Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Minggu, 30 Desember 2012

(Book Review) Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran




Judul      : Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran
Penulis   : Mark Haddon
Penerbit`: Kepustakaan Gramedia Populer
Tebal      : 325 halaman
ISBN       : 9789799104779

Sebetulnya, saya sudah membaca Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran sampai tamat. Waktu itu saya masih kuliah, dan meminjam buku ini dari seorang teman. Bertahun-tahun sesudahnya, tanpa sengaja saya melihat buku ini lagi di bagian bawah rak sebuah toko buku. Saya putuskan membelinya.


Why bother buying book that you’ve read before?


Oke. Saya tanya yaa... Ada ngga buku-buku yang tak akan cukup dibaca sekali saja? Ada ngga buku-buku yang ingin kamu miliki supaya bisa dibaca lagi dan lagi kapanpun (entah dibaca dari awal sampai akhir atau hanya di bagian-bagian cerita favoritmu)?


Kalau saya, ada. Salah satunya ya buku karya Mark Haddon ini.

Haddon memulai kisah dengan adegan Christopher Boone—si tokoh aku—menemukan mayat seekor anjing yang tertusuk garpu kebun di pekarangan rumah tetangganya, Nyonya Shears. 



Sempat dibawa ke kantor polisi karena dikira sebagai pelakunya, Christopher akhirnya dibebaskan karena tidak ada cukup bukti, dan pulang bersama ayahnya. Christopher bertekad untuk mengusut peristiwa ini dan mencari tahu siapa yang membunuh Wellington, anjing itu. 

Christopher membuat peta rumah-rumah yang ada di sekitar kediaman Nyonya Shears, dan mulai mencari jejak dengan mendatangi dan menanyai para tetangga itu satu-persatu. Siobhan, guru Christopher, meminta dirinya untuk menulis buku tentang kasus kematian Wellington. Buku IATMBP inilah yang ditulis Christopher sedikit demi sedikit dan selalu diserahkan pada Siobhan untuk dibaca dan dikomentari. 

Misteri pembunuhan seekor anjing. Terdengar tidak seksi bagi kita, para pembaca. Apa serunya? Tapi ketika diceritakan oleh Mark Haddon dari sudut pandang tokoh seunik Christopher Boone, ternyata bikin penasaran euy. Persis judulnya.

Christopher Boone adalah seorang remaja 15 tahun penyandang sindroma Asperger, sejenis autisme. Penyandang sindroma Asperger umumnya memiliki kecerdasan yang sangat menonjol. Mereka menyukai keteraturan dan pola, serta punya daya ingat yang luar biasa, bahkan terhadap detil-detil remeh seperti noda kecil bekas lumpur di celana seseorang. Tapi mereka cenderung sulit berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, bahkan dengan keluarga mereka sendiri.


Christopher, misalnya, gelisah dan benci dipeluk meski oleh ayah atau ibunya sendiri. Untuk menyatakan rasa sayang, dia punya cara lain.

‘Ayah berdiri di lorong. Ia mengangkat tangan kanan dan merentangkan jari seperti kipas. Aku mengangkat tangan kiri dan merentangkan jari seperti kipas, lalu kami saling menyentuhkan jempol dan jari-jemari lainnya. Ini kami lakukan karena Ayah kadang-kadang ingin memelukku, tapi aku tidak suka berpelukan, jadi inilah yang kami lakukan, dan itu berarti Ayah sayang padaku.’


Christopher tidak suka suasana gaduh atau terlalu banyak orang, makanya dia benci tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan stasiun. Christopher juga tidak suka berada di tempat yang asing. Dunia yang aman baginya adalah sekolah dan lingkungan rumahnya di Swindon, kota kecil di Inggris. Di luar itu, ada terlalu banyak hal tak dikenal, yang bakal bikin dia gelisah.


‘Berada di suatu tempat yang baru sangat melelahkan bagiku. Karena memperhatikan segala sesuatu, aku menjadi seperti komputer yang mengerjakan terlalu banyak hal sekaligus dan CPU-nya menjadi macet dan tidak ada ruang lagi untuk memikirkan hal-hal lain.. aku harus memejamkan mata dan mengerang-erang, dan ini seperti menekan tombol CTRL+ALT+DEL.’


Christopher sangat tertarik pada puzzle, mesin dan matematika. Menurutnya, ketiga hal itu—meski dipandang rumit oleh banyak orang—memiliki pola sederhana yang mudah dipahami. Christopher menyukai bilangan prima, dan dengan detil memberi diagram dan menjelaskan cara mencari bilangan prima, yang ternyata simpel banget! Boleh dibilang saya bengong dan kagum di bagian ini. Coba dulu Christopher jadi temen sebangku saya di SD ya... *ngelantur*

Karena gandrung pada bilangan prima, Christopher menomori bab-bab buku misteri yang ditulisnya sesuai urutan bilangan prima 2, 3, 7 dan seterusnya, bukan bilangan kardinal 1, 2, 3, dst. Hahaha, dulu saya sempat sotoy mengira penerbitnya yang salah taruh urutan bab atau salah cetak nomor... :))) Dalam bab-bab selanjutnya, saya bengong dan kagum lagi tiap kali Christopher membahas topik-topik matematika.

