Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Sabtu, 19 Januari 2013

Balas Kangenku, Dong!

Sudah baca cerita-cerita sebelumnya? Ini dia: Kenalan, Yuk!
                                                                          Pukul Dua Dini Hari
                                                                          Orang Ketiga Pertama
                                                                          Cuti Sakit Hati
                                                                          Sambungan Hati Jarak Jauh



Pernahkah kamu merindukan seseorang begitu hebatnya sampai hatimu sakit? Yah... Jika orang itu terlarang untuk dirindukan, sebaiknya jangan. Terlalu menyesakkan. Sungguh.

“Masih pusing, Ambar?”

Aku menolehkan kepalaku yang tersandar di bantalan jok mobil. Kami baru saja selesai dengan pemeriksaan rutin kehamilanku di rumah sakit. Aku mengeluhkan pusing dan tungkaiku yang bengkak. Dokter bilang tekanan darahku agak tinggi, tapi bayiku baik-baik saja. Dia memintaku untuk kontrol kembali tepat waktu.

Antares meneliti wajahku, mencari kalau-kalau ada sedikit saja tanda bahwa aku kesakitan.

“Sudah mendingan kok, Res.”  

Seolah belum yakin dengan jawabanku, dia menyentuh keningku dengan telapak tangannya,lalu  tampak lega karena tak ada yang salah dengan suhu tubuhku.

Rasa sakit yang lain muncul di hatiku; yang kukenali sebagai rasa bersalah tiap kali Antares mencurahkan perhatian padaku. Mengkhawatirkanku. Di awal pernikahan, ia begitu setia memijiti bahu dan leherku tiap kali aku terpuruk di depan dudukan toilet, memuntahkan apapun yang kumakan karena apa yang disebut morning sickness. Dia juga sabar menghadapiku dan emosiku yang diaduk-aduk oleh hormon kehamilan.

Yang terpenting: dia mencintaiku dan bersedia menunggu hingga aku membalasnya.

Istri manapun akan bersukacita dicintai suaminya.

Tapi, berhakkah aku?

Aku adalah perempuan yang menikah dengan Antares lantaran terlanjur hamil dan lelaki yang menghamiliku harus menikahi perempuan lain; yang dihamilinya lebih dulu. Aku menikah dengan Antares karena dia bersedia melamarku dan aku tak punya pilihan lain.

Tak heran ibu Antares diam-diam tidak menyukaiku. Jika aku jadi dirinya, aku juga akan membenci aku. Dia merestui pernikahan kami hanya karena pendirian Antares tentangku tak bisa diubah lagi.

Pada keluarganya, Antares mengakui bayi di rahimku sebagai anaknya. Hampir semuanya menunjukkan reaksi terkejut yang sama, tapi aku bisa merasakan ibunya meragukan pengakuan Antares. Kadang-kadang, ketidaksukaan perempuan separuh baya itu bisa kutangkap lewat sindiran-sindiran yang menusuk. Saat Antares tidak ada, tentu.

“Berapa usia kandungan Nak Ambar? Empat bulan? Hmm, bukankah sekitar empat bulan lalu Antares sedang training di Singapore dan baru pulang dua bulan kemudian?”

“Ibu selalu berharap Antares akan mendapatkan gadis baik-baik. Aduh, Nak Ambar. Tahu kan, gadis-gadis zaman sekarang. Lihai memikat dan menjebak lelaki agar terpaksa menikahi mereka. Bukan Nak Ambar, tentu saja...”   

Putranya tak pernah tahu. Aku menyimpan kata-kata itu untukku sendiri; menerimanya sebagai hukuman karena sudah merebut putra kesayangannya dari gadis baik-baik manapun yang bisa dia harapkan sebagai menantu.

“Oke. Kita pulang,” Antares menyalakan mesin Ford Thunderbird Convertible-nya, tapi dua orang mendadak muncul dan bertengkar di depan mobil.

“Aku tidak minta macam-macam, Mas. Aku cuma minta kamu ada di sampingku saat aku melahirkan!” Seorang perempuan yang tengah hamil besar memarahi lelaki di hadapannya—pasti suaminya.

“Mauku juga begitu, Sayang.. Tapi, sudah perintah Komandan, Masmu harus dinas ke Flores...” bujuk sang suami, masih dalam seragam tentaranya.

“Komandan. Komandan. Memangnya Komandan itu yang dulu kau peristri? Bilang padanya, setelah ditinggal berbulan-bulan, istrimu butuh ditemani lebih dari seminggu! Bilang, istrimu sebentar lagi melahirkan, dan masih kangen sama suaminya! Memangnya kamu tidak kangen aku, Mas?! ” Kali ini perempuan itu terisak-isak.

“Ya kangen, Sayang...” Lelaki tegap itu menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan.

“Kalau begitu, balas kangenku dong! Temani aku sampai anak kita lahir... Aku ingin, ketika terlahir nanti, anak ini diadzani ayahnya... ”

Din!

Antares menyela drama kecil itu dengan menekan klakson. Pasangan itu menyingkir sambil tersipu-sipu, tak mengira ada penonton yang menyaksikan pertengkaran mereka. Kami berdua tersenyum geli.

“Pasangan yang manis,” komentar Antares, tertawa kecil.

“Iya,” kataku sambil menoleh sekilas. Sepasang suami-istri itu kini bergandengan mesra.

Andai aku bisa berteriak lantang pada Bahtiar seperti perempuan tadi.

Bahwa aku merindukannya setengah mati, dan ingin balas dirindukan olehnya.

Aku juga ingin ditemani saat hari itu tiba. Aku bermimpi tanganku digenggam hangat saat berpeluh menahan sakit luar biasa di rahimku. Aku membayangkan bayi ini, menangis dan masih berselimutkan sisa air ketubanku, ditimang penuh sayang oleh... ayahnya.

Tapi buat apa berlama-lama dalam mimpi, kalau kenyataan yang kumiliki jauh berbeda? Aku sudah memilih bersama Antares, dan tak ada jalan untuk kembali.

Aku berhenti memandangi suami-istri itu dan kembali menatap ke depan.

“Ambar...”

Genggaman Antares menegang di kemudinya. Tatapannya tertancap pada sesuatu di luar jendela. Aku mengikuti arah pandangannya, dan terpaku.

Seorang perempuan menggendong bayinya yang terbungkus selimut. Di sampingnya, seorang lelaki berjalan menenteng tas kain bergambar kelinci merah muda. Dari dalamnya menyembul ujung botol susu.

Lelaki itu, my dearest B. Orang yang paling ingin kutemui di dunia ini. Atau tidak.

Tapi lelaki itu keburu melihatku sebelum aku bisa menghindar. Dia menghampiriku, ragu tapi penasaran. Setelah hening yang lama, dia berbisik.

“A?” 
“B?”



*

4 komentar:

Terima kasih untuk komentarnya :)