tertarik mencoba, silakan kunjungi situsnya di www.fineprint.com atau unduh program Fine Print di sini. Buka dokumen Powerpoint yang ingin dicetak, lalu tekan tombol Ctrl + P bersamaan hingga muncul menu Print seperti ini:



Klik tanda panah bawah di samping jenis printer, pilih menu "Fine Print".




Setelah itu, amati kolom kosong di bawah menu "Custom Range". Tuliskan nomor-nomor slide yang ingin dicetak, misalnya 1-8. Atau pilih saja "Print All Slides" untuk mencetak seluruh slide yang ada di dokumen tersebut. 

Untuk jumlah slide yang ingin dicetak dalam satu halaman kertas, pilihlah "Full Page Slide" alias print 1 slide per page. Jangan kuatir, nanti jumlah slide per halaman bisa kita atur pada menu terpisah milik Fine Print. Bila ingin dokumen tercetak dengan warna abu-abu atau tinta hitam-putih, gantilah menu "Color" dengan "Grayscale" atau "Pure Black and White".




Sudah selesai? Klik kotak bergambar printer. Akan tampil kotak dialog Fine Print seperti ini:


Pilih menu "Across" bila kamu menghendaki slide dicetak berurutan dari kiri ke kanan. Selanjutnya, pilih menu "8 up" untuk mencetak 8 slide per halaman kertas. Kalau ingin lebih irit tinta lagi, pilih menu "Enlighten" supaya hasil print-out lebih tipis lapisan tintanya. 

Untuk memperbesar ukuran huruf/ gambar isi slide, pilih "Enlarge" dan atur perbesaran yang dikehendaki. Selain itu, kamu bisa meng-klik "Borders" jika ingin ada garis pemisah antara slide satu dengan lainnya, seperti yang ada di gambar tadi.

Setelah selesai mengatur menu sesuai kebutuhan, klik gambar printer di sudut kiri atas layar. Contoh hasil print-out dengan program Fine Print bisa dilihat pada gambar pertama postingan ini. 

Ohiya, dari yang saya baca di mas Google, program cetak hemat ini bisa juga dipakai untuk nge-print dokumen PDF dan Word, tapi saya belum pernah coba. Berhubung saya masih pada taraf coba-coba memakai Fine Print, jadi jangan tanya yang ribet soal program ini deh. Kalau ada yang mau menambahkan tutorial Fine Print yang lebih lengkap, silakan share yaa, bakal saya terima dengan amat senang hati. Hehehe. :)

Rabu, 11 Maret 2015

Tertarik Menjadi Blogger Profesional?




"Saya ingin kelak bisa mengisi kolom pekerjaan di KTP dengan kata 'Blogger' 
dan tidak ada yang mengerutkan dahi pada saya gara-gara itu." 


Begitulah kira-kira ucapan seorang blogger pada saya, dalam sebuah percakapan grup di dunia maya. Saya sempat tertegun, berpikir. 

Di Indonesia, jumlah blogger memang banyak. Apalagi di masa kini, saat jaringan internet sudah mulai merambah sampai ke pelosok desa-desa  dan semakin banyak orang yang melek internet. Tapi banyak jugakah blogger yang benar-benar menjadikan ngeblog sebagai bagian besar dalam hidupnya? Blogger yang menjadikan ngeblog sebagai profesi, sebagai sumber mata pencaharian utama? Di negeri kita, saya rasa masih sedikit.

Entah karena belum banyak yang tahu bahwa ngeblog bisa dijadikan profesi, atau memang belum banyak yang mampu jadi blogger profesional.

Untuk mencoba memahami definisi "profesional", saya mengambil satu contoh. Seorang dokter, misalnya, harus memiliki ilmu dan skill yang dipelajarinya selama bertahun-tahun di fakultas kedokteran. Setelah itu, harus dites kompetensinya secara nasional, bahkan magang dalam program internship, sebelum bisa terjun dalam profesinya. 

Seorang dokter juga harus selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran melalui simposium dan skill workshop. Makin lama jam terbang seorang dokter, makin banyak pasien yang ditangani dengan baik, makin beragam kasus penyakit yang pernah dihadapi, makin intens berdiskusi tukar pengalaman dengan sejawatnya, maka semakin tajam pula ilmu dan kemampuannya, dan dengan begitu layak disebut profesional.

Lalu, apa saja yang dibutuhkan untuk jadi blogger profesional? 

Menurut sebuah artikel menarik yang baru saya baca di USNews.com, memang tak semua blogger bisa memperoleh materi melimpah dari ngeblog. Dari sebuah survei, kebanyakan blogger memperolah kurang dari 100 dolar per bulannya, 3 dari 10 blogger bahkan baru memperoleh 10 dolar saja per bulan. Dari 4000 responden yang berpartisipasi dalam survei, hanya sekitar 16 % yang aktivitas ngeblog-nya mampu mendatangkan penghasilan lebih dari 2500 dolar. 

Salah satu dari mereka yang sukses itu adalah Gia Lippa, yang bisa meraup hingga 10.000 dolar per bulan dari profesinya sebagai blogger. Kalau dirupiahkan, itu setara dengan 130.000.000 rupiah lho. Banyak juga ya, hehe. Awalnya, Gia mulai ngeblog dalam rangka belajar berinternet-ria. Ia memilih finance, yang memang diminatinya, sebagai tema blog. 

Selain tekun meng-update blog dengan tulisan-tulisan, Gia juga aktif menjalin pertemanan dengan para finance blogger lainnya di dunia maya. Lama-kelamaan, pembaca blognya terus bertambah hingga tujuh kali lipat dan blognya, Digerati Life, mampu menarik sampai 1000 kunjungan setiap hari. Beberapa tahun setelah blognya dibuat, Gia berhenti dari pekerjaannya dan memutuskan menjadi fulltime blogger. Blogger ini sekarang mendedikasikan 50 jam setiap minggunya untuk ngeblog dan memperoleh penghasilan melalui iklan, link, dan menjadi blogger tamu. 

