Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Rabu, 30 November 2011

XLangkah Lebih Sehat dengan Internet




Jujur saja, saya baru mulai melek internet saat duduk di bangku kelas 3 SMU, itupun sebatas ngobrol ngalor ngidul dengan orang-orang Indonesia maupun mancanegara di chatroom. Sejak awal semester pertama kuliah di fakultas kedokteran, saya lebih banyak lagi bersentuhan dengan internet. Karena terpaksa, sebetulnya.

Tugas-tugas kuliah mengharuskan saya mencari sebanyak mungkin referensi ilmiah terkini. Ternyata berbagai textbook yang setebal bantal itu masih kurang up to date, tidak seperti jurnal ilmiah yang terbit bulanan atau artikel online yang bisa diperbarui dalam hitungan hari.
Suka tidak suka, saya pun belajar internet lewat berbagai sumber: minta diajari teman yang jago IT, cerewet dan banyak bertanya pada mas operator di warnet, juga belajar sendiri alias trial and error. Seiring waktu, saya mulai menikmati saat-saat berselancar di internet. 
Hingga saat ini, saya masih terkagum-kagum akan betapa banyaknya hal yang dapat kita lakukan dengan bantuan internet. Salah satunya, mencari informasi kesehatan. Mau tahu tentang penyakit panu, misalnya. Cukup ketikkan kata kunci penyakit panu di kotak search engine. Dengan sekali klik, muncul ratusan hasil pencarian mulai dari bahasa latinnya panu yaitu Pityriasis versicolor, tanda dan gejalanya, penyebabnya, foto close up penampakan kulit yang terkena panu, sampai iklan-iklan obat panu juga muncul di situ!

Setelah terjun ke dunia kerja, saya makin menyadari bahwa internet sangat bermanfaat di bidang kedokteran. Ilmu kedokteran selalu penuh hal-hal baru setiap waktu. Metode pengobatan terbaru, teknik operasi terbaru, alat-alat yang lebih canggih, dan masih banyak lagi. Seorang dokter dituntut untuk terus mengikuti perkembangan itu.
Di masa lalu, mungkin penyebaran ilmu kedokteran terbaru secara cepat masih terbatas di dalam kampus, di rumah-rumah sakit pendidikan, di kota-kota besar. Tapi di zaman internet ini, seorang ahli kandungan bisa mengajarkan metode terbaru operasi caesar, tidak hanya pada mahasiswa-mahasiswanya di dalam kamar operasi, tapi juga menyiarkannya melalui internet kepada ratusan koleganya di pulau yang berbeda. Bayangkan berapa banyak orang di berbagai belahan dunia yang bisa mempelajarinya jika video operasi caesar itu diunggah ke situs pengunggah video semacam Youtube? Berapa banyak pasien yang akan mendapat penanganan medis lebih baik karenanya? 


Internet juga memudahkan komunikasi antara dokter dan pasien. Kini masyarakat tidak harus datang dan antre di klinik atau rumah sakit untuk berkonsultasi pada dokter, karena situs-situs kesehatan yang menyediakan layanan konsultasi dokter siap menjawab pertanyaan mereka. Banyak pula dokter yang tak segan berbagi informasi seputar isu kesehatan melalui blog atau akun twitter-nya.


Memang, pertemuan tatap muka langsung dokter-pasien tidak seluruhnya dapat tergantikan oleh konsultasi online. Ada hal-hal yang harus ditanyakan dokter secara detail seperti riwayat pengobatan, atau pemeriksaan fisik yang harus dilakukan sendiri oleh dokter kepada pasien. Contohnya, sulit kan dokter mendiagnosis benjolan yang ada di leher pasien hanya berdasarkan foto atau deskripsi via e-mail?
Tapi berkat internet setidaknya informasi kesehatan bisa lebih mudah diakses siapa saja, di mana saja, kapan saja. Dengan begitu, kesadaran masyarakat untuk hidup sehat akan meningkat. Cita-cita “Indonesia Sehat” pun bukan mustahil diraih kan? Ayo, XLangkah Lebih Maju, XLangkah Lebih Sehat dengan Internet!   




