Sosok Guru |
Apa yang melesat masuk ke dalam benak kita saat mendengar kata "guru"? Sosok yang tampak pintar seperti gambar di atas? Sosok yang berdiri di depan kelas, menjelaskan slide demi slide powerpoint materi sekolah atau kuliah yang terpampang di layar? Sosok sumber ilmu yang selalu tahu lebih banyak dari muridnya?
Dulu, itulah yang saya pikirkan tentang guru. Sampai seseorang mengubah persepsi saya tentang guru, menjadi lebih luas lagi. Orang itu adalah guru saya juga sewaktu saya masih kuliah. Beliau, pada suatu praktikum anatomi, menyatakan prihatin pada cara kami memperlakukan kadaver--mayat awetan yang digunakan para mahasiswa kedokteran untuk mempelajari struktur dan organ-organ tubuh manusia. Beliau menganggap kami kurang hormat dalam memperlakukan kadaver-kadaver itu.
Beliau rupanya memergoki beberapa mahasiswa yang memegang potongan organ awetan tidak dengan hati-hati sehingga berpotensi membuat potongan organ itu cepat rusak. Ada pula beberapa mahasiswa yang malah cekikikan dan bercanda mengomentari bentuk tubuh kadaver yang dihadapinya. Saya sendiri, yang baru semester itu dapat mata kuliah anatomi, masih setengah takut dan jijik menyentuh kadaver meski sudah mengenakan sarung tangan lateks.
praktikum anatomi |
"Kalian anggap kadaver dan potongan-potongan tubuh manusia ini barang mainan? Tangan ini," beliau dengan hati-hati mengangkat sebuah potongan organ yang sudah berwarna coklat kehitaman karena sudah lama diawetkan, "dulu milik tubuh seseorang."
"Kadaver ini," beliau menyentuh lengan kadaver yang terbaring di meja praktikum, "dulu adalah manusia bernyawa, sama seperti kalian hari ini! Kalian dan kadaver ini sama-sama makhluk Tuhan, yang berbeda hanyalah, kadaver ini sudah mati sedangkan kalian masih diberi nyawa, diberi kesempatan hidup oleh Gusti Allah."
Hening. Kata-kata beliau menggedor-gedor hati kami.
"Kadaver-kadaver ini adalah guru-guru kalian. Kalau tidak ada mereka, kalian mau belajar anatomi pakai apa? Patung lilin? Jadi, tolong perlakukan guru-guru kalian ini dengan respek dan penuh penghargaan, jangan kasar, jangan dijadikan bahan lelucon. Doakan agar arwah mereka tenang di sisi Tuhan."
Siapa saja bisa menjelma menjadi guru dalam kehidupan kita, asal kita jeli melihatnya. Termasuk kadaver-kadaver yang saya pelajari waktu itu. Meski bisu dan tak mampu lagi berkata-kata, mereka mengajarkan pada saya bahwa manusia, serupawan apapun, sesukses apapun, tetaplah makhluk mortal. Tak layak kita sombong atau berlagu bagai tak butuh Tuhan, karena pada akhirnya nanti kematian akan datang, dan kita akan menjadi makhluk tak bernyawa seperti mereka.
~end~
Guru tetaplah yang terbaik
BalasHapusdi gugu lan di tiru ( istilah jawa )
gimanapun keadaannya.
guru tetaplah pahlawan bagi kita semua.
untuk artikelnya
nice,