Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Jumat, 28 Desember 2012

Vespa Bapak

Tanggal 26 Desember kemarin, genap 16 tahun Bapak berpulang. Di antara sekian banyak kenangan tentang Bapak, salah satunya adalah Vespa, skuter kesayangannya. Saya lupa tahun produksinya. Skuter Vespa Piaggio berwarna navy blue itu, bentuknya mirip dengan skuter modern yang ada saat ini. Bedanya, pada skuter Bapak itu jok pengemudi dan jok penumpangnya terpisah.

Di tahun 1980-an, masih cukup banyak orang yang wara-wiri di jalanan dengan mengendarai skuter Vespa. Di tahun 1990-an, motor bebek booming di mana-mana. Vespa mulai jarang dilirik. Kalaupun ada yang beredar di jalan, biasanya bodinya sudah tipis dan mulai berkarat dengan bunyi mesin yang sangat khas. Cempreng.

Tapi, di masa redupnya pamor Vespa, Vespa Bapak masih tetap mulus dan bersuara halus. Skuter itu masih gagah menemani Bapak menempuh perjalanan pergi dan pulang ngantor. Di hari libur, sesekali Vespa itu membawa penumpang tambahan yaitu Mama dan saya, kesana-kemari, entah itu berbelanja ke pasar atau mengantar saya berobat saat sakit. 
Wajar saja Vespa segar bugar. Bapak merawatnya dengan kesabaran dan keahlian tangan tukang kebun sejati yang merawat tanaman anggrek. 

 
Bapak rajin mengecek bagian-bagian Vespa yang dirasa memerlukan perhatian. Entah itu busi, tali rem, ban atau yang lain. Bapak juga telaten membasuh Vespa, membersihkannya dari debu dan cipratan lumpur jalanan. Kalau mulai muncul sedikit karat pada bodi Vespa, akan dilapisinya dengan semacam cat pelindung, lalu disamarkannya bagian berpelapis tadi dengan cat semprot berwarna navy blue.
But age can not lie.
Vespa mulai lelah. Beberapa kali Bapak bercerita soal Vespa-nya yang sempat ngambek di tengah jalan. Kadang saya juga kecipratan protes si Vespa. Misalnya, waktu saya masih siswi SD, pernah pada suatu hari Minggu saya dan Bapak hendak ke toko buku. Keasyikan kami berkendara terhenti tiba-tiba saat mesin Vespa mati.
Bapak menepikan Vespa-nya. Lalu memeriksa berbagai hal, yang saya tak tahu persis istilah-istilah teknisnya. Lalu membuka kap mesin yang ada di bagian samping bawah jok penumpang dan mulai mengutak-atik skuter itu. Titik-titik besar keringat bermunculan di wajah Bapak. Pulau-pulau keringat terbentuk di kemeja yang Bapak kenakan.

Saya? Saya cuma berdiri dalam diam. Tiap kali Bapak coba menyalakan mesin dengan menginjak tuas starter, saya berdoa agar mesin Vespa menyala lagi... tapi Vespa itu hanya batuk-batuk sebentar, mendengus, lalu mati lagi.
Setengah jam berlalu. Harapan saya makin lama makin tipis, digantikan oleh rasa malu dan kesal. Malu karena orang-orang yang lalu lalang di jalanan selalu melihat ke arah kami. Kesal karena mereka terus melaju dengan mobilnya, atau motor bebek terbarunya. Sementara saya terpancang di tepi jalan, bersama Bapak dan Vespa uzurnya yang sekarat, di bawah terik matahari. 
Sejak Bapak jatuh sakit, semakin lemah, hingga Bapak akhirnya wafat berbulan-bulan kemudian, Vespa Piaggio itu teronggok di halaman sempit samping rumah kami, berselimut selembar plastik tebal. Tidak ada yang ingat untuk mengelapnya, memanaskan mesinnya, atau apapun.
Sesudahnya, kakak saya sempat memakai Vespa tua itu kemana-mana. Tapi, setelah kepergian Bapak, tak ada lagi yang sabar dan bertangan ahli merawat Vespa itu. Kilaunya memudar, dan suara mesinnya berubah menjadi seperti Vespa-Vespa lanjut usia lainnya. Cempreng dan serak. 

Setelah kakak saya menikah dan punya anak, Vespa makin sering saja mogok dan dibawa keluar-masuk bengkel. Akhirnya, kakak melego skuter kuno itu dengan harga murah, untuk membayar uang muka pembelian motor bebek baru.
Setiap kali saya melihat ke halaman samping yang kosong tanpa Vespa (hanya ada noda oli yang tertinggal di lantai semen), ketidakhadiran Bapak terasa berkali-kali lipat lebih kuat. Saya kembali teringat pada hari Minggu ketika Bapak berkutat memperbaiki Vespa yang mogok, sedangkan saya tidak berusaha membantu sedikitpun karena malu dan kesal pada Vespa bobrok yang merusak hari Minggu kami.
Padahal kalau saya ingat-ingat lagi, jasanya jauh lebih besar ketimbang ulahnya. Tahun-tahun yang dihabiskannya membelah jalanan ibukota untuk membawa Bapak dan kami jauh lebih banyak ketimbang beberapa bulan mogoknya. Maafin aku, Vespa... :(
Just wondering, what had happened to Vespa?
Apakah pembeli Vespa berikutnya bertangan dingin seperti Bapak dan bisa merawat Vespa dengan baik? Apakah ada goresan karat baru di bodinya? Berapa lama lagi Vespa bisa bertahan, sebelum akhirnya mati total? Apakah seseorang akan membongkar jasadnya, lalu menjual potongan-potongan Vespa sebagai besi tua kiloan?

Saya lebih suka berpikir begini. 

Setelah bergabung dengan segunung rongsokan logam lainnya, potongan-potongan Vespa akan dilebur menjadi bubur logam yang berpijar merah. Lalu, diolah menjadi kepingan logam yang sama sekali baru. Bersih dan kokoh. Menebak-nebak nasib selanjutnya, akan dirakit menjadi benda apa. 
Vespa terlahir kembali, menemukan seseorang seperti Bapak--pemilik baru yang sabar dan bertangan ahli, dan menjadi barang kesayangan orang itu. 

That would be a perfect reincarnation.

*
just another random thought of mine that crossed my mind, along with old memories about Dad.


4 komentar:

  1. kalo saya liat vespa, saya inget temen SMA saya mba..
    kami sahabatan dulu, 2cewek 3 cowok

    hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo inget vespa bapak ini aku jg jadi inget era awal 90-an *nostalgia* :))

      Hapus
  2. oh.. ini toh mba ruri blognya..
    jgn lupa follow aku ya mba ?
    @AdytiyaAHP
    :)

    BalasHapus
  3. newby slahturahmi bu, lagi blajar ngeblog, iktan nimbrung ya?
    Siapa tau dapet temen..
    Izin follow ya?
    Jangan lupa follbacknya?

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)