Selasa, 29 November 2011

"Ayahku ODHA dan Aku Bangga Padanya"


Dear Ayah,
Bagaimana kabar Ayah di sana? Kuharap Tuhan menjaga Ayah dengan baik. Sejak hari ini dan seterusnya, Ibu dan aku tak bisa lagi bertemu Ayah. Ibu menangis terus. Aku juga sedih, makanya kutulis surat ini agar sedihku berkurang sedikit.
Kusimpan foto Ayah di bawah bantalku supaya bisa kulihat kapanpun aku rindu. Foto Ayah waktu masih bugar, belum menyusut karena AIDS. Ayah tak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa Ayah telah terinfeksi HIV, terutama dariku; satu-satunya putra Ayah.
“Infeksi itu adalah teguran dari Tuhan untuk Ayah,” begitu selalu jawab Ayah, jika aku bertanya mengapa Tuhan tega membiarkan Ayah sakit.
Di masa muda, Ayah pernah menjadi pecandu narkoba. Dengan berbagi alat suntik bersama teman-teman segengnya, Ayah menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya. Dari situlah HIV menemukan celah masuk ke tubuh Ayah, berkembang biak diam-diam, kemudian merusak kekebalan tubuh Ayah menjadi selemah-lemahnya.

pengguna narkoba suntik

Lalu Ayah mengenal Ibu, sosok yang memberi kekuatan pada Ayah untuk bangkit. Berubah. Ayah ikut program rehabilitasi. Ayah pergi sejauh mungkin dari teman-teman geng. Ayah giat bekerja serabutan apa saja untuk mencari nafkah.  Ayah menangis dalam sujud pertaubatan tiap malam.
Saat dokter di tempat Ayah menjalani rehabilitasi menganjurkan Ayah untuk dites HIV, Ayah bingung.
“HIV? AIDS? ODHA? Apa itu, Dok?” Semua terdengar asing di telinga Ayah. Dokter menjelaskan beberapa hal, juga menyisipkan brosur ke tangan Ayah untuk dibaca. Ayah mulai mengerti, bahwa Ayah termasuk kelompok beresiko tinggi terinfeksi HIV. Ayah datang lagi pada dokter untuk dites.
Sehari sesudahnya, Ayah mendapat dua berita. Berita bahagia: Ibu positif hamil empat bulan. Berita sedih: Ayah positif terinfeksi HIV.
Ayah menyampaikannya pada famili dan beberapa sahabat, sekedar berharap mendapat dukungan semangat atau doa. Tapi mereka justru mengucilkan Ayah. Menyebut infeksi itu penyakit kutukan. Membiarkan Ayah bergulat sendiri dengan penyakit yang namanya saja baru dikenalnya. Mencibir. Berkata itulah hukuman yang pantas untuk masa lalu Ayah.
Syukurlah ada Ibu, ya, Yah? Ibu rajin mencari tahu info tentang HIV-AIDS darimana saja: koran bekas pembungkus cabai, brosur, radio sampai televisi. Makanya Ibu tahu dirinya tak akan tertular cuma gara-gara bersentuhan, berpelukan, makan dan minum dengan alat yang sama, atau tinggal bersama Ayah. Ibu tetap tegak di sisi Ayah, menggandeng tangan Ayah, ikut pontang-panting mengumpulkan uang agar Ayah bisa minum ARV rutin, juga membantu Ayah berjuang mendapatkan bantuan pengobatan ARV gratis dari organisasi internasional.
Ayah dan Ibu juga terus mencoba menjalin silaturahmi dengan keluarga, sambil menyelipkan obrolan seputar pengetahuan HIV/AIDS. Syukurlah lambat laun mereka mulai menerima Ayah lagi. Tapi masih ada satu kekhawatiran Ayah:
“Ayah takut mati. Tapi lebih takut lagi kalau kalian sampai mati karena tertular penyakit Ayah.”
Setelah aku lahir, Ibu dan aku dites HIV. Hasilnya negatif lho, Yah! Mendengar itu, Ayah tak henti bersyukur. Ayah tertawa sambil menangis saking leganya ya, Yah?
“Keadaan Ayah bisa memburuk kapan saja. Ayah bisa pergi kapan saja. Tapi sebelum itu, Ayah mau sisa umur Ayah berguna. Ayah ingin kamu bangga sama Ayah!” kata Ibu, Ayah pernah ngomong begitu padaku yang waktu itu masih bayi.
Sejak itu Ayah bergabung dengan organisasi pendampingan ODHA. Ayah mendampingi beberapa ODHA, mengingatkan mereka supaya terus minum ARV, menyemangati mereka. Ayah diundang untuk berbagi pengalaman dengan remaja. Masa lalu Ayah bukan pengalaman yang membanggakan, tapi Ayah membaginya sebagai peringatan, agar tak ada lagi remaja yang berbuat sebodoh Ayah dulu.


