Dear Ayah,
Bagaimana kabar Ayah di sana? Kuharap Tuhan menjaga Ayah dengan baik. Sejak hari ini dan seterusnya, Ibu dan aku tak bisa lagi bertemu Ayah. Ibu menangis terus. Aku juga sedih, makanya kutulis surat ini agar sedihku berkurang sedikit.
Kusimpan foto Ayah di bawah bantalku supaya bisa kulihat kapanpun aku rindu. Foto Ayah waktu masih bugar, belum menyusut karena AIDS. Ayah tak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa Ayah telah terinfeksi HIV, terutama dariku; satu-satunya putra Ayah.
“Infeksi itu adalah teguran dari Tuhan untuk Ayah,” begitu selalu jawab Ayah, jika aku bertanya mengapa Tuhan tega membiarkan Ayah sakit.
Di masa muda, Ayah pernah menjadi pecandu narkoba. Dengan berbagi alat suntik bersama teman-teman segengnya, Ayah menyuntikkan obat-obat terlarang ke tubuhnya. Dari situlah HIV menemukan celah masuk ke tubuh Ayah, berkembang biak diam-diam, kemudian merusak kekebalan tubuh Ayah menjadi selemah-lemahnya.
pengguna narkoba suntik |
Lalu Ayah mengenal Ibu, sosok yang memberi kekuatan pada Ayah untuk bangkit. Berubah. Ayah ikut program rehabilitasi. Ayah pergi sejauh mungkin dari teman-teman geng. Ayah giat bekerja serabutan apa saja untuk mencari nafkah. Ayah menangis dalam sujud pertaubatan tiap malam.
Saat dokter di tempat Ayah menjalani rehabilitasi menganjurkan Ayah untuk dites HIV, Ayah bingung.
“HIV? AIDS? ODHA? Apa itu, Dok?” Semua terdengar asing di telinga Ayah. Dokter menjelaskan beberapa hal, juga menyisipkan brosur ke tangan Ayah untuk dibaca. Ayah mulai mengerti, bahwa Ayah termasuk kelompok beresiko tinggi terinfeksi HIV. Ayah datang lagi pada dokter untuk dites.
Sehari sesudahnya, Ayah mendapat dua berita. Berita bahagia: Ibu positif hamil empat bulan. Berita sedih: Ayah positif terinfeksi HIV.
Ayah menyampaikannya pada famili dan beberapa sahabat, sekedar berharap mendapat dukungan semangat atau doa. Tapi mereka justru mengucilkan Ayah. Menyebut infeksi itu penyakit kutukan. Membiarkan Ayah bergulat sendiri dengan penyakit yang namanya saja baru dikenalnya. Mencibir. Berkata itulah hukuman yang pantas untuk masa lalu Ayah.
Syukurlah ada Ibu, ya, Yah? Ibu rajin mencari tahu info tentang HIV-AIDS darimana saja: koran bekas pembungkus cabai, brosur, radio sampai televisi. Makanya Ibu tahu dirinya tak akan tertular cuma gara-gara bersentuhan, berpelukan, makan dan minum dengan alat yang sama, atau tinggal bersama Ayah. Ibu tetap tegak di sisi Ayah, menggandeng tangan Ayah, ikut pontang-panting mengumpulkan uang agar Ayah bisa minum ARV rutin, juga membantu Ayah berjuang mendapatkan bantuan pengobatan ARV gratis dari organisasi internasional.
Ayah dan Ibu juga terus mencoba menjalin silaturahmi dengan keluarga, sambil menyelipkan obrolan seputar pengetahuan HIV/AIDS. Syukurlah lambat laun mereka mulai menerima Ayah lagi. Tapi masih ada satu kekhawatiran Ayah:
“Ayah takut mati. Tapi lebih takut lagi kalau kalian sampai mati karena tertular penyakit Ayah.”
Setelah aku lahir, Ibu dan aku dites HIV. Hasilnya negatif lho, Yah! Mendengar itu, Ayah tak henti bersyukur. Ayah tertawa sambil menangis saking leganya ya, Yah?
“Keadaan Ayah bisa memburuk kapan saja. Ayah bisa pergi kapan saja. Tapi sebelum itu, Ayah mau sisa umur Ayah berguna. Ayah ingin kamu bangga sama Ayah!” kata Ibu, Ayah pernah ngomong begitu padaku yang waktu itu masih bayi.