Sebagai langkah awal menuju profesionalisme, seorang blogger harus menjadikan ngeblog sebagai passion. Sesuatu yang membuatnya bersedia mengorbankan banyak tenaga, pikiran dan waktu untuk itu. Pilih juga tema blog yang benar-benar diminati, supaya tulisan-tulisan tentang tema tersebut bisa dibuat dengan lebih total dan mendalam.

Belajar dari pengalaman Gia Lippa, seorang calon blogger profesional juga perlu berkenalan dan membangun network dengan para blogger lain. Dari pertemanan ini, akan muncul ide-ide segar untuk ditulis di blog sendiri. Selain itu, banyak ilmu baru yang bisa digali dari blogger berpengalaman. Peluang untuk mendapat proyek ngeblog berbayar pun bukan tak mungkin datang dari sini. 

Kemampuan teknis seperti membuat tulisan yang asyik dibaca, menggunakan kalimat yang efektif dan sesuai kaidah berbahasa Indonesia, merancang tampilan blog agar enak dilihat, mengedit foto, atau membuat video kreatif, tentu saja wajib untuk dipelajari oleh calon blogger profesional. Semua skill di atas akan sangat berguna untuk membuat para pengunjung lebih tertarik membaca dan betah berlama-lama di sebuah blog. 

Untuk membuat blognya dilirik sebanyak mungkin netizen, selain dengan mempercantik blog dan memperbaiki mutu konten, blogger juga perlu menguasai teknik SEO (search engine optimization), promosi blog lewat media sosial dan email. 

Seiring dengan semakin terdongkraknya jumlah pengunjung di suatu blog, pemilik brand atau pengiklan tentu saja bersedia membayar dengan harga pantas untuk memajang iklannya di blog tersebut. Saat inilah seorang blogger bisa mulai mendulang uang lumayan besar dari program semacam Google Adsense, afiliasi, PPC (pay per click), artikel product review, atau dari produk/ jasa milik blogger itu sendiri yang dijual melalui blognya.

Belajar dari pengalaman blogger di atas, ternyata menjadi profesional dalam hal apa pun, entah itu dokter, guru, chef, pilot, termasuk juga blogger, sama sekali tidak mudah. Butuh kemauan dan usaha yang tidak main-main untuk bisa memiliki kapasitas seorang blogger profesional. Menjadi blogger profesional juga butuh proses, yang bisa jadi butuh waktu seumur hidup. Karena status "profesional" itu sendiri dipertahankan dengan cara memperbaiki mutu tanpa henti, bukan?

Bagaimana, tertarik menjadi blogger profesional? 



Referensi:

Selasa, 03 Maret 2015

4 Tips Agar Semangat Ngeblog


Tidak terasa, Liga Blogger Indonesia 2015 sudah sampai di pekan kesembilan. Beberapa peserta mulai berguguran, termasuk mereka yang sudah berpengalaman sebagai peserta atau bahkan juara musim sebelumnya. Alasannya, ada yang kurang sreg dengan sistem penilaian yang menghitung komentar dari peserta lain sebagai poin tambahan. Ada juga yang berhenti dengan alasan harus memprioritaskan hal lain selain ikut liga, misalnya padatnya pekerjaan atau blog lain yang harus di-update.

Kompetisi ini memang berlangsung cukup lama, tepatnya 12 pekan. Tiap pekan ada tantangan baru yang mesti dipenuhi. Tema-tema yang dilemparkan panitia pun sering membuat peserta butuh cari referensi dulu sebelum bisa membuat postingannya. Tentu saja ada rasa bosan atau malas, fluktuatif seiring berjalannya waktu. Kadang-kadang juga banyak aktivitas lain yang harus didahulukan, sehingga baru bisa menyetor tulisan mepet deadline

Saya sendiri masih terus mengikuti liga sampai saat ini, bukan melulu karena tergiur hadiah (soalnya sampai sekarang pun saya malah belum tahu hadiahnya apa, hahaha) atau ingin mengalahkan peserta-peserta lain. Tapi karena saya ingin membuktikan pada diri sendiri, mampukah saya melalui kompetisi marathon ala LBI, yang tentunya tak cukup bermodal semangat sebotol soda yang hanya riuh buihnya saat pembukaan namun kemudian surut dalam waktu singkat.

Tips saya agar motivasi ngeblog tetap terjaga selama mengikuti LBI cuma satu: anggaplah kompetisi duabelas pekan ini sebagai cara gratis dan menyenangkan untuk berlatih menjadi blogger yang sesungguhnya. Ya berlatih soal memilih tema yang menarik, cara menulis yang baik, juga berlatih ngeblog secara rutin setiap minggu. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya Liga Blogger Indonesia ini bisa disebut semacam miniatur dari aktivitas ngeblog yang sebenarnya. Iya ngga?




Melalui blognya, seorang blogger yang baik tentu akan selalu berusaha berbagi tulisan yang bermanfaat, tidak mengajak pembaca blognya pada keburukan, mau terus belajar untuk memperbaiki tulisannya, dan... melakukan semua itu secara terus-menerus alias konsisten.

Nah, poin terakhir inilah yang gampang-gampang susah untuk dijaga. Adaaa aja yang bisa jadi kendala untuk konsisten ngeblog. Apa yang saya tulis di bawah ini memang pernah saya alami sendiri (haha, curcol pengalaman pribadi nih yee). Akan saya bahas juga tips untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Beberapa tips berikut ini saya dapat dari hasil mengintip tulisan banyak blogger keren.