Benar juga ya, Yah? Sebagai ODHA pun manusia masih bisa berkarya, bermanfaat buat orang lain!
Setelah bertahun hidup bersama HIV, sepertinya tubuh Ayah mulai lelah. Ayah sakit-sakitan. Virus itu berhasil menggerogoti kekebalan tubuh Ayah. Infeksi oportunistik bermunculan sebagai akibatnya. Wajah Ayah makin tirus. Bahu kekar Ayah, tempat duduk kesukaanku saat masih kecil, berubah jadi tonjolan tulang-tulang berbalut kulit. Dan hari ini Ayah menutup mata untuk selamanya.
Bagiku, Ayah bukan manusia terkutuk atau pecundang. Ayah adalah manusia biasa yang pernah salah jalan, lalu bertaubat dan sungguh-sungguh berusaha menebus kesalahan. Ayah adalah pejuang hidup yang kalah terhormat.
Jika kelak orang-orang bertanya siapa Ayahku, akan kuceritakan perjalanan hidup Ayah. Akan kukatakan pada mereka, “Ayahku ODHA, dan aku bangga padanya.”
Ayah, sudah dulu ya. Aku mau temani Ibu dulu biar tidak menangis terus. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku akan berusaha kuat, seperti Ayah. Aku ingin Ayah bangga padaku.

Tertanda,
Putra



*Artikel ini adalah opini penulis, bukan surat sebenarnya.

Jakarta - DKI Jakarta



Sabtu, 26 November 2011

(Book Review) Infinitely Yours

 
 
Judul: Infinitely Yours
Penulis: Orizuka
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 294 halaman
ISBN: 9797805085
Awalnya saya hanya tertarik membeli novel ini karena ceritanya ber-setting di Korea; negeri Ginseng yang selama ini saya sukai film-film dramanya. Saya mengira novel ini biasa-biasa saja, senada dengan novel-novel Chicklit lain yang bertema cinta.

Pada halaman-halaman awal pun, belum ada yang istimewa. Malah saya dengan sok tahu buru-buru menebak akhir cerita, bahwa Jingga dan Rayan, dua tokoh utama yang karakternya berbeda 180 derajat, pada akhirnya pasti bersatu juga.

Adalah Jingga, gadis 25 tahun yang ekspresif dan ceria yang hendak berlibur ke Korea bersama suatu rombongan tur. Tujuan utama Jingga ke Korea adalah untuk bertemu lagi dengan Yun Jae, pemuda Korea yang sudah lama ditaksirnya.

Tur itu mempertemukannya dengan Rayan, pemuda yang hanya 3 tahun lebih tua dari Jingga namun tampak lebih tua dari umurnya karena sifatnya yang workaholic, kaku, serius dan sinis. Tujuan Rayan ke Korea adalah mencari Mariska, kekasihnya yang memutuskan hubungan dengan Rayan secara sepihak. Dengan perbedaan mencolok sifat kedua tokoh utama, bisa ditebak mereka akan sering berselisih.

Tapi semakin lama, sifat ceria, ceroboh dan grasa-grusu Jingga berhasil memikat saya untuk terus membaca. Alur cerita sangat mengalir dengan adegan-adegan 'nyaris' romantis sekaligus kocak yang membuat saya cekikikan sendiri.

Keunggulan lain novel ini menurut saya adalah kepiawaian Orizuka menggambarkan negeri Korea. Pembaca seakan benar-benar dibawa bepergian menyusuri jalan-jalan kota Seoul, mengagumi patung King Sejong--raja Korea yang telah berjasa menemukan hangeul (aksara Korea), menyaksikan ribuan gembok cinta yang terpasang di pagar di N Seoul Tower, dan menikmati dinginnya salju di gunung Seorak. Padahal, fyi, Orizuka sama sekali belum pernah bertandang ke Korea lho! Dia melakukan riset dan menggali informasi seputar Korea antara lain dari Google dan komunitas K-poppers.

