Masih ingat media sosial apa saja yang pernah booming di Indonesia? Ada Friendster dan Plurk. Ada juga Facebook dan Twitter yang masih berjaya sampai saat ini. Yang bisa dibilang paling baru adalah Path dan Instagram. Dan besok bukan tak mungkin akan bermunculan lagi media sosial ngetren lainnya.
Yang saya lihat, sejak media sosial booming di mana-mana, dunia tak lagi punya batas. Foto dan status yang kita unggah bisa dilihat oleh seluruh dunia dalam waktu singkat. Apapun yang sedang kita alami atau pikirkan, kita bisa langsung membaginya ke khalayak lewat media sosial.
Di sisi lain, kebebasan ini bisa kebablasan juga. Hal pribadi yang seharusnya bukan konsumsi khalayak, malah diumbar di media sosial. Misalnya, pertengkaran suami-istri. Haduh... masalah rumah tangga yang mestinya dibahas berdua di rumah, cekcok yang sepantasnya diselesaikan di rumah, malah dijadikan konsumsi umum berupa saling memaki di Facebook dengan orang-orang sejagat maya sebagai penontonnya.
Kebablasan lainnya adalah, tidak adanya sensor yang bisa memfilter status yang kita unggah, kecuali kita sendiri. Masih ingat dong sama kasus heboh Dinda yang mengunggah status di Path? Dia menulis status tentang kebenciannya pada para ibu hamil yang menurutnya memanfaatkan kondisi hamil untuk memperoleh belas kasihan berupa tempat duduk di kereta commuter line. Status tersebut dibalas dengan hujatan oleh para warga dunia maya.
Baru-baru ini, ada Florence Sihombing yang dikecam para netizen gara-gara mengunggah status yang menghina Jogjakarta. Dalam akun Path-nya, Florence menyebut Jogja beserta warganya "miskin, tolol dan tak berbudaya". Pernyataan ini dibuatnya karena kesal tidak dibolehkan menyerobot antrean di sebuah SPBU di Lempuyangan, Jogja.
Kita boleh-boleh saja merasa bahwa, "Ini kan akun gue, suka-suka gue dong mau ngomong apa."
Tapi jangan pernah lupa: media sosial bukan diary. Apapun yang kita unggah ke internet, bisa tersebar ke seluruh dunia. Yaa jadi siap-siap saja menerima tanggapan pro dan kontra dari siapapun yang melihat postingan kita. Mulai dari tanggapan yang sopan, sampai yang kasar.
Kita juga boleh saja bilang, "Ini kan akun gue, suka-suka gue dong mau berkomentar kasar untuk ngasih pelajaran ke orang-orang semacam Dinda atau Florence."
Tapi kalau begitu, lantas apa bedanya dong kita dengan orang-orang semacam Dinda dan Flo yang pernyataannya kita komentari itu?
Kalau pepatah jaman dulu bilang, "Mulutmu harimaumu", maka di era socmed ini berubah menjadi "Statusmu harimaumu". Alangkah baiknya sebelum kita bicara atau berkomentar di media sosial, kita berpikir dua kali.
If you don't have anything good to say, it's better not to say anything!
Seharusnya diary itu ditulis di buku, terus di gembok. Bukan malah di medsos. Bener tuh, medsos tidak sama dgn diary.
BalasHapusYup, ada hal2 yg sebaiknya ngga di-share untuk rame2. Btw saya beneran punya diary yg ada gemboknya lho.. haha
Hapuspintar-pimtar pakai socmed deh, siap punya socmed juga siap distalk :D
BalasHapussetuju mbak, makanya data yg sifatnya detil seperti alamat, pin BB atau nomor telepon pribadilebih baik ngga dicantumkan di socmed ya.. *let's be smart user*
Hapus