Yuk simak. Semoga bermanfaat! :)

Problem 1: Kering Ide
Pernah mengalami kejadian ini? Sudah lama bengong di depan komputer, blogwalking sana-sini, update status, sampai stalking akun media sosial orang-orang (eh, ngga ding) demi mencari ide, tapi ujung-ujungnya tetap aja bingung mau menulis apa.

Tips: Ada baiknya kita mencari ide itu di dunia nyata, bukan hanya di dunia maya. Misalnya dari berita di koran dan televisi, acara pameran seni atau bedah buku yang kita datangi, film yang kita tonton, makanan super enak di warung kaki lima yang kita hampiri tanpa sengaja saat berteduh dari hujan, atau bahkan obrolan dengan teman seperjalanan di bus pun bisa dijadikan ide menulis.

Problem 2: Tidak ada waktu
Bekerja, kuliah, mengasuh anak, mengurus suami, menghadapi ujian di kampus atau deadline laporan di kantor, kumpul bareng teman atau arisan keluarga. Gabungan dari beberapa aktivitas di atas sekaligus, kadang-kadang seolah membuat waktu 24 jam yang kita miliki jadi terasa kurang, apalagi kalau ditambah harus ngeblog secara rutin.

Tips: Sisihkan sedikit waktu untuk ngeblog di jam yang sama setiap hari, misalnya selama 30 menit pada pukul 9 malam. Atau, manfaatkan waktu kapanpun, sesingkat apapun, untuk mencicil tulisan di blog. Saat mengantre di bank, sepanjang perjalanan pulang-pergi di angkutan umum, saat anak sedang tidur, atau saat menunggu janji temu dengan seseorang. Cicilan itu bisa berupa kalimat atau frase-frase singkat yang bisa kita sempurnakan saat sudah duduk tenang di depan komputer. Tapi ada juga para blogger yang bisa langsung menulis artikel utuh dengan memanfaatkan waktu "curian" ini lho. :)  
      
Problem 3: Tulisan saya jelek
Tata bahasa yang kadang semrawut, pokok tulisan yang lompat-lompat asistematis, atau topik tulisan yang ngga nge-hits, kadang bisa membuat kita menghapus draf-draf tulisan yang tersimpan di blog. Habis itu, malah ngga jadi bikin postingan deh, gara-gara terlalu sering merasa tulisan kita terlalu buruk untuk diunggah ke blog.

Tips: Teruslah menulis. "Practice makes perfect". Pepatah kuno, klise dan membosankan, tapi benar adanya. Tidak ada blogger yang tulisannya langsung keren sejak pertama ngeblog. Tidak ada blogger yang blognya langsung dapat ribuan pengunjung begitu mengunggah postingan pertama. Mereka terus belajar, berlatih dan memperbaiki diri, sehingga akhirnya bisa menghasilkan tulisan yang bagus. Lebih baik membuat tulisan-tulisan yang tidak sempurna sambil terus berproses memperbaikinya, ketimbang terus membayangkan tulisan sempurna namun akhirnya tidak menulis apa-apa.

Problem 4: Bosan ngeblog
Dengan makin maraknya media sosial saat ini, mungkin ada yang berpendapat, buat apa berpanjang-panjang mencurahkan isi hati dan pikiran di blog kalau bisa melakukannya dengan singkat di medsos? Ngeblog memang lebih membutuhkan pikiran, waktu, tenaga dan konsistensi ketimbang update status Twitter, misalnya. Tapi menurut saya, hal-hal yang kita bagi lewat blog itu bisa lebih utuh, bermanfaat dan mudah ditelusuri.

Tips: Mari blogwalking ke blog-blog favorit yang telah menginspirasi kita untuk menulis. Ingat kembali tujuan kita ngeblog, dan bayangkan lagi perasaan gembira yang biasa kita rasakan tiap kali berhasil menulis satu artikel di blog. Biar lebih seru dan semangat ngeblog semakin berkobar, ikutilah lomba-lomba blog, yang informasinya bisa kita temukan di berbagai media sosial. Tinggal pilih mana yang topiknya kita minati, lalu mulailah menulis.



Senin, 02 Maret 2015

Pangeran Diponegoro dalam Dua Lukisan

Dalam postingan saya, Aku Diponegoro: Sebuah Napak Tilas Perjuangan, saya menyinggung sekilas tentang sebuah lukisan legendaris Raden Saleh yang dipamerkan dalam event di Galeri Nasional, judulnya Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini adalah "bantahan" Raden Saleh terhadap lukisan bertema serupa karya Nicolaas Pieneman, Penyerahan Diri Pangeran Diponegoro.

Pieneman melukis Penyerahan Diri Diponegoro pada tahun 1835, atas pesanan Jenderal De Kock saat jenderal itu sudah kembali ke Belanda, sebagai semacam tanda keberhasilan karir militernya menumpas Perang Jawa. Raden Saleh gusar melihat bagaimana sosok Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai pihak yang pasrah dan kalah.

Maka sekembalinya Raden Saleh ke tanah Jawa, ia mengumpulkan informasi tentang hari penangkapan itu dari kerabat-kerabat Pangeran Diponegoro. Ia melukis penangkapan Sang Pangeran versinya, dua dekade setelah lukisan Pieneman dibuat.

Dua lukisan ini memang menceritakan satu peristiwa yang sama, namun dari dua sudut pandang yang jauh berbeda. Kalau kita simak, banyak detil yang menarik untuk dibandingkan.

Penyerahan Diri Diponegoro

Penangkapan Pangeran Diponegoro
Pada lukisan Penyerahan Diri Diponegoro, Pangeran Diponegoro digambarkan berdiri di anak tangga yang posisinya lebih rendah dari Jenderal De Kock, dengan wajah lelah dan kedua tangan terentang seolah menyerah. Beberapa prajuritnya duduk bersimpuh tertunduk, lesu. Tombak-tombak mereka tergeletak di tanah sebagai tanda penyerahan diri. Sementara itu Jenderal De Kock bertolak pinggang dengan ekspresi jumawa. Di latar belakangnya bendera kebangsaan Belanda berkibar gagah. Begitulah peristiwa itu dilihat dari mata bangsa Belanda.