Akhirnya, saya sampai pada halaman terakhir kisah Jingga dan Rayan, dan saya nggak menyesal sama sekali sudah membaca novel ini. Well done, Orizuka. Kamsahamnida! ^__^

(Hari Guru Nasional) Guru Bisu

Sosok Guru
Apa yang melesat masuk ke dalam benak kita saat mendengar kata "guru"? Sosok yang tampak pintar seperti gambar di atas? Sosok yang berdiri di depan kelas, menjelaskan slide demi slide powerpoint materi sekolah atau kuliah yang terpampang di layar? Sosok sumber ilmu yang selalu tahu lebih banyak dari muridnya?

Dulu, itulah yang saya pikirkan tentang guru. Sampai seseorang mengubah persepsi saya tentang guru, menjadi lebih luas lagi. Orang itu adalah guru saya juga sewaktu saya masih kuliah. Beliau, pada suatu praktikum anatomi, menyatakan prihatin pada cara kami memperlakukan kadaver--mayat awetan yang digunakan para mahasiswa kedokteran untuk mempelajari struktur dan organ-organ tubuh manusia. Beliau menganggap kami kurang hormat dalam memperlakukan kadaver-kadaver itu.

Beliau rupanya memergoki beberapa mahasiswa yang memegang potongan organ awetan tidak dengan hati-hati sehingga berpotensi membuat potongan organ itu cepat rusak. Ada pula beberapa mahasiswa yang malah cekikikan dan bercanda mengomentari bentuk tubuh kadaver yang dihadapinya. Saya sendiri, yang baru semester itu dapat mata kuliah anatomi, masih setengah takut dan jijik menyentuh kadaver meski sudah mengenakan sarung tangan lateks.


praktikum anatomi
 
"Kalian anggap kadaver dan potongan-potongan tubuh manusia ini barang mainan? Tangan ini," beliau dengan hati-hati mengangkat sebuah potongan organ yang sudah berwarna coklat kehitaman karena sudah lama diawetkan, "dulu milik tubuh seseorang."

"Kadaver ini," beliau menyentuh lengan kadaver yang terbaring di meja praktikum, "dulu adalah manusia bernyawa, sama seperti kalian hari ini! Kalian dan kadaver ini sama-sama makhluk Tuhan, yang berbeda hanyalah, kadaver ini sudah mati sedangkan kalian masih diberi nyawa, diberi kesempatan hidup oleh Gusti Allah."

Hening. Kata-kata beliau menggedor-gedor hati kami.

"Kadaver-kadaver ini adalah guru-guru kalian. Kalau tidak ada mereka, kalian mau belajar anatomi pakai apa? Patung lilin? Jadi, tolong perlakukan guru-guru kalian ini dengan respek dan penuh penghargaan, jangan kasar, jangan dijadikan bahan lelucon. Doakan agar arwah mereka tenang di sisi Tuhan."

Siapa saja bisa menjelma menjadi guru dalam kehidupan kita, asal kita jeli melihatnya. Termasuk kadaver-kadaver yang saya pelajari waktu itu. Meski bisu dan tak mampu lagi berkata-kata, mereka mengajarkan pada saya bahwa manusia, serupawan apapun, sesukses apapun, tetaplah makhluk mortal. Tak layak kita sombong atau berlagu bagai tak butuh Tuhan, karena pada akhirnya nanti kematian akan datang, dan kita akan menjadi makhluk tak bernyawa seperti mereka.

~end~

Kamis, 24 November 2011

Remaja Harus Melek HIV/AIDS!


"Saya masih nggak habis pikir, Mbak, kok bisa terinfeksi. Saya ini anak baik-baik yang hanya terjerumus sekali. Cuma sekali itu saja."
Ivan, bukan nama sebenarnya, adalah ODHA pelajar kelas 2 SMU. Usianya belum genap delapanbelas tahun. Masa depannya boleh jadi masih panjang dan cerah jika saja ia sehat, tidak tergolek di ranjang rumah sakit karena AIDS. Sebelum terinfeksi, Ivan tak tahu tentang HIV/AIDS kecuali bahwa penyakit itu hanya menimpa orang-orang yang akrab dengan narkoba atau free sex.

