Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Tampilkan postingan dengan label kedokteran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kedokteran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Mei 2014

Saat Antibiotik Tak Lagi Manjur

Kita tentu sudah tak asing lagi dengan obat-obatan yang bernama antibiotik. Antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, jamur, parasit dan virus. Perannya sudah tidak diragukan lagi dalam dunia kedokteran. Banyak penyakit infeksi yang dulu merenggut nyawa jutaan penduduk dunia, sekarang bisa disembuhkan dengan antibiotik.

Misalnya, sebut saja malaria. Ratusan tahun lalu, penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium ini telah menewaskan banyak orang. Setelah ditemukannya chloroquine pada tahun 1934, yang ternyata mampu membunuh Plasmodium, menyusul dibuatnya senyawa quinine sintetis pada tahun 1944, banyak pasien yang kemudian dapat sembuh dari penyakit ini. 

Rabu, 30 November 2011

XLangkah Lebih Sehat dengan Internet




Jujur saja, saya baru mulai melek internet saat duduk di bangku kelas 3 SMU, itupun sebatas ngobrol ngalor ngidul dengan orang-orang Indonesia maupun mancanegara di chatroom. Sejak awal semester pertama kuliah di fakultas kedokteran, saya lebih banyak lagi bersentuhan dengan internet. Karena terpaksa, sebetulnya.

Tugas-tugas kuliah mengharuskan saya mencari sebanyak mungkin referensi ilmiah terkini. Ternyata berbagai textbook yang setebal bantal itu masih kurang up to date, tidak seperti jurnal ilmiah yang terbit bulanan atau artikel online yang bisa diperbarui dalam hitungan hari.
Suka tidak suka, saya pun belajar internet lewat berbagai sumber: minta diajari teman yang jago IT, cerewet dan banyak bertanya pada mas operator di warnet, juga belajar sendiri alias trial and error. Seiring waktu, saya mulai menikmati saat-saat berselancar di internet. 
Hingga saat ini, saya masih terkagum-kagum akan betapa banyaknya hal yang dapat kita lakukan dengan bantuan internet. Salah satunya, mencari informasi kesehatan. Mau tahu tentang penyakit panu, misalnya. Cukup ketikkan kata kunci penyakit panu di kotak search engine. Dengan sekali klik, muncul ratusan hasil pencarian mulai dari bahasa latinnya panu yaitu Pityriasis versicolor, tanda dan gejalanya, penyebabnya, foto close up penampakan kulit yang terkena panu, sampai iklan-iklan obat panu juga muncul di situ!

Setelah terjun ke dunia kerja, saya makin menyadari bahwa internet sangat bermanfaat di bidang kedokteran. Ilmu kedokteran selalu penuh hal-hal baru setiap waktu. Metode pengobatan terbaru, teknik operasi terbaru, alat-alat yang lebih canggih, dan masih banyak lagi. Seorang dokter dituntut untuk terus mengikuti perkembangan itu.
Di masa lalu, mungkin penyebaran ilmu kedokteran terbaru secara cepat masih terbatas di dalam kampus, di rumah-rumah sakit pendidikan, di kota-kota besar. Tapi di zaman internet ini, seorang ahli kandungan bisa mengajarkan metode terbaru operasi caesar, tidak hanya pada mahasiswa-mahasiswanya di dalam kamar operasi, tapi juga menyiarkannya melalui internet kepada ratusan koleganya di pulau yang berbeda. Bayangkan berapa banyak orang di berbagai belahan dunia yang bisa mempelajarinya jika video operasi caesar itu diunggah ke situs pengunggah video semacam Youtube? Berapa banyak pasien yang akan mendapat penanganan medis lebih baik karenanya? 


Internet juga memudahkan komunikasi antara dokter dan pasien. Kini masyarakat tidak harus datang dan antre di klinik atau rumah sakit untuk berkonsultasi pada dokter, karena situs-situs kesehatan yang menyediakan layanan konsultasi dokter siap menjawab pertanyaan mereka. Banyak pula dokter yang tak segan berbagi informasi seputar isu kesehatan melalui blog atau akun twitter-nya.


Memang, pertemuan tatap muka langsung dokter-pasien tidak seluruhnya dapat tergantikan oleh konsultasi online. Ada hal-hal yang harus ditanyakan dokter secara detail seperti riwayat pengobatan, atau pemeriksaan fisik yang harus dilakukan sendiri oleh dokter kepada pasien. Contohnya, sulit kan dokter mendiagnosis benjolan yang ada di leher pasien hanya berdasarkan foto atau deskripsi via e-mail?
Tapi berkat internet setidaknya informasi kesehatan bisa lebih mudah diakses siapa saja, di mana saja, kapan saja. Dengan begitu, kesadaran masyarakat untuk hidup sehat akan meningkat. Cita-cita “Indonesia Sehat” pun bukan mustahil diraih kan? Ayo, XLangkah Lebih Maju, XLangkah Lebih Sehat dengan Internet!   