Sedangkan Raden Saleh tidak memandang kejadian itu sebagai penyerahan diri. Sesungguhnya, Pangeran Diponegoro memang tidak pernah menyerah kalah. Ia ditangkap melalui tipu muslihat. Kolonel Cleerens, atas perintah Jenderal De Kock, membujuk Sang Pangeran untuk datang ke sebuah perundingan damai di gedung Karesidenan Magelang, yang ternyata jebakan belaka.

Karena itulah dalam Penangkapan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh melukiskan Sang Pangeran, meski perjuangannya dipatahkan hari itu, tidak pernah mengalah dengan mudah. Ia tetap berdiri dengan kepala tegak dan raut wajah berapi-api, sejajar di hadapan Jenderal De Kock. 

Pangeran dan para pengikutnya tidak membawa senjata karena mereka memang datang dengan niat baik menyambut tawaran Belanda yang meminta gencatan senjata. Konon mereka tiba tanpa persenjataan juga karena saat itu sedang bulan Ramadhan, bulan yang pantang untuk berperang.

Nicolaas Pieneman, yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Hindia Belanda, kurang tepat melukiskan profil Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya, yang dalam lukisan itu   tampak bergaris wajah Arab dan mengenakan pakaian ala para lelaki Timur Tengah. Sementara Raden Saleh mengguratkan sosok Sang Pangeran dan para pengikutnya sesuai garis wajah suku Jawa, dengan pakaian khas Jawa berupa blangkon dan kain batik. 

Pegunungan yang menjadi latar lukisan Nicolaas Pieneman juga lebih sesuai dengan bentuk pegunungan di benua Eropa ketimbang di Hindia Belanda. Padahal kontur puncak pegunungan vulkanik di negeri kita cenderung lebih lancip dan berbukit-bukit, seperti yang dilukis Raden Saleh.

Selain itu, satu hal lagi yang unik dari lukisannya, bila kita cermati Raden Saleh melukis dirinya sendiri di antara para pengikut Pangeran Diponegoro, seolah menempatkan diri sebagai orang yang melihat langsung peristiwa itu. Mengapa? Entahlah. Silakan menebak dan menafsirkan sendiri.. :)

Dan mungkin sebagai sentuhan satire tentang arogansi penjajah, dalam lukisannya Raden Saleh sengaja menggambar sosok orang-orang Belanda dengan ukuran kepala lebih besar dari seharusnya. :)

Menarik juga ya, betapa nasionalisme dan perlawanan terhadap tiran ternyata bisa  dituangkan dalam satu lukisan, seperti yang dilakukan Raden Saleh. Saya merasa beruntung pernah melihat lukisan itu secara langsung, paling tidak sekali seumur hidup. :)

Jumat, 27 Februari 2015

Aku Diponegoro: Sebuah Napak Tilas Perjuangan



Apa saja yang kita ingat tentang Pangeran Diponegoro?

Jangan-jangan, kenangan kita tentang sosok pahlawan nasional ini hanya sebatas apa yang tercantum di buku pelajaran sejarah.

Padahal, kisah hidup Pangeran Diponegoro memiliki banyak sisi menarik. Pemikirannya, semangat perjuangannya, kini coba dihidupkan kembali dalam pameran karya seni bertajuk "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa".

Bertempat di Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, pameran ini diselenggarakan atas kerjasama banyak pihak, antara lain Galeri Nasional Indonesia, Goethe-Institut Indonesien, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Erasmus Huis, dan Universitas Paramadina.

Sosialisasi pameran Aku Diponegoro lumayan gencar di dunia maya, baik melalui situs yang khusus dibuat untuk event pameran sendiri, maupun lewat media sosial seperti Twitter. Promosi via media digital tampaknya cukup efektif menjangkau para netizen muda. Biasanya event berbau sejarah seperti ini kurang diminati oleh para remaja, namun saya melihat banyak pengunjung yang berasal dari kalangan remaja. Mereka terlihat antusias menikmati berbagai objek yang dipamerkan.

Selain itu, agenda yang digelar tanggal 6 Februari - 8 Maret 2015 ini  juga punya beragam acara mulai dari pemutaran film, diskusi sejarah perang Diponegoro, sampai tur keliling galeri yang dipandu langsung oleh para kurator. Keren kan? Silakan simak jadwal lengkapnya di situs www.akudiponegoro.com.

Pameran memang berlangsung pukul 10.00 - 19.00 WIB, namun bila ingin leluasa berlama-lama mengamati objek pamer atau ingin berpose narsis di samping lukisan-lukisan keren, sebaiknya kamu berkunjung pada hari kerja, terutama sebelum waktu makan siang. Lokasi Galeri Nasional cukup strategis dan mudah dijangkau kok, tepatnya berada di seberang pintu masuk Stasiun Gambir, dekat dengan Tugu Monas.

Oiya, di sini, akan ada beberapa pemandu yang dengan senang hati menjelaskan pada kita tentang makna masing-masing karya seni, maupun tentang sejarah Pangeran Diponegoro. Para relawan pemandu ini adalah mahasiswa-mahasiswa Universitas Paramadina yang sebelumnya sudah dilatih untuk itu.

Sebelum masuk ke galeri, kita bisa mengisi buku tamu sekaligus menitipkan barang bawaan di counter resepsionis. Jangan kuatir, boleh kok membawa kamera ke dalam galeri, asalkan tidak menyalakan lampu blitz saat mengambil foto.