Beberapa tahun lalu saat Ivan masih pelajar SMP, ia dan kawannya berkenalan dengan seorang gadis di tempat mereka nongkrong. Gadis yang juga pelajar SMP itu ternyata pekerja seks komersial 'freelance'. Maksudnya, ia hanya sesekali menjalani profesinya, saat butuh uang. Perkenalan berujung pada transaksi seks. Waktu itu, Ivan spontan saja mengikuti ajakan teman.

"Deg-degan, Mbak, tapi penasaran ingin coba." Itu kali pertama Ivan berhubungan seks dengan lawan jenis.
Setelah itu, hari-hari berlalu seperti biasa. Menginjak kelas 2 SMU, Ivan mengalami demam hilang timbul selama berbulan-bulan disertai batuk-batuk, juga diare sesekali. Sudah beberapa kali Ivan diantar orangtuanya berobat, tapi tidak ada kemajuan berarti.

Suatu ketika, dokter menemukan ciri-ciri yang tak biasa pada fisik Ivan dan beberapa hasil pemeriksaan penunjang. Dengan hati-hati, dokter bertanya apakah Ivan pernah melakukan aktifitas beresiko infeksi HIV. Pernah dapat transfusi darah? Pernah ditato? Pernah pakai narkoba? Pernah berhubungan seks?

Ivan teringat seks coba-coba yang pernah dilakukannya. Ivan mengakuinya dengan jujur. Orangtua Ivan sempat kaget dan marah, tapi bisa mengendalikan emosi. Atas saran dokter, Ivan menjalani tes anti HIV. Ivan setuju. Hati kecilnya berharap bukan virus itu yang menyerang tubuhnya.
"Nggak mungkin ah.. Masa sih baru sekali berhubungan seks langsung kena?" pikirnya.
Harapan itu pupus. Hasil tes menyebutkan Ivan positif terinfeksi HIV. Ivan makin stres setelah tahu obat-obat ARV yang diminumnya tidak bisa membasmi tuntas virus, hanya menekan laju pertumbuhannya agar tidak menggerogoti sisa-sisa kekebalan tubuh. Mungkin rasa tertekan itu pula yang membuat kondisi fisiknya terus menurun. Saat mulai dirawat di rumah sakit, di tubuhnya telah bersarang radang otak toksoplasmosis  dan tuberkulosis paru. Ini beberapa infeksi oportunistik yang lazim terjadi pada ODHA. Dari hari ke hari, kondisi Ivan terus menurun. Ivan menghembuskan napas terakhir beberapa minggu setelahnya.
Jika saja Ivan, teman SMP-nya, dan gadis itu sudah tahu tentang HIV/AIDS sebelumnya, mungkin akan lain ceritanya. Tapi kisah Ivan bukan untuk disesali saja. Ada hikmah yang harus diambil. Ada tindakan yang harus diperbuat, agar tak semakin banyak Ivan-Ivan dan PSK-PSK remaja lain.


Tingkat pengetahuan HIV/AIDS di kalangan remaja usia 15-24 tahun baru mencapai 11,4 persen. Sangat rendah, mengingat salah satu kelompok usia dengan frekuensi HIV/AIDS tertinggi adalah usia remaja. Lalu sebaiknya bagaimana dan lewat media apa pengenalan HIV/AIDS massal untuk remaja dilakukan? Pengenalan ini, menurut saya, tak cukup dengan penyuluhan searah yang membosankan ataupun ancaman dosa-neraka yang menyuruh mereka menjauhi seks bebas dan narkoba. Remaja adalah kalangan unik yang perlu pendekatan tersendiri. Mereka ingin dihargai pendapatnya oleh orang dewasa, ingin diajak berdiskusi bukan ditakut-takuti, ingin didekati sebagai teman bukan obyek.