Misalnya, ketika dia membahas kuis televisi yang menyuruh peserta memilih satu dari tiga pintu di depannya. Di belakang satu pintu ada mobil, dan di belakang dua pintu lainnya ada kambing. Si peserta memilih pintu A yang tidak dibuka, dan pembawa acara membuka pintu C, memperlihatkan kambing di baliknya. Si pembawa acara bertanya sekali lagi pada si peserta, apa dia sudah yakin ingin memilih pintu A, atau ingin berubah pikiran dan memilih pintu B.

Christopher membahas apa yang harusnya dilakukan oleh si peserta. Bahwa ternyata, dengan bagan dan rumus menghitung peluang yang dipaparkannya dengan rinci di buku ini, berubah pikiran dan memilih pintu B memberi peluang lebih besar untuk menang.


Sounds boring?


Ya, awalnya, saya juga agak bosan dengan gaya bercerita tokoh Christopher yang kaku, datar, tanpa emosi, sering melompat-lompat bahan pembicaraan, serta pilihan-pilihan kalimatnya serba teratur berpola S-P-O-K.


‘Setelah kami masuk aku langsung ke dapur dan mengambil wortel untuk Toby dan aku ke lantai atas dan aku menutup pintu kamarku dan aku mengeluarkan Toby dari kandang dan memberi wortel itu kepadanya. Lalu aku menyalakan komputer dan bermain Minesweeper sebanyak 76 kali dan aku menyelesaikan versi mahirnya dalam waktu 102 detik, yang hanya berselisih 3 detik dari waktu terbaikku yaitu 99 detik.’


Yap. Masih ada banyak kalimat seperti itu di halaman-halaman lainnya. Tapi lama-lama saya ingat, “Oiya, ini kan Christopher, dengan sindroma Asperger-nya, yang sedang bercerita!” Menurut saya, kalimat-kalimat serba simpel yang sepintas membosankan itu bukan karena Mark Haddon tidak bisa memilih diksi yang lebih ciamik. Tapi justru karena Haddon betul-betul ingin menunjukkan dan mengajak pembaca untuk berempati. Sindroma Asperger itu kayak gini lho. Orang-orang seperti Christopher bukanlah orang-orang yang cacat, atau orang-orang yang perlu diberi iba. Mereka hanya berbeda, unik, dan mesti dipahami, diterima dengan semua kekurangan dan kelebihannya.


Meski disajikan datar dan minim emosi, melalui mata dan pikiran Christopher saya bisa merasakan konflik dalam keluarganya. Seperti orangtua lainnya di dunia, kedua orangtua Christopher sangat mencintai putra mereka, meski cinta itu tidak sempurna.


Ibunya sering putus asa dan naik darah menghadapi putranya yang autistik. Ayahnya tampak lebih tenang tapi sama bingung dan putus asanya dengan sang ibu. Keduanya sering bertengkar mengenai kondisi Christopher, dan hubungan mereka merenggang.


Semakin jauh membaca, saya jadi lupa bahwa buku ini awalnya membosankan. Penyelidikan Christopher pelan-pelan membawa dia, tak hanya pada misteri terbunuhnya seekor anjing, tapi juga pada misteri keluarganya sendiri. 


Misteri kematian ibunya. Misteri 44 pucuk surat dari sang ibu untuk Christopher, yang disembunyikan ayahnya sebelum sampai ke tangan putranya itu. Misteri perselisihan Tuan dan Nyonya Shears, serta ayah dan ibu Christopher, yang dilingkupi kebohongan dan perselingkuhan.

Untuk mencari jawaban semua itu, Christopher--yang tak pernah pergi seorang diri lebih jauh dari toko di ujung jalan rumahnya, yang benci tempat asing dan hiruk pikuknya lautan manusia, memutuskan kabur dari rumah, pergi ke stasiun dan naik kereta api ke London. Sendirian! 

I'm giving my thumb up for both of them. Christopher Boone yang berani, dan Mark Haddon yang menciptakannya. 

*

6 komentar:

  1. #pura pura gak baca

    takut keracunan

    kaboooor

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha..Ayu udah selesai belum baca buku2 yg sebelumnya? Enjoy reading yaa ;D

      Hapus
  2. ini buku favoritku. sudah membaca sejak covernya masih shocking pink merona dan minim dekorasi, hihihi :) love it!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Indi,waktu pertama kali baca dulu covernya lebih polos. walau cover baru juga tetep nge-jreng sih.. :D

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)