Sejak itu Ayah bergabung dengan organisasi pendampingan ODHA. Ayah mendampingi beberapa ODHA, mengingatkan mereka supaya terus minum ARV, menyemangati mereka. Ayah diundang untuk berbagi pengalaman dengan remaja. Masa lalu Ayah bukan pengalaman yang membanggakan, tapi Ayah membaginya sebagai peringatan, agar tak ada lagi remaja yang berbuat sebodoh Ayah dulu.
Benar juga ya, Yah? Sebagai ODHA pun manusia masih bisa berkarya, bermanfaat buat orang lain!
Setelah bertahun hidup bersama HIV, sepertinya tubuh Ayah mulai lelah. Ayah sakit-sakitan. Virus itu berhasil menggerogoti kekebalan tubuh Ayah. Infeksi oportunistik bermunculan sebagai akibatnya. Wajah Ayah makin tirus. Bahu kekar Ayah, tempat duduk kesukaanku saat masih kecil, berubah jadi tonjolan tulang-tulang berbalut kulit. Dan hari ini Ayah menutup mata untuk selamanya.
Bagiku, Ayah bukan manusia terkutuk atau pecundang. Ayah adalah manusia biasa yang pernah salah jalan, lalu bertaubat dan sungguh-sungguh berusaha menebus kesalahan. Ayah adalah pejuang hidup yang kalah terhormat.
Jika kelak orang-orang bertanya siapa Ayahku, akan kuceritakan perjalanan hidup Ayah. Akan kukatakan pada mereka, “Ayahku ODHA, dan aku bangga padanya.”
Ayah, sudah dulu ya. Aku mau temani Ibu dulu biar tidak menangis terus. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku akan berusaha kuat, seperti Ayah. Aku ingin Ayah bangga padaku.
Tertanda,
Putra
bisa saja ada cerita seperti ini di luar sana :)
BalasHapusnice post kawan :)
Wah benar-benar surat yang menggetarkan, jadi teringat film The Majestic-Jim Carrey (2001) dimana di Ending Cerita Jim Carrey(Sebagai orang yg disangka Luke Trimble, salah satu patriot yg meninggal dlm World War II, karena mirip) membaca surat Luke yang ditujukan untuk Adelle kekasihnya, sebuah surat yang sangat menyentuh, namun tentu dalam artikel ini beda topik, bahkan lebih menyentuh karena surat anak kepada ayahnya yg terkena AIDS. Jika artikel Mba Ruri ini dijadikan sebuah film Indonesia pastilah hasilnya sangat2 menarik. Surat yang sangat menyentuh,seandainya surat ini True Story pastilah sudah bercucuran air mata kita..he.he..
BalasHapusSaya baca sekilas-kilas aja mba, tapi kayaknya aku udah dapet pointnya tadi..hehe..Nanti saya baca ulang lagi...
Trims artikel ini, cukup memukau
Wassalam
Saya nggak jadi nulis tentang ODHA, krena kurang pengalaman
BalasHapussalam
@Ca Ya : Iya,mungkin saja :) sebelum mulai menulis post Ayahku ODHA dan Aku Bangga Padanya, saya kepikiran bahwa ketika seseorang terdiagnosis HIV positif atau AIDS, itu pasti berat tdk hanya bagi orang tsb tp juga bagi orang-orang yang mencintainya
BalasHapus@Alkindi Siregar : Salam kenal, Bang. Wah.. saya blm nonton The Majestic. jadi pingin hunting dvd-nya. siapa tau abis nonton dpt inspirasi bikin skenario berdasarkan post ini. hehehe ^__^
BalasHapus@Taman Bacaan : Minta Mbah Gugel menceritakan pengalaman2nya, Kak.. Saya pun begitu :)
BalasHapusya, apapun keadaan ayah, mereka tetep is the best. odha juga ada loh yang berrestasi.
BalasHapus@rusydi hikmawan : sepakat.. bahkan banyak ODHA yang semangat hidup dan kiprahnya utk masyarakat lebih membara dari kita-kita yang bukan ODHA. salut!
BalasHapus