Judul : Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran
Penulis : Mark Haddon
Penerbit`: Kepustakaan Gramedia Populer
Penerbit`: Kepustakaan Gramedia Populer
Tebal : 325 halaman
ISBN : 9789799104779
Sebetulnya, saya sudah membaca Insiden
Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran sampai tamat. Waktu itu
saya masih kuliah, dan meminjam buku ini dari seorang teman. Bertahun-tahun
sesudahnya, tanpa sengaja saya melihat buku ini lagi di bagian bawah rak sebuah toko
buku. Saya putuskan membelinya.
Why bother buying book that you’ve read before?
Oke. Saya tanya yaa... Ada ngga buku-buku yang tak akan
cukup dibaca sekali saja? Ada ngga buku-buku yang ingin kamu miliki supaya bisa dibaca
lagi dan lagi kapanpun (entah dibaca dari awal sampai akhir atau hanya
di bagian-bagian cerita favoritmu)?
Kalau saya, ada. Salah satunya ya buku karya Mark Haddon ini.
Sempat dibawa ke kantor polisi
karena dikira sebagai pelakunya, Christopher akhirnya dibebaskan karena tidak ada cukup bukti, dan pulang bersama ayahnya.
Christopher bertekad untuk mengusut peristiwa ini dan mencari tahu siapa yang membunuh
Wellington, anjing itu.
Christopher membuat peta rumah-rumah yang ada di sekitar kediaman Nyonya
Shears, dan mulai mencari jejak dengan mendatangi dan menanyai para tetangga itu
satu-persatu. Siobhan, guru Christopher, meminta dirinya untuk menulis buku tentang kasus kematian Wellington. Buku IATMBP inilah yang ditulis Christopher sedikit demi sedikit dan selalu diserahkan pada Siobhan untuk dibaca dan dikomentari.
Misteri pembunuhan seekor anjing. Terdengar tidak seksi bagi kita, para pembaca. Apa serunya? Tapi ketika
diceritakan oleh Mark Haddon dari sudut pandang tokoh seunik Christopher Boone, ternyata bikin penasaran euy. Persis judulnya.
Christopher Boone adalah seorang
remaja 15 tahun penyandang sindroma Asperger, sejenis autisme. Penyandang sindroma Asperger umumnya memiliki kecerdasan yang sangat
menonjol. Mereka menyukai keteraturan dan pola, serta punya daya ingat yang luar biasa, bahkan terhadap detil-detil remeh seperti noda kecil bekas lumpur di celana seseorang. Tapi mereka cenderung sulit
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, bahkan dengan
keluarga mereka sendiri.
Christopher, misalnya, gelisah
dan benci dipeluk meski oleh ayah atau ibunya sendiri. Untuk menyatakan rasa
sayang, dia punya cara lain.
‘Ayah berdiri di lorong. Ia mengangkat tangan kanan dan merentangkan
jari seperti kipas. Aku mengangkat tangan kiri dan merentangkan jari seperti
kipas, lalu kami saling menyentuhkan jempol dan jari-jemari lainnya. Ini kami
lakukan karena Ayah kadang-kadang ingin memelukku, tapi aku tidak suka
berpelukan, jadi inilah yang kami lakukan, dan itu berarti Ayah sayang padaku.’
Christopher tidak suka suasana gaduh
atau terlalu banyak orang, makanya dia benci tempat umum seperti
pusat perbelanjaan dan stasiun. Christopher juga tidak suka berada di tempat yang
asing. Dunia yang aman baginya adalah sekolah dan lingkungan rumahnya di Swindon, kota kecil di Inggris. Di luar
itu, ada terlalu banyak hal tak dikenal, yang bakal bikin dia gelisah.
‘Berada di suatu tempat yang baru sangat melelahkan bagiku. Karena
memperhatikan segala sesuatu, aku menjadi seperti komputer yang mengerjakan
terlalu banyak hal sekaligus dan CPU-nya menjadi macet dan tidak ada ruang lagi untuk
memikirkan hal-hal lain.. aku harus memejamkan mata dan mengerang-erang, dan
ini seperti menekan tombol CTRL+ALT+DEL.’
Christopher sangat tertarik pada puzzle,
mesin dan matematika. Menurutnya, ketiga hal itu—meski dipandang rumit oleh
banyak orang—memiliki pola sederhana yang mudah dipahami. Christopher menyukai bilangan prima, dan dengan detil memberi diagram dan menjelaskan cara mencari bilangan
prima, yang ternyata simpel banget! Boleh dibilang saya bengong dan kagum di bagian ini. Coba dulu Christopher jadi temen sebangku saya di SD ya... *ngelantur*
Karena gandrung pada bilangan prima, Christopher menomori bab-bab buku misteri yang ditulisnya sesuai urutan bilangan prima 2, 3, 7 dan seterusnya, bukan bilangan kardinal 1, 2, 3, dst. Hahaha, dulu saya sempat sotoy mengira penerbitnya yang salah taruh urutan bab atau salah cetak nomor... :))) Dalam bab-bab selanjutnya, saya bengong dan kagum lagi tiap kali Christopher membahas topik-topik matematika.
