"Saya masih nggak habis pikir, Mbak, kok bisa terinfeksi. Saya ini anak baik-baik yang hanya terjerumus sekali. Cuma sekali itu saja."
Ivan, bukan nama sebenarnya, adalah ODHA pelajar kelas 2 SMU. Usianya belum genap delapanbelas tahun. Masa depannya boleh jadi masih panjang dan cerah jika saja ia sehat, tidak tergolek di ranjang rumah sakit karena AIDS. Sebelum terinfeksi, Ivan tak tahu tentang HIV/AIDS kecuali bahwa penyakit itu hanya menimpa orang-orang yang akrab dengan narkoba atau free sex.
Beberapa tahun lalu saat Ivan masih pelajar SMP, ia dan kawannya berkenalan dengan seorang gadis di tempat mereka nongkrong. Gadis yang juga pelajar SMP itu ternyata pekerja seks komersial 'freelance'. Maksudnya, ia hanya sesekali menjalani profesinya, saat butuh uang. Perkenalan berujung pada transaksi seks. Waktu itu, Ivan spontan saja mengikuti ajakan teman.
Beberapa tahun lalu saat Ivan masih pelajar SMP, ia dan kawannya berkenalan dengan seorang gadis di tempat mereka nongkrong. Gadis yang juga pelajar SMP itu ternyata pekerja seks komersial 'freelance'. Maksudnya, ia hanya sesekali menjalani profesinya, saat butuh uang. Perkenalan berujung pada transaksi seks. Waktu itu, Ivan spontan saja mengikuti ajakan teman.
"Deg-degan, Mbak, tapi penasaran ingin coba." Itu kali pertama Ivan berhubungan seks dengan lawan jenis.
Setelah itu, hari-hari berlalu seperti biasa. Menginjak kelas 2 SMU, Ivan mengalami demam hilang timbul selama berbulan-bulan disertai batuk-batuk, juga diare sesekali. Sudah beberapa kali Ivan diantar orangtuanya berobat, tapi tidak ada kemajuan berarti.
Suatu ketika, dokter menemukan ciri-ciri yang tak biasa pada fisik Ivan dan beberapa hasil pemeriksaan penunjang. Dengan hati-hati, dokter bertanya apakah Ivan pernah melakukan aktifitas beresiko infeksi HIV. Pernah dapat transfusi darah? Pernah ditato? Pernah pakai narkoba? Pernah berhubungan seks?
Ivan teringat seks coba-coba yang pernah dilakukannya. Ivan mengakuinya dengan jujur. Orangtua Ivan sempat kaget dan marah, tapi bisa mengendalikan emosi. Atas saran dokter, Ivan menjalani tes anti HIV. Ivan setuju. Hati kecilnya berharap bukan virus itu yang menyerang tubuhnya.
"Nggak mungkin ah.. Masa sih baru sekali berhubungan seks langsung kena?" pikirnya.
Harapan itu pupus. Hasil tes menyebutkan Ivan positif terinfeksi HIV. Ivan makin stres setelah tahu obat-obat ARV yang diminumnya tidak bisa membasmi tuntas virus, hanya menekan laju pertumbuhannya agar tidak menggerogoti sisa-sisa kekebalan tubuh. Mungkin rasa tertekan itu pula yang membuat kondisi fisiknya terus menurun. Saat mulai dirawat di rumah sakit, di tubuhnya telah bersarang radang otak toksoplasmosis dan tuberkulosis paru. Ini beberapa infeksi oportunistik yang lazim terjadi pada ODHA. Dari hari ke hari, kondisi Ivan terus menurun. Ivan menghembuskan napas terakhir beberapa minggu setelahnya.
Jika saja Ivan, teman SMP-nya, dan gadis itu sudah tahu tentang HIV/AIDS sebelumnya, mungkin akan lain ceritanya. Tapi kisah Ivan bukan untuk disesali saja. Ada hikmah yang harus diambil. Ada tindakan yang harus diperbuat, agar tak semakin banyak Ivan-Ivan dan PSK-PSK remaja lain.
Tingkat pengetahuan HIV/AIDS di kalangan remaja usia 15-24 tahun baru mencapai 11,4 persen. Sangat rendah, mengingat salah satu kelompok usia dengan frekuensi HIV/AIDS tertinggi adalah usia remaja. Lalu sebaiknya bagaimana dan lewat media apa pengenalan HIV/AIDS massal untuk remaja dilakukan? Pengenalan ini, menurut saya, tak cukup dengan penyuluhan searah yang membosankan ataupun ancaman dosa-neraka yang menyuruh mereka menjauhi seks bebas dan narkoba. Remaja adalah kalangan unik yang perlu pendekatan tersendiri. Mereka ingin dihargai pendapatnya oleh orang dewasa, ingin diajak berdiskusi bukan ditakut-takuti, ingin didekati sebagai teman bukan obyek.
Menurut saya, edukasi HIV/AIDS massal akan efektif dilakukan lewat berbagai event remaja seperti konser musik, lomba menulis esai, atau pameran komik misalnya. Penyampaian materi bisa disampaikan dengan menarik dan interaktif, contohnya disertai kuis berhadiah. Media cetak dan digital pun sangat layak dijadikan media pengenalan HIV/AIDS secara massal pada remaja. Sayang sekali majalah remaja cetak dan online umumnya dijejali artikel seputar kiprah selebriti, film, fashion dan gadget terbaru yang notabene mendukung konsumerisme. Begitu juga dengan novel, sinetron atau film remaja di televisi, lebih menonjolkan tema cinta-cintaan dan sangat jarang menyentuh topik HIV/AIDS, atau paling tidak menyelipkan edukasi tentangnya dalam alur cerita.
Manfaat pengenalan HIV/AIDS pada remaja sangat banyak. Pertama, mereka tahu apa itu HIV/AIDS dan cara-cara penularannya. Ya, tanpa mengenal HIV/AIDS, mana mungkin mewaspadai dan menghindari perilaku beresiko? Kedua, remaja menjadi tahu bahwa mereka tidak perlu mengasingkan teman atau keluarganya yang ODHA karena takut tertular melalui berjabat tangan, berpelukan, digigit nyamuk, bersentuhan, berenang bersama, tinggal serumah dengan ODHA, menggunakan toilet yang sama, atau menggunakan alat makan dan minum yang sama.
Ketiga, remaja yang terlanjur terinfeksi akan memperoleh suntikan semangat baru untuk terus mengikuti terapi ARV dan menjalani hidup sebaik-baiknya; ODHA bisa beraktifitas maksimal meraih prestasi layaknya mereka yang bukan ODHA! Keempat, remaja yang sudah memahami HIV/AIDS dapat menjadi duta kampanye pengenalan HIV/AIDS, minimal bagi keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Makin banyak remaja yang melek HIV/AIDS, makin besar peluang untuk mencegah meluasnya HIV/AIDS!
Jakarta - DKI Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)