Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Minggu, 13 Januari 2013

Kenalan, Yuk!



“Kenalan, Yuk!”
Sosok lelaki renta yang sejak tadi kuperhatikan diam-diam, mendadak bicara padaku dari kursi rodanya. Sudut-sudut bibirnya meruncing jadi senyum, dan seketika itu pula kerut-merut yang bersilangan muncul di wajahnya. Wajah itu dibingkai rambut tipis keperakan.

Aku balas tersenyum.

“Boleh... Namaku Tiara,” kataku ceria sambil mengulurkan tangan, “nama Kakek siapa?”

“Nama Kakek... Humm, siapa ya?” Rautnya sedikit bingung, mencoba mengingat-ingat. Tangannya, yang kini berjabatan dengan tanganku, tergantung gamang.

Aku melirik novel Pride and Prejudice yang tergeletak di pangkuannya, lalu berkata, “Kelihatannya itu buku bagus. Milik siapa itu, Kek?”

Lelaki itu menyentuh bukunya, membuka halamannya dan menemukan sebuah tulisan tangan rapi terukir di sana.

“Hmmm,” Lelaki itu memicingkan matanya, “Bah-ti-ar. Ohya, betul. Betul. Bahtiar. Itulah nama Kakek. Dan, ya, ini buku kesukaan Kakek. Buku terbaik sepanjang masa.” Kakek Bahtiar tergelak, seolah menertawakan dirinya sendiri yang kikuk.

“Buku terbaik? Memang isinya tentang apa sih, Kek?” tanyaku, mulai berminat.

Kakek Bahtiar menepuk-nepuk buku itu penuh sayang, lalu mulai bercerita tentang tokoh-tokoh di dalamnya, yang hidup di masa lampau di Inggris. Tentang Nyonya Bennet yang punya lima anak perempuan dan pusing tujuh keliling memikirkan cara agar mereka bisa mendapatkan suami kaya. Tentang Elizabeth Bennet, yang terlalu cerdas untuk zaman di mana seorang perempuan baru disebut terampil jika dia pintar bersolek, bermain piano, dan menyulam; zaman di mana karier tertinggi seorang perempuan adalah menjadi istri dari lelaki kaya yang bergelar bangsawan.

Kakek Bahtiar begitu lihai mengisahkan semuanya sehingga aku seolah-olah bisa melihat tokoh-tokoh itu berlompatan keluar dari dalam buku dan beraksi di hadapanku; Elizabeth yang judes pada Tuan Darcy saat mereka belum lama saling kenal, Lidya yang super centil dan Tuan Wickham yang bermulut manis namun ternyata pembohong besar.

Kata-kata lelaki itu mulai tersendat. Napasnya tampak berat.

“Kakek baik-baik saja? Kakek terlalu bersemangat sih...” kataku kuatir, membenahi letak selang oksigen yang melintang di bawah hidungnya.

Lelaki tua itu menggeleng, mengangkat kedua tangannya; memberi isyarat bahwa tak ada yang perlu dicemaskan. Tak lama setelah itu, napasnya normal kembali, dan ia terkekeh.

“Jantung Kakek ini mulai ringsek.. Maklumlah, barang antik. Kamu tahu, Nak... Siapa namamu tadi? Dira ya?”

“Tiara, Kek...”

“Iya. Kamu tahu Tiara? Kakek punya cucu perempuan lho. Dia seumuran denganmu. Namanya... Namanya... Aduh, siapa ya nama cucu Kakek yang cantik itu?”

Aku menatap sabar lelaki itu, yang kini dahinya berkerut-kerut banyak sekali, berusaha mengingat. Bibirnya komat-kamit menyebut beberapa nama yang mungkin adalah nama cucunya itu.

“Akhir-akhir ini Kakek sering melupakan banyak hal, Tiara,” katanya, akhirnya meminta maaf. “Sesekali, saat ingatan Kakek muncul, semuanya terasa jelas dan nyata. Kakek ingat nama-nama, tempat-tempat, kejadian-kejadian, sampai ke detil terkecil. Tapi, ingatan itu lebih sering menyembunyikan diri, jauh di sudut otak Kakek.”

Ia mengerjapkan matanya, lalu memandang kolam ikan di depan kami. Aku masih asyik menyimak celotehnya.

“Tiap kali ingatan itu hilang, Kakek merasa takut..” bisiknya, seolah tak ingin ada orang lain yang mengetahui ketakutannya.

“Tidak apa-apa, Kek.. Lupa itu kan manusiawi. Boleh kutarik sedikit kursinya, Kek?” hiburku sambil menarik kursi rodanya, sedikit lebih dekat padaku, supaya perbincangan kami lebih nyaman.

