Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 17 Februari 2015

(Book Review) Papua Berkisah


Judul           : Papua Berkisah
Pengarang  : Swastika Nohara
Penerbit      : Lovable
Tebal           : 210 halaman

Evaline Maria Tibul adalah gadis berdarah Papua yang lahir dan besar di Jakarta. Walau hidup sederhana dengan upah tak seberapa sebagai petugas kasir sebuah minimarket, Eva amat menikmati hidup di Jakarta. Gaya hidup dan cara bicara Eva pun tak beda dengan anak-anak muda ibukota lainnya. Ngobrol dengan bahasa gaul, men-smoothing rambut kribonyadan menjadi pendukung setia Persija adalah sebagian cara Eva untuk menjadi bagian dari kota metropolitan itu.

Eva bergabung dengan Jakmania bukan karena dia gila sepakbola. Bagi Eva, menjadi anggota Jakmania adalah identitasnya sebagai anak Jakarta.

Tak heran, Eva menolak habis-habisan ketika Saulus Tibul, ayahnya, mengajak pulang ke Wamena, Papua. Alasannya, sepeninggal Lisa, ibu Eva yang belum lama meninggal karena penyakit demam berdarah, Saulus merasa kesepian dan rindu kampung halamannya. Eva tidak bisa membayangkan harus meninggalkan sahabat, pacar, dan pekerjaannya (ia baru saja dinobatkan sebagai Employee of The Month dan akan dipromosikan!). Lagipula, ia akan sangat merindukan hiruk-pikuknya Jakarta. Ya, meski berdarah Papua, bagi Eva Jakarta adalah tanah kelahirannya.

Tapi, tak mampu melawan kemauan keras Saulus, Eva terpaksa bersedia ikut pulang ke Papua. Saulus membawa Eva naik taksi miliknya ke Surabaya, lalu menitipkan kendaraan itu pada puteranya di sana. Dari pelabuhan Tanjung Perak, mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan kapal laut menuju pelabuhan Jayapura. 

Sepanjang perjalanan Jakarta-Jayapura, ayah dan anak ini berhadapan dengan bermacam-macam orang juga peristiwa, yang pasti jadi pelajaran berharga. Mulai dari berjumpa orang baik, orang jahat, bahkan orang jahat berkedok baik. Mulai dari ditipu orang sampai semua uang simpanan ludes, berkali-kali bertengkar lalu baikan ala ayah-anak, ketinggalan kapal di pelabuhan Nabire, sampai tersesat di kota tak dikenal. 

Akankah semua rintangan itu mengokohkan lagi ikatan kasih sayang antara Saulus dan Eva yang sempat renggang, atau malah sebaliknya? Mungkinkah Saulus membatalkan niatnya menetap di Papua setelah tahu puterinya diam-diam punya rencana sendiri untuk kembali ke Jakarta?

*

Entah mengapa, saya merasa sedikit kesulitan menemukan novel bagus bertema keluarga di antara sekian banyak novel asmara yang membanjiri toko buku. Makanya, saya segera tertarik saat melihat sinopsis Papua Berkisah, di mana konflik orangtua-anak antara Saulus dan Eva tampak 'menjanjikan' keseruan serta keharuan. 

Membaca Papua Berkisah, kita bisa melihat gap antara dua generasi, yang memang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Saulus, yang menghabiskan masa remajanya di tanah Papua, prihatin betapa Eva sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui akar budayanya yang kaya; membuat masakan Papua tak bisa, bahasa Papua pun tak paham. Sebaliknya, puterinya itu malah larut dalam budaya kota metropolitan masa kini, yang dianggapnya budaya instan dan kurang menghargai proses.

Anak muda zaman sekarang terlalu cepat menginginkan hubungan mereka berhasil, tanpa mau berusaha keras untuk memperbaiki bila salah satu pihak atau malah keduanya, melakukan kesalahan.

Orang zaman sekarang mudah sekali membuang barang. Rusak sedikit saja dibuang untuk kemudian membeli yang baru. Sementara, zaman Saulus muda dulu, orang terbiasa memperbaiki barang yang rusak. Saulus yakin sikap ini ada pengaruhnya terhadap cara orang zaman sekarang menyikapi hubungan asmara mereka.