Misalnya, ketika dia membahas
kuis televisi yang menyuruh peserta memilih satu dari tiga pintu di depannya. Di
belakang satu pintu ada mobil, dan di belakang dua pintu lainnya ada kambing. Si
peserta memilih pintu A yang tidak dibuka, dan pembawa acara membuka pintu C, memperlihatkan
kambing di baliknya. Si pembawa acara bertanya sekali lagi pada si peserta, apa
dia sudah yakin ingin memilih pintu A, atau ingin berubah pikiran dan memilih
pintu B.
Christopher membahas apa yang
harusnya dilakukan oleh si peserta. Bahwa ternyata, dengan bagan dan rumus menghitung
peluang yang dipaparkannya dengan rinci di buku ini, berubah pikiran dan
memilih pintu B memberi peluang lebih besar untuk menang.
Sounds boring?
Ya, awalnya, saya juga agak bosan
dengan gaya bercerita tokoh Christopher yang kaku, datar, tanpa emosi, sering
melompat-lompat bahan pembicaraan, serta pilihan-pilihan kalimatnya serba
teratur berpola S-P-O-K.
‘Setelah kami masuk aku langsung ke dapur dan mengambil wortel untuk
Toby dan aku ke lantai atas dan aku menutup pintu kamarku dan aku mengeluarkan
Toby dari kandang dan memberi wortel itu kepadanya. Lalu aku menyalakan
komputer dan bermain Minesweeper sebanyak 76 kali dan aku menyelesaikan versi
mahirnya dalam waktu 102 detik, yang hanya berselisih 3 detik dari waktu
terbaikku yaitu 99 detik.’
Yap. Masih ada banyak kalimat
seperti itu di halaman-halaman lainnya. Tapi lama-lama saya ingat, “Oiya, ini
kan Christopher, dengan sindroma Asperger-nya, yang sedang bercerita!” Menurut saya,
kalimat-kalimat serba simpel yang sepintas membosankan itu bukan karena Mark
Haddon tidak bisa memilih diksi yang lebih ciamik. Tapi justru karena Haddon
betul-betul ingin menunjukkan dan mengajak pembaca untuk berempati. Sindroma Asperger itu kayak gini lho. Orang-orang seperti Christopher bukanlah
orang-orang yang cacat, atau orang-orang yang perlu diberi iba. Mereka hanya
berbeda, unik, dan mesti dipahami, diterima dengan semua kekurangan dan
kelebihannya.
Meski disajikan datar dan minim
emosi, melalui mata dan pikiran Christopher saya bisa merasakan konflik dalam
keluarganya. Seperti orangtua lainnya di dunia, kedua orangtua Christopher sangat mencintai putra mereka, meski cinta itu tidak sempurna.
Ibunya sering putus asa dan naik
darah menghadapi putranya yang autistik. Ayahnya tampak lebih tenang tapi sama
bingung dan putus asanya dengan sang ibu. Keduanya sering bertengkar mengenai
kondisi Christopher, dan hubungan mereka merenggang.
Semakin jauh membaca, saya jadi lupa
bahwa buku ini awalnya membosankan. Penyelidikan Christopher pelan-pelan
membawa dia, tak hanya pada misteri terbunuhnya seekor anjing, tapi
juga pada misteri keluarganya sendiri.
Misteri kematian ibunya. Misteri 44
pucuk surat dari sang ibu untuk Christopher, yang disembunyikan ayahnya sebelum
sampai ke tangan putranya itu. Misteri perselisihan Tuan dan Nyonya
Shears, serta ayah dan ibu Christopher, yang dilingkupi kebohongan dan perselingkuhan.
Untuk mencari jawaban semua itu, Christopher--yang tak pernah pergi seorang diri lebih jauh dari toko di ujung jalan rumahnya, yang benci tempat asing dan hiruk pikuknya lautan manusia, memutuskan kabur dari rumah, pergi ke stasiun dan naik kereta api ke London. Sendirian!
I'm giving my thumb up for both of them. Christopher Boone yang berani, dan Mark Haddon yang menciptakannya.
*
#pura pura gak baca
BalasHapustakut keracunan
kaboooor
hahaha..Ayu udah selesai belum baca buku2 yg sebelumnya? Enjoy reading yaa ;D
Hapusini buku favoritku. sudah membaca sejak covernya masih shocking pink merona dan minim dekorasi, hihihi :) love it!!
BalasHapusiya Indi,waktu pertama kali baca dulu covernya lebih polos. walau cover baru juga tetep nge-jreng sih.. :D
HapusWah saya belum baca nih bukunya :D
BalasHapusbukunya menarik nih, Fandhy :)
Hapus