Di dalam ruang-ruang pamer, tersaji lukisan, instalasi seni, bahkan pernak-pernik keseharian seperti foto, cukil kayu, uang kertas, dan sebagainya, yang berhubungan dengan Pangeran Diponegoro. Instalasi seni berikut ini, misalnya, diberi judul Battle Field.

Battle Field
Karya seni kontemporer buatan seniman Entang Wiharso ini menggambarkan sifat-sifat buruk manusia yang sering menjadi pemicu peperangan; kelicikan, keserakahan, intoleransi. Bila diamati lebih dekat, penunggang berkuda tampak menggenggam sebilah pedang yang berbentuk seperti bulir-bulir padi. Simbol bahwa di masa kini, perang di Indonesia masih terus berlangsung. Tidak berupa perang fisik, melainkan perang melawan kemiskinan.

Lukisan yang menurut saya paling hilarious dalam pameran ini adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro. Sejarah mengisahkan bahwa Pangeran Diponegoro berhasil memimpin serangan-serangan gerilya yang membuat penjajah Belanda kalang kabut. Bak hantu, Sang Pangeran bisa muncul tiba-tiba, menyerbu bersama pasukannya. Setelah itu, mereka berkelit menghilang dengan lihai pula sehingga begitu sulit ditangkap.

Karena itulah Jenderal De Kock menyusun siasat licik. Melalui Kolonel Cleerens, Pangeran Diponegoro dibujuk untuk datang ke sebuah perundingan damai. Ternyata, di sana Pangeran justru ditangkap. Momen inilah yang kemudian diabadikan oleh seniman Raden Saleh dalam Penangkapan Pangeran Diponegoro.

Sebetulnya, lukisan ini dibuat sebagai "bantahan" atas karya Nicolaas Pieneman berjudul Penyerahan Diri Diponegoro, yang dilukis dua dekade sebelumnya. Memang sesungguhnya Sang Pangeran tidak pernah menyerahkan diri, melainkan dijebak dengan muslihat gencatan senjata.

Sayang sekali lukisan Raden Saleh ini termasuk koleksi pameran yang tidak boleh difoto. Hmm, memang ngga afdol juga sih kalau cuma lihat fotonya. Tidak ada yang bisa menggantikan sensasi kekaguman yang bakal kamu rasakan saat menikmati lukisan ini dari dekat. Silakan datang sendiri dan buktikan! ;)

Lukisan Pieneman: Penyerahan Diri Diponegoro 
Dua lukisan karya Pieneman dan Raden Saleh, meski bercerita tentang kejadian yang sama, menampilkan dua sudut pandang yang amat jauh berbeda. Saya akan ceritakan lebih jauh soal kedua lukisan ini dalam postingan tersendiri nanti. Tunggu aja yaa.

Di ruang pamer berikutnya, ada berbagai benda bertemakan Diponegoro, seperti foto, uang kertas 100 rupiah jadul, sampai fotokopi ijazah seorang lulusan perguruan tinggi keren--almamater saya tercinta, Universitas Diponegoro. Hehe. Di antara semua itu, yang berhasil bikin saya nyengir adalah sebuah amplifier merk Prince berlukiskan sosok Pangeran Diponegoro yang sedang mengacungkan jari ala salam rocker.

Diponego-rock!
Di galeri, terdapat satu ruang khusus yang ditata dengan penerangan redup dan suasana sunyi. Beberapa pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro seperti tombak dan tongkat ziarah ditempatkan sedemikian rupa dengan taburan kuntum melati, membuat pengunjung semakin khidmat menapaktilasi perjalanan hidup pahlawan ini.

Salah satu bagian yang saya sukai yaitu dinding galeri berisi linimasa kehidupan Pangeran Diponegoro sejak lahir, berkiprah di medan tempur, tertangkap, bersama keluarga menjalani hidup puluhan tahun di sebuah pengasingan di Makassar, Sulawesi Selatan, hingga wafat di sana.

Mengutip sebuah larik puisi gubahan Chairil Anwar, Diponegoro:

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Begitulah saya mengingat sosok Sang Pangeran.

Bagaimana dengan kamu?




Rabu, 25 Februari 2015

Kampung Budaya Betawi Setu Babakan


Beberapa waktu lalu dalam postingan saya yang mengulas agenda wisata Jakarta tahun 2015, saya menyinggung betapa kota Jakarta adalah melting pot-nya Indonesia, dengan penduduk dari beragam suku dan budaya. Bahkan, sejak masa pendudukan Belanda dulu, kota ini memang telah menarik banyak pendatang dari berbagai penjuru nusantara, mulai dari pendatang asal suku Jawa, Batak, Minang, Bugis, dan sebagainya. Selain itu, ada juga pendatang dari luar negeri seperti China, Arab dan India.

Masing-masing etnis, dengan tradisi yang dibawanya, lambat laun mempengaruhi budaya lokal. Tak heran, kebudayaan Betawi yang ada saat ini merupakan perpaduan budaya dari banyak tnis. Misalnya, kesenian marawis merupakan adaptasi dari musik gambus ala Timur Tengah. Atau, pembakaran petasan dan nuansa warna merah yang mendominasi upacara pernikahan adat Betawi ternyata dipengaruhi tradisi China.  

Sayangnya, di zaman modern ini budaya Jakarta seolah menjadi terpinggirkan seiring dengan terdesaknya kampung-kampung Betawi ke pinggiran ibukota, digantikan oleh berdirinya ratusan mal, apartemen dan gedung-gedung perkantoran.

Sebagai salah satu upaya melestarikan budaya Betawi, pada tahun 2004, tepatnya pada peringatan HUT Jakarta ke-474, pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta menetapkan wilayah Setu Babakan sebagai cagar budaya Betawi. Cagar budaya dengan luas sekitar 165 hektar ini berlokasi di kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan mayoritas penduduknya terdiri dari orang-orang suku Betawi asli. Sesuai namanya yang berasal dari kata "situ", tempat ini memang berada dekat dengan situ atau danau, yang dinaungi pepohonan rindang.