Selasa, 29 November 2011

"Ayahku ODHA dan Aku Bangga Padanya"


Dear Ayah,
Bagaimana kabar Ayah di sana? Kuharap Tuhan menjaga Ayah dengan baik. Sejak hari ini dan seterusnya, Ibu dan aku tak bisa lagi bertemu Ayah. Ibu menangis terus. Aku juga sedih, makanya kutulis surat ini agar sedihku berkurang sedikit.
Kusimpan foto Ayah di bawah bantalku supaya bisa kulihat kapanpun aku rindu. Foto Ayah waktu masih bugar, belum menyusut karena AIDS. Ayah tak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa Ayah telah terinfeksi HIV, terutama dariku; satu-satunya putra Ayah.
“Infeksi itu adalah teguran dari Tuhan untuk Ayah,” begitu selalu jawab Ayah, jika aku bertanya mengapa Tuhan tega membiarkan Ayah sakit.
Di masa muda, Ayah pernah menjadi pecandu narkoba. Dengan berbagi alat suntik bersama teman-teman segengnya, Ayah menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya. Dari situlah HIV menemukan celah masuk ke tubuh Ayah, berkembang biak diam-diam, kemudian merusak kekebalan tubuh Ayah menjadi selemah-lemahnya.

pengguna narkoba suntik

Lalu Ayah mengenal Ibu, sosok yang memberi kekuatan pada Ayah untuk bangkit. Berubah. Ayah ikut program rehabilitasi. Ayah pergi sejauh mungkin dari teman-teman geng. Ayah giat bekerja serabutan apa saja untuk mencari nafkah.  Ayah menangis dalam sujud pertaubatan tiap malam.
Saat dokter di tempat Ayah menjalani rehabilitasi menganjurkan Ayah untuk dites HIV, Ayah bingung.
“HIV? AIDS? ODHA? Apa itu, Dok?” Semua terdengar asing di telinga Ayah. Dokter menjelaskan beberapa hal, juga menyisipkan brosur ke tangan Ayah untuk dibaca. Ayah mulai mengerti, bahwa Ayah termasuk kelompok beresiko tinggi terinfeksi HIV. Ayah datang lagi pada dokter untuk dites.
Sehari sesudahnya, Ayah mendapat dua berita. Berita bahagia: Ibu positif hamil empat bulan. Berita sedih: Ayah positif terinfeksi HIV.
Ayah menyampaikannya pada famili dan beberapa sahabat, sekedar berharap mendapat dukungan semangat atau doa. Tapi mereka justru mengucilkan Ayah. Menyebut infeksi itu penyakit kutukan. Membiarkan Ayah bergulat sendiri dengan penyakit yang namanya saja baru dikenalnya. Mencibir. Berkata itulah hukuman yang pantas untuk masa lalu Ayah.
Syukurlah ada Ibu, ya, Yah? Ibu rajin mencari tahu info tentang HIV-AIDS darimana saja: koran bekas pembungkus cabai, brosur, radio sampai televisi. Makanya Ibu tahu dirinya tak akan tertular cuma gara-gara bersentuhan, berpelukan, makan dan minum dengan alat yang sama, atau tinggal bersama Ayah. Ibu tetap tegak di sisi Ayah, menggandeng tangan Ayah, ikut pontang-panting mengumpulkan uang agar Ayah bisa minum ARV rutin, juga membantu Ayah berjuang mendapatkan bantuan pengobatan ARV gratis dari organisasi internasional.
Ayah dan Ibu juga terus mencoba menjalin silaturahmi dengan keluarga, sambil menyelipkan obrolan seputar pengetahuan HIV/AIDS. Syukurlah lambat laun mereka mulai menerima Ayah lagi. Tapi masih ada satu kekhawatiran Ayah:
“Ayah takut mati. Tapi lebih takut lagi kalau kalian sampai mati karena tertular penyakit Ayah.”
Setelah aku lahir, Ibu dan aku dites HIV. Hasilnya negatif lho, Yah! Mendengar itu, Ayah tak henti bersyukur. Ayah tertawa sambil menangis saking leganya ya, Yah?
“Keadaan Ayah bisa memburuk kapan saja. Ayah bisa pergi kapan saja. Tapi sebelum itu, Ayah mau sisa umur Ayah berguna. Ayah ingin kamu bangga sama Ayah!” kata Ibu, Ayah pernah ngomong begitu padaku yang waktu itu masih bayi.
Sejak itu Ayah bergabung dengan organisasi pendampingan ODHA. Ayah mendampingi beberapa ODHA, mengingatkan mereka supaya terus minum ARV, menyemangati mereka. Ayah diundang untuk berbagi pengalaman dengan remaja. Masa lalu Ayah bukan pengalaman yang membanggakan, tapi Ayah membaginya sebagai peringatan, agar tak ada lagi remaja yang berbuat sebodoh Ayah dulu.