Menurut saya, edukasi HIV/AIDS massal akan efektif dilakukan lewat berbagai event remaja seperti konser musik, lomba menulis esai, atau pameran komik misalnya. Penyampaian materi bisa disampaikan dengan menarik dan interaktif, contohnya disertai kuis berhadiah. Media cetak dan digital pun sangat layak dijadikan media pengenalan HIV/AIDS secara massal pada remaja. Sayang sekali majalah remaja cetak dan online umumnya dijejali artikel seputar kiprah selebriti, film, fashion dan gadget terbaru yang notabene mendukung konsumerisme. Begitu juga dengan novel, sinetron atau film remaja di televisi, lebih menonjolkan tema cinta-cintaan dan sangat jarang menyentuh topik HIV/AIDS, atau paling tidak menyelipkan edukasi tentangnya dalam alur cerita.

Manfaat pengenalan HIV/AIDS pada remaja sangat banyak. Pertama, mereka tahu apa itu HIV/AIDS dan cara-cara penularannya. Ya, tanpa mengenal HIV/AIDS, mana mungkin mewaspadai dan menghindari perilaku beresiko? Kedua, remaja menjadi tahu bahwa mereka tidak perlu mengasingkan teman atau keluarganya yang ODHA karena takut tertular melalui berjabat tangan, berpelukan, digigit nyamuk, bersentuhan, berenang bersama, tinggal serumah dengan ODHA, menggunakan toilet yang sama, atau menggunakan alat makan dan minum yang sama.

Ketiga, remaja yang terlanjur terinfeksi akan memperoleh suntikan semangat baru untuk terus mengikuti terapi ARV dan menjalani hidup sebaik-baiknya; ODHA bisa beraktifitas maksimal meraih prestasi layaknya mereka yang bukan ODHA! Keempat, remaja yang sudah memahami HIV/AIDS dapat menjadi duta kampanye pengenalan HIV/AIDS, minimal bagi keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Makin banyak remaja yang melek HIV/AIDS, makin besar peluang untuk mencegah meluasnya HIV/AIDS!

Jakarta - DKI Jakarta





Selasa, 22 November 2011

Haipe Eids Itu Apa, Bu?



Jakarta - DKI Jakarta

“Haipe eids itu teh apa, Bu?”
Perempuan itu, sebut saja dia Ais, bertanya pada teman saya, seorang petugas kesehatan yang hendak mengambil sampel darah Ais. Seperti banyak pekerja seks komersial di area lokalisasi pinggiran Jakarta itu, usianya masih belia, 16 tahun. Sebelumnya Ais sekolah sampai kelas dua SMP, lalu berhenti karena orangtuanya tak sanggup membiayai. Ia baru setahun tinggal di Jakarta dan menjalani profesi tersebut, diajak familinya yang juga berprofesi serupa.

“Lho, memangnya tadi belum dijelasin sama pewawancara?” Sebelum diambil dan diperiksa sampel darahnya, Ais dan teman-teman terlebih dulu diberi penjelasan dan diwawancarai seputar perilaku yang beresiko menyebabkan infeksi HIV.

“Udah Bu, tapi Ais mah bingung ah.”
Tak cuma Ais, banyak pula teman-teman ‘sejawat’nya yang ternyata belum tahu apa itu HIV/AIDS, apalagi rupa-rupa infeksi menular seksual lainnya. Mereka hanya tahu, resiko terbesar yang mereka mungkin alami adalah hamil. Pencegahannya, cukup minum jamu pelancar haid dan minta para pelanggan mengenakan kondom. Cara kedua pun sering urung dilakukan.

“Biasanya mah pelanggan nggak suka pake kondom, Bu. Mana enak, katanya.” Ais bercerita.

Sungguh miris, perempuan-perempuan muda ini tidak menyadari bahaya yang menghantui di balik perilaku berganti-ganti pasangan seks. Mungkin, saat itulah kali pertama mereka mendengar tentang HIV/AIDS. Human Immunodefficiency Virus, Acquired Immunodefficiency Syndrome, adalah kata-kata antah berantah yang tak mereka pahami.

“HIV itu nama virus, yang merusak kekebalan tubuh kita. Akibatnya tubuh yang diserang jadi lemah. Kena penyakit ringan saja gejalanya bisa parah. Nah kalau infeksi HIV sudah berat, timbul gejala-gejala yang disebut AIDS.”