Masih ingat suasana ala kampung Betawi dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan? Kira-kira nuansa itulah yang akan kita temukan di Setu Babakan. Mulai dari deretan rumah adat yang disebut rumah kebaya, ondel-ondel dan kesenian tanjidor, sampai kuliner legendaris semacam dodol dan soto Betawi.

Sehari-hari, masyarakat Setu Babakan mengembangkan usaha pemancingan, perikanan berupa budidaya ikan dalam keramba, bercocok tanam, dan berdagang. Biasanya setiap akhir pekan diadakan berbagai pertunjukan kesenian untuk menarik minat wisatawan, mulai dari Tari Topeng, Tari Sirih Kuning, sampai Lenong. Gelaran budaya juga dimeriahkan dengan adanya para pedagang kerak telor, nasi uduk, laksa, bir pletok, dan aneka penganan khas Betawi lainnya.

Tari Sirih Kuning
Pemprov Jakarta tampaknya akan terus mengembangkan Setu Babakan sebagai wisata ikonik Betawi yang menjanjikan. Wilayahnya diperluas menjadi lebih dari 200 hektar dan akan dibangun menjadi empat zona. Di zona-zona tersebut rencananya akan berdiri museum, tempat pertunjukan, perpustakaan, dan hostel dengan kapasitas 30-40 orang, serta bungalow untuk para turis yang berkunjung bersama keluarga. Selain itu, akan dibuat pula replika kota Betawi agar pengunjung benar-benar merasakan atmosfer Betawi tempo dulu. Untuk tahun 2015 ini saja, telah disiapkan dana sekitar Rp 70 miliar untuk pembebasan lahan dan pembangunan zona.

Selain pembenahan fisik, disiapkan juga paket-paket wisata berisi hiburan, demo masak dan pelatihan yang nantinya bisa dipilih oleh para pengunjung Setu Babakan. Misalnya, kursus memasak kuliner Betawi, membuat boneka ondel-ondel, belajar mementaskan Lenong atau Tari Cokek. Asyik kan?

Bir pletok, dijamin bebas alkohol. Mau belajar cara bikinnya?
Sebagai warga Jakarta, saya berharap keberadaan kampung Betawi ini mampu bertahan bahkan berkembang. Saya yakin turisme budaya semacam Setu Babakan akan terus diminati wisatawan, terutama mereka yang jenuh akan konsep wisata perkotaan seperti mal, taman hiburan dan waterpark. Yap. Menikmati dan mempelajari akar budaya nenek moyang sendiri, ternyata bisa jadi alternatif pengisi liburan yang seru. :)  



Referensi:
jakarta.go.id
beritajakarta.com

Rabu, 18 Februari 2015

Visi-Misi, Janji pada Diri Sendiri

gambar dari sini

"Yang membuat hidup ini menarik adalah 
kemungkinan untuk mewujudkan impian menjadi kenyataan."

(Paulo Coelho dalam buku Sang Alkemis)

Segala sesuatu di dunia ini ada untuk suatu tujuan. Bila seekor lebah saja diciptakan dengan tujuan, apalagi kita, manusia. Makhluk yang diberi kelebihan berupa akal dan kebebasan berkehendak. Malu dong ah kalau sampai kalah keren sama lebah, hehe.

Kita sering menyebut impian, cita-cita, tujuan hidup itu dengan istilah visi. Kesuksesan meraih visi tentu saja bukan sesuatu yang jatuh begitu aja dari langit atau diberikan cuma-cuma, melainkan butuh upaya. Upaya-upaya mencapai visi inilah yang disebut misi.

Visi

Visi saya simpel saja. Saya ingin hidup saya bermanfaat bagi orang lain. Bahkan meski kelak saya sudah tiada sekalipun, saya berharap jejak manfaat itu masih bisa dirasakan oleh mereka yang masih hidup.

Misi

Apa saja yang sudah, sedang dan akan saya lakukan untuk mencapai visi saya? Saya menyimpulkannya dalam dua poin saja, yang sama simpelnya.

Misi pertama, saya berusaha menyebarkan manfaat kepada orang lain melalui hobi saya, nge-blog.

Kalau diingat-ingat, sebetulnya hobi menulis sudah ada sejak saya masih pelajar SD. Waktu itu saya sudah punya buku harian sendiri yang penuh dengan rahasia memalukan khas anak ingusan, haha. Selama bertahun-tahun kemudian, sudah beberapa buku harian tebal yang saya habiskan untuk menulis curhat, renungan dan impian saya, yang kemudian saya musnahkan karena takut kalau-kalau semua itu terbaca oleh orang lain. :)

Hobi ini masih berlanjut sampai saat ini, hanya saja medianya berbeda. Dulu buku harian, sekarang blog. Karena menulis untuk kepuasan diri sendiri, saya terkejut ketika menemukan ada orang-orang yang mengomentari tulisan saya. Mereka memperoleh manfaat dari apa yang saya bagi, atau setidaknya merasa terkuatkan karena menemukan teman senasib di dunia maya yang pernah mengalami problem sama.

Saya mulai mengurangi curhat ngga jelas yang sekiranya tidak ada hikmah atau hiburan baik yang bisa dipetik. Sebaliknya, saya mencoba berbagi tulisan yang lebih bermanfaat. Mulai dari informasi kesehatan (Saat Antibiotik Tak Lagi Manjur, Ayo Kalahkan Tuberkulosis), resensi buku dan film (Sang Alkemis, Salahkan Bintang-bintang), opini saya soal topik yang sedang hangat diperbincangkan (Apapun Demi Sekeping Medali, Quick Count dan Darah Manusia), sampai orang-orang yang lewat sepintas dalam keseharian saya tapi memberikan pelajaran berharga (Semangat Pagi di Usia Senja, Panggil Dia Si Gagu).