Omong-omong soal Papua, satu hal yang pertama kali bikin saya tertarik sama buku ini adalah judulnya, yang menyebut salah satu propinsi di Indonesia bagian timur itu. Selama ini sudah banyak sekali novel yang "Jakarta-sentris", atau paling-paling bergeser sedikit ber-setting Bandung, Yogya atau Solo. 

Menurut saya, kita butuh buku-buku dengan latar budaya lain yang berbeda dan menyegarkan. Maksud saya, halooo? Indonesia punya 34 propinsi lho. Tiap propinsi pastinya punya budaya unik yang belum tentu semua orang tahu. Entah saya yang kurang update sama novel-novel berlatar budaya atau memang masih belum banyak pengarang yang menggunakan latar budaya daerahnya dalam menulis.

Nah, ketika membaca judul buku ini, saya sudah ngga sabar menemukan detil-detil mengenai indahnya alam Papua yang bergunung-gunung sehingga perjalanan antar kabupaten saja harus menggunakan pesawat terbang kalau mau cepat. Saya juga ngga sabar ingin membaca sekelumit adat suku Mek (asal suku ayahnya Eva), atau seperti apa makanan khas Wamena. 

Tapiii oh tapi, saya kecewa berat mendapati hampir separuh cerita ternyata bertempat di Jakarta! Yah, ada sekilas dibahas tentang Semarang, Surabaya, dan dua-tiga-empat kilas perjalanan di atas kapal. Papua betulannya malah baru disinggung hampir di akhir buku, itu pun hanya menceritakan suasana pelabuhan Nabire dan Jayapura. :( Meski demikian, logat Papua yang selalu muncul dalam dialog, terutama oleh tokoh Saulus, lumayanlah sedikit mengobati rasa kecewa saya.

Lewat buku ini, kita juga diingatkan pada fakta, bahwa kota-kota besar di pulau Jawa--khususnya Jakarta--di masa kini dengan segala kekurangannya (macet, banjir, tingkat kriminalitas tinggi, penduduknya individualis, bla-bla-blah) tetap saja menjadi magnet bagi para pendatang, seperti Eva dan kakaknya--Martinus, yang sudah terbiasa dengan keramaian dan berbagai fasilitas lengkap di kota, sehingga enggan pindah ke tanah kelahiran orangtuanya.  

"Orang tuh seluruh Indonesia pengin ke Jakarta, karena semua yang kita perlukan ada di kota ini. Bapa udah puluhan tahun di Jakarta malah mau pulang kampung!"

Saya merasa agak aneh di bagian saat Eva menerima telepon dari Frans, kerabatnya yang sedang menunggui ibu Eva di rumah sakit. Dikisahkan, waktu itu ibunya Eva kritis dan Eva harus segera datang ke sana. 

Mengapa Eva masih bela-belain pergi menonton Persija bertanding di stadion Gelora Bung Karno, padahal saat itu ibunya sedang dirawat di rumah sakit? Ia malah membiarkan kerabatnya saja yang menunggui sang ibu, walau disebutkan bahwa selama beberapa hari terakhir kondisi ibunya sempat memburuk. 

Selain itu, di beberapa bagian ada perubahan sudut pandang pencerita yang tadinya menggunakan sudut pandang orang ketiga tiba-tiba berubah menjadi sudut pandang aku, sehingga terasa ganjil dan agak mengganggu. Misalnya, saat Eva bercerita soal Pak Tama, atasannya di tempat kerja (hal. 36-37), lalu saat Eva sampai di rumah sepulang kerja (hal. 39).

Secara keseluruhan, saya tetap menyukai novel keluarga ini. Dengan dialog yang lincah dan alur yang mengalir, chemistry ayah-anak yang manis dalam Papua Berkisah sangat asyik untuk dibaca bareng orangtua atau anak kita.

3 komentar:

  1. wah, kalau di filmkan mungkin menarik (?)
    hmm, keren mbak review nya. saya suka gaya ngereview nya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hmm saya juga tertarik nonton nih kalo memang nanti dibuat filmnya :) makasih Jeff udah baca review saya

      Hapus
  2. ups, jadi pingin baca bukunya.
    lempar ke akyu diong. he...he...he...

    @nuzululpunya

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)