Benar juga ya, Yah? Sebagai ODHA pun manusia masih bisa berkarya, bermanfaat buat orang lain!
Setelah bertahun hidup bersama HIV, sepertinya tubuh Ayah mulai lelah. Ayah sakit-sakitan. Virus itu berhasil menggerogoti kekebalan tubuh Ayah. Infeksi oportunistik bermunculan sebagai akibatnya. Wajah Ayah makin tirus. Bahu kekar Ayah, tempat duduk kesukaanku saat masih kecil, berubah jadi tonjolan tulang-tulang berbalut kulit. Dan hari ini Ayah menutup mata untuk selamanya.
Bagiku, Ayah bukan manusia terkutuk atau pecundang. Ayah adalah manusia biasa yang pernah salah jalan, lalu bertaubat dan sungguh-sungguh berusaha menebus kesalahan. Ayah adalah pejuang hidup yang kalah terhormat.
Jika kelak orang-orang bertanya siapa Ayahku, akan kuceritakan perjalanan hidup Ayah. Akan kukatakan pada mereka, “Ayahku ODHA, dan aku bangga padanya.”
Ayah, sudah dulu ya. Aku mau temani Ibu dulu biar tidak menangis terus. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku akan berusaha kuat, seperti Ayah. Aku ingin Ayah bangga padaku.

Tertanda,
Putra



*Artikel ini adalah opini penulis, bukan surat sebenarnya.

Jakarta - DKI Jakarta



Sabtu, 26 November 2011

(Hari Guru Nasional) Guru Bisu

Sosok Guru
Apa yang melesat masuk ke dalam benak kita saat mendengar kata "guru"? Sosok yang tampak pintar seperti gambar di atas? Sosok yang berdiri di depan kelas, menjelaskan slide demi slide powerpoint materi sekolah atau kuliah yang terpampang di layar? Sosok sumber ilmu yang selalu tahu lebih banyak dari muridnya?

Dulu, itulah yang saya pikirkan tentang guru. Sampai seseorang mengubah persepsi saya tentang guru, menjadi lebih luas lagi. Orang itu adalah guru saya juga sewaktu saya masih kuliah. Beliau, pada suatu praktikum anatomi, menyatakan prihatin pada cara kami memperlakukan kadaver--mayat awetan yang digunakan para mahasiswa kedokteran untuk mempelajari struktur dan organ-organ tubuh manusia. Beliau menganggap kami kurang hormat dalam memperlakukan kadaver-kadaver itu.

Beliau rupanya memergoki beberapa mahasiswa yang memegang potongan organ awetan tidak dengan hati-hati sehingga berpotensi membuat potongan organ itu cepat rusak. Ada pula beberapa mahasiswa yang malah cekikikan dan bercanda mengomentari bentuk tubuh kadaver yang dihadapinya. Saya sendiri, yang baru semester itu dapat mata kuliah anatomi, masih setengah takut dan jijik menyentuh kadaver meski sudah mengenakan sarung tangan lateks.


praktikum anatomi
 
"Kalian anggap kadaver dan potongan-potongan tubuh manusia ini barang mainan? Tangan ini," beliau dengan hati-hati mengangkat sebuah potongan organ yang sudah berwarna coklat kehitaman karena sudah lama diawetkan, "dulu milik tubuh seseorang."

"Kadaver ini," beliau menyentuh lengan kadaver yang terbaring di meja praktikum, "dulu adalah manusia bernyawa, sama seperti kalian hari ini! Kalian dan kadaver ini sama-sama makhluk Tuhan, yang berbeda hanyalah, kadaver ini sudah mati sedangkan kalian masih diberi nyawa, diberi kesempatan hidup oleh Gusti Allah."

Hening. Kata-kata beliau menggedor-gedor hati kami.

"Kadaver-kadaver ini adalah guru-guru kalian. Kalau tidak ada mereka, kalian mau belajar anatomi pakai apa? Patung lilin? Jadi, tolong perlakukan guru-guru kalian ini dengan respek dan penuh penghargaan, jangan kasar, jangan dijadikan bahan lelucon. Doakan agar arwah mereka tenang di sisi Tuhan."

Siapa saja bisa menjelma menjadi guru dalam kehidupan kita, asal kita jeli melihatnya. Termasuk kadaver-kadaver yang saya pelajari waktu itu. Meski bisu dan tak mampu lagi berkata-kata, mereka mengajarkan pada saya bahwa manusia, serupawan apapun, sesukses apapun, tetaplah makhluk mortal. Tak layak kita sombong atau berlagu bagai tak butuh Tuhan, karena pada akhirnya nanti kematian akan datang, dan kita akan menjadi makhluk tak bernyawa seperti mereka.

~end~