Misi kedua, saya mencoba untuk bermanfaat bagi orang lain lewat pekerjaan saya sehari-hari.

Saya banyak bekerja di laboratorium. Tempat yang tidak menarik bagi sebagian teman-teman saya seprofesi, yang lebih menyukai interaksi langsung dan intervensi dengan pasien. Di Indonesia bidang ilmu ini memang masih kurang populer, kurang tersorot prestasinya, dan kurang-kurang lainnya. Tapi meski seolah bekerja "di belakang layar", orang-orang yang bergelut di bidang ini sesungguhnya punya banyak kiprah positif di masyarakat.

Bayi tabung untuk pasangan-pasangan suami istri yang sulit memiliki keturunan dengan cara alami, mendeteksi penyakit genetik  pada anak bahkan saat ia masih dalam kandungan ibu, obat atau vaksin baru untuk menyembuhkan penyakit yang dulu pernah dianggap "tak tersembuhkan" dan telah merenggut banyak jiwa manusia. Semua itu berawal dari penelitian-penelitian panjang yang dilakukan di laboratorium.

Supaya bisa memenuhi misi kedua dengan lebih baik lagi, saya baru saja mulai melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Semoga ilmu yang saya dapat nanti aplikasinya bisa mendatangkan manfaat untuk masyarakat. Mohon doanya ya, teman-teman.  ^_^

Akankah visi-misi itu tercapai?

Mungkin saya bukan blogger fenomenal yang isi blognya cukup nge-hits untuk diangkat ke layar lebar. Mungkin saya juga belum bisa mendulang limpahan rupiah (apalagi dolar, hihi) dari ratusan cerita yang saya abadikan di blog. Dan sangat mungkin sebagian tulisan saya bahkan manfaatnya tak akan sanggup menjangkau sekian banyak netizen di dunia maya, karena hanya dibaca oleh satu, dua orang saja.

Tidak apa-apa. Mengetahui tulisan saya berguna bagi pembaca itu--walau cuma satu orang sekalipun, rasanya membahagiakan.

Mungkin saya tidak akan jadi ilmuwan legendaris selevel Ibnu Sina, peletak fondasi ilmu kedokteran yang karya-karyanya dulu dijadikan referensi oleh bangsa Eropa. Mungkin juga saya tidak akan bisa menyelamatkan nyawa sebanyak yang sudah dilakukan Alexander Fleming dengan antibiotik penicillin temuannya. Dan sangat mungkin nama saya tidak akan diingat dalam sejarah, yang dipenuhi orang-orang hebat dan lebih berhak untuk dikenang.

Tidak apa-apa.  Saya tidak keberatan bila setelah mati nanti, saya dilupakan oleh zaman. Selama dengan ilmu yang saya miliki saya bisa meninggalkan satu warisan kecil yang bermanfaat. Satu kerikil di antara bebatuan lain, yang di masa depan nanti menyusun istana bernama kemajuan peradaban.

Wah, ternyata visi misi hidup sama sekali ngga sesimpel yang tadi saya bilang ya, hehe. Mencanangkan impian, tujuan hidup itu seperti berjanji pada diri sendiri bahwa kita akan berusaha mengisi gelas kehidupan kita sepenuh-penuhnya. To live our life to the fullest. Memang bukan janji yang enteng, dan bisa jadi butuh waktu seumur hidup untuk melunasinya. Tapi seperti kata Paulo Coelho yang saya kutip di awal tulisan ini, bukankah itu yang membuat hidup ini menarik?

Selasa, 17 Februari 2015

(Book Review) Papua Berkisah


Judul           : Papua Berkisah
Pengarang  : Swastika Nohara
Penerbit      : Lovable
Tebal           : 210 halaman

Evaline Maria Tibul adalah gadis berdarah Papua yang lahir dan besar di Jakarta. Walau hidup sederhana dengan upah tak seberapa sebagai petugas kasir sebuah minimarket, Eva amat menikmati hidup di Jakarta. Gaya hidup dan cara bicara Eva pun tak beda dengan anak-anak muda ibukota lainnya. Ngobrol dengan bahasa gaul, men-smoothing rambut kribonyadan menjadi pendukung setia Persija adalah sebagian cara Eva untuk menjadi bagian dari kota metropolitan itu.

Eva bergabung dengan Jakmania bukan karena dia gila sepakbola. Bagi Eva, menjadi anggota Jakmania adalah identitasnya sebagai anak Jakarta.

Tak heran, Eva menolak habis-habisan ketika Saulus Tibul, ayahnya, mengajak pulang ke Wamena, Papua. Alasannya, sepeninggal Lisa, ibu Eva yang belum lama meninggal karena penyakit demam berdarah, Saulus merasa kesepian dan rindu kampung halamannya. Eva tidak bisa membayangkan harus meninggalkan sahabat, pacar, dan pekerjaannya (ia baru saja dinobatkan sebagai Employee of The Month dan akan dipromosikan!). Lagipula, ia akan sangat merindukan hiruk-pikuknya Jakarta. Ya, meski berdarah Papua, bagi Eva Jakarta adalah tanah kelahirannya.

Tapi, tak mampu melawan kemauan keras Saulus, Eva terpaksa bersedia ikut pulang ke Papua. Saulus membawa Eva naik taksi miliknya ke Surabaya, lalu menitipkan kendaraan itu pada puteranya di sana. Dari pelabuhan Tanjung Perak, mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan kapal laut menuju pelabuhan Jayapura. 