Lelaki itu mengangguk-angguk, “Ya.. Manusia itu pelupa. Lupa itu biasa. Tapi tidakkah semua jadi menakutkan ketika kamu mendapati dirimu tiba-tiba berada di tempat asing? Kamu tak tahu siapa dirimu, mengapa kamu berada di sana, dan kebingungan mencari jalan pulang...”

Aku diam saja, sebab aku tak punya jawaban yang tepat untuknya.

Tiba-tiba, lelaki itu memandang berkeliling dengan asing.

“Di mana ini?” Dia menatapku panik, seolah tahanan yang diculik dengan mata tertutup kain dan mendapati dirinya berada di tempat tak dikenal.

“Di rumah, Kek.”

“Rumah?”

“Iya.”

“Kamu siapa,Nak? Sepertinya Kakek familiar dengan wajahmu...”   

Aku tersenyum lebar, walau sesuatu yang tajam baru saja menggores hatiku. “Lupa” memang manusiawi, namun “lupa” itu menyedihkan jika yang terlupakan adalah hal-hal terpenting dalam hidupmu. Tak ubahnya penyakit Alzheimer, yang merenggut nyaris semua memori Kakek Bahtiar dan hanya menyisakan kepingan-kepingan kecil, ingatan yang samar tentang almarhumah istrinya, anaknya, dan cucunya: aku.

“Kenalan, yuk!” Kuulurkan tanganku lagi, seperti tadi. Seperti kemarin lusa. Seperti hari-hari sebelumnya saat Kakek tidak mengingatku. “Namaku Tiara.”

Perlahan, tangan keriput yang gemetar itu menyambutku.

“Nama Kakek, Bahtiar. Kakek punya cucu perempuan sebaya kamu, Nak. Dia juga cantik seperti kamu.”

“Iya, Kek. Aku tahu.”

Pelan-pelan, kudorong kursi rodanya menjauhi taman, kembali ke kamar. Hari sudah senja. Saatnya kakek beristirahat. 

*

19 komentar:

  1. Nice story, Riri :)
    Gaya tulisannya juga keren. Suka :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih, mbak Ratih :) Saya Ruri, btw. Hehehe

      Hapus
  2. Balasan
    1. makasih, Bila, seneng bangettt dikunjungi :)))

      Hapus
  3. Lupa,terlupakan, bnyak hal mungkin yg ingin kita lupakan, namun ketika yg terlupa adalah yg takningin kita lupakan mka itu membuat sedih..

    Kisah kecil yg mengharukan...

    Salam kenal :)

    BalasHapus
  4. hehehe saya memvisualisasikan saat sang kakek berkata, "siapa tadi nama kamu, Adira ya?", sambil bayangin perusahaan kredit itu ^^v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah.. iya ya? Aku ganti deh, takut dikira iklan soalnya. Hehe.. ^.^

      Hapus
  5. "Elizabeth yang judes pada Tuan Darcy saat mereka belum lama saling kenal, Lidya yang super centil dan Tuan Wickham yang bermulut manis namun ternyata pembohong besar."
    cmiiw: kurang tanda koma

    "kataku kuatir"
    cmiiw: khawatir?

    "Lelaki itu mengangguk-angguk,"
    cmiiw: iya, memang si kakek laki-laki. detailnya lelaki berumur itu.

    keseluruhan:
    o.k, sip sip sip. sudah bagus di awalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you masukan-masukannya mas.. ^.^ *sungkem*

      Hapus
  6. Si kakek ingat betul cerita dalam buku itu tapi lupa nama cucunya.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alzheimer kira-kira gambarannya seperti itu, mbak Rin.. Yang lebih dulu terlupakan adalah memori jangka pendek (misalnya lupa kalau sudah makan, lupa mau ngapain dan ke mana) atau orang/kejadian yang ada belakangan. Kenangan yang udah jadul banget, misalnya potongan lirik lagu kesukaan (dalam cerita ini, novel kesukaan), malah bisa jadi masih diingat dengan jelas. Lama-lama penyakit ini makin progresif, dan semakin banyak hal-hal yang sulit diingat. :)

      Hapus
    2. Beberapa film tentang Alzheimer yang pernah saya tonton itu The Notebook sama Black (India). Ooh jadi yang diserang ingatan jangka pendek dulu ya?

      Hapus
    3. iya mbak. aku pernah nonton film Korea yang tokoh utamanya kena Alzheimer Disease, judulnya A Walk To Remember. Kalo The Notebook & Black malah aku belum tau..

      Hapus
  7. Bagusss. Tapi sedih :(

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)