Ais dan teman-temannya mengangguk-angguk, semoga saja karena mereka memang mengerti semua materi yang disampaikan. Bahwa ada hal-hal yang jauh lebih buruk dari kehamilan yang dapat terjadi pada mereka. Bahwa infeksi HIV mengancam mereka kapan saja, entah melalui pelanggan yang mana. Bahwa kondom tidak bisa menjamin seratus persen virus itu tak akan mampu menembus barier pertahanan tubuh mereka. Bahwa satu-satunya cara teraman menghindarinya adalah dengan menghindari perilaku-perilaku yang meningkatkan resiko terinfeksi HIV.

“Ih, udah atuh Bu, jangan seram-seram ceritanya,” Ais sedikit bergidik, mulai mendapat gambaran tentang HIV/AIDS.
Sayangnya itu bukan sekedar cerita horor. HIV/AIDS nyata adanya.

“Makanya Ais jangan kerja begini terus ya. Nggak aman.”
Ais tertegun. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Menurut saya, edukasi mengenai HIV/AIDS melalui iklan-iklan di televisi atau baliho di tepi jalan utama kota saja tidak cukup. Orang-orang semacam Ais memerlukan penjelasan yang lebih mendetail, lebih membumi, dengan bahasa sederhana yang dapat mereka pahami. Penyuluhan dengan sistem ‘jemput bola’ yaitu dengan mengunjungi langsung komunitas dengan perilaku beresiko HIV/AIDS masih sangat dibutuhkan.

Memang, survei dan penyuluhan hari itu ke tempat Ais tidak membuatnya dan teman-temannya langsung berhenti dari pekerjaannya di dunia malam. Ais pun saat itu terburu-buru pamit sebelum penyuluhan selesai. “Punten, Bu, Ais dipanggil sama Mamih.. Udah ditunggu pelanggan!”

Untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, penyuluhan satu kali saja tak akan cukup. Juga tak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah atau LSM peduli HIV/AIDS. Kita harus ambil bagian dalam mensosialisasikan HIV/AIDS, siapapun kita, apapun profesi kita. Jika Anda seorang ibu rumah tangga, ajari buah hati Anda tentang reproduksi sehat. Jika Anda seorang blogger, sampaikan apa yang Anda ketahui tentang HIV/AIDS melalui tulisan agar dibaca masyarakat luas. Jika Anda seorang ODHA, berbagilah pengetahuan dan pengalaman Anda.

Makin banyak orang yang tahu tentang HIV/AIDS, makin terbangun kewaspadaan mereka untuk menghindari perilaku beresiko. Semoga, makin banyak pula kasus penularan baru yang bisa dicegah.






Kacamataku, Bukan Kacamatamu

kacamataku, sudut pandangku

Assalaamu'alaikum! ^___^
Ini adalah blog saya yang kesekian. Bukan, saya bukan blogger profesional, apalagi penulis super produktif. Setidaknya, taraf saya masih jauuuuh banget dari itu. Saya pernah punya blog di Friendster, blogger, multiply, dan wordpress. Saat ini, blog saya yang masih aktif ada tiga:
blognyaruri , yang isinya random abis: curcol, keluh kesah, pengalaman seru saat praktek, sampai cerpen. Sayangnya beberapa teman saya mengeluh, nggak bisa posting komentar di blog multiply saya ini. Mungkinkah cuma yang punya akun multiply juga yang bisa posting komentar?
Blog saya yang kedua dan belum lama dibuat, sungaicerita , khusus berisi cerpen, cerbung, dan kisah non-fiksi. Lewat wordpress ini saya juga bisa follow blog-blog super keren sesama pengguna wordpress. Hmm memang sih tampilan wordpress cenderung formal/ serius sampai ada teman saya yang meledek, "Wordpress itu kan buat bapak-bapak." -__-*
Blog ketiga dan teranyar adalah yang sedang Anda lihat saat ini, Kacamataku ! Mengapa Kacamataku?Karena di blog ini saya akan menulis tentang dunia dari sudut pandang saya, kacamata saya.
Meski belum bisa update blog tiap hari seperti para teman blogger yang saya kagumi komitmen nge-blognya, tapi semoga aja sih tiga blog ini awet. Awet ter-update maksudnya, bukan awet hiatus :P