Sepanjang perjalanan Jakarta-Jayapura, ayah dan anak ini berhadapan dengan bermacam-macam orang juga peristiwa, yang pasti jadi pelajaran berharga. Mulai dari berjumpa orang baik, orang jahat, bahkan orang jahat berkedok baik. Mulai dari ditipu orang sampai semua uang simpanan ludes, berkali-kali bertengkar lalu baikan ala ayah-anak, ketinggalan kapal di pelabuhan Nabire, sampai tersesat di kota tak dikenal. 

Akankah semua rintangan itu mengokohkan lagi ikatan kasih sayang antara Saulus dan Eva yang sempat renggang, atau malah sebaliknya? Mungkinkah Saulus membatalkan niatnya menetap di Papua setelah tahu puterinya diam-diam punya rencana sendiri untuk kembali ke Jakarta?

*

Entah mengapa, saya merasa sedikit kesulitan menemukan novel bagus bertema keluarga di antara sekian banyak novel asmara yang membanjiri toko buku. Makanya, saya segera tertarik saat melihat sinopsis Papua Berkisah, di mana konflik orangtua-anak antara Saulus dan Eva tampak 'menjanjikan' keseruan serta keharuan. 

Membaca Papua Berkisah, kita bisa melihat gap antara dua generasi, yang memang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Saulus, yang menghabiskan masa remajanya di tanah Papua, prihatin betapa Eva sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui akar budayanya yang kaya; membuat masakan Papua tak bisa, bahasa Papua pun tak paham. Sebaliknya, puterinya itu malah larut dalam budaya kota metropolitan masa kini, yang dianggapnya budaya instan dan kurang menghargai proses.

Anak muda zaman sekarang terlalu cepat menginginkan hubungan mereka berhasil, tanpa mau berusaha keras untuk memperbaiki bila salah satu pihak atau malah keduanya, melakukan kesalahan.

Orang zaman sekarang mudah sekali membuang barang. Rusak sedikit saja dibuang untuk kemudian membeli yang baru. Sementara, zaman Saulus muda dulu, orang terbiasa memperbaiki barang yang rusak. Saulus yakin sikap ini ada pengaruhnya terhadap cara orang zaman sekarang menyikapi hubungan asmara mereka.

Omong-omong soal Papua, satu hal yang pertama kali bikin saya tertarik sama buku ini adalah judulnya, yang menyebut salah satu propinsi di Indonesia bagian timur itu. Selama ini sudah banyak sekali novel yang "Jakarta-sentris", atau paling-paling bergeser sedikit ber-setting Bandung, Yogya atau Solo. 

Menurut saya, kita butuh buku-buku dengan latar budaya lain yang berbeda dan menyegarkan. Maksud saya, halooo? Indonesia punya 34 propinsi lho. Tiap propinsi pastinya punya budaya unik yang belum tentu semua orang tahu. Entah saya yang kurang update sama novel-novel berlatar budaya atau memang masih belum banyak pengarang yang menggunakan latar budaya daerahnya dalam menulis.

Nah, ketika membaca judul buku ini, saya sudah ngga sabar menemukan detil-detil mengenai indahnya alam Papua yang bergunung-gunung sehingga perjalanan antar kabupaten saja harus menggunakan pesawat terbang kalau mau cepat. Saya juga ngga sabar ingin membaca sekelumit adat suku Mek (asal suku ayahnya Eva), atau seperti apa makanan khas Wamena. 

Tapiii oh tapi, saya kecewa berat mendapati hampir separuh cerita ternyata bertempat di Jakarta! Yah, ada sekilas dibahas tentang Semarang, Surabaya, dan dua-tiga-empat kilas perjalanan di atas kapal. Papua betulannya malah baru disinggung hampir di akhir buku, itu pun hanya menceritakan suasana pelabuhan Nabire dan Jayapura. :( Meski demikian, logat Papua yang selalu muncul dalam dialog, terutama oleh tokoh Saulus, lumayanlah sedikit mengobati rasa kecewa saya.

Lewat buku ini, kita juga diingatkan pada fakta, bahwa kota-kota besar di pulau Jawa--khususnya Jakarta--di masa kini dengan segala kekurangannya (macet, banjir, tingkat kriminalitas tinggi, penduduknya individualis, bla-bla-blah) tetap saja menjadi magnet bagi para pendatang, seperti Eva dan kakaknya--Martinus, yang sudah terbiasa dengan keramaian dan berbagai fasilitas lengkap di kota, sehingga enggan pindah ke tanah kelahiran orangtuanya.  

"Orang tuh seluruh Indonesia pengin ke Jakarta, karena semua yang kita perlukan ada di kota ini. Bapa udah puluhan tahun di Jakarta malah mau pulang kampung!"

Saya merasa agak aneh di bagian saat Eva menerima telepon dari Frans, kerabatnya yang sedang menunggui ibu Eva di rumah sakit. Dikisahkan, waktu itu ibunya Eva kritis dan Eva harus segera datang ke sana. 

Mengapa Eva masih bela-belain pergi menonton Persija bertanding di stadion Gelora Bung Karno, padahal saat itu ibunya sedang dirawat di rumah sakit? Ia malah membiarkan kerabatnya saja yang menunggui sang ibu, walau disebutkan bahwa selama beberapa hari terakhir kondisi ibunya sempat memburuk. 

Selain itu, di beberapa bagian ada perubahan sudut pandang pencerita yang tadinya menggunakan sudut pandang orang ketiga tiba-tiba berubah menjadi sudut pandang aku, sehingga terasa ganjil dan agak mengganggu. Misalnya, saat Eva bercerita soal Pak Tama, atasannya di tempat kerja (hal. 36-37), lalu saat Eva sampai di rumah sepulang kerja (hal. 39).

Secara keseluruhan, saya tetap menyukai novel keluarga ini. Dengan dialog yang lincah dan alur yang mengalir, chemistry ayah-anak yang manis dalam Papua Berkisah sangat asyik untuk dibaca bareng orangtua atau anak kita.