Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 03 Februari 2015

(Book Review) Pesantren Impian

Judul              : Pesantren Impian
Pengarang     : Asma Nadia
Penerbit         : Asma Nadia Publishing House
Tebal              : 314 halaman

Ibarat sebuah noktah kecil, pulau Lhok Jeumpa tidak tercantum dalam peta. Seolah sengaja disembunyikan. Dan pemiliknya merasa tidak perlu mengubah kenyataan ini.

Tapi, kenapa tempat ini disembunyikan?

Tidak banyak yang tahu tentang Pesantren Impian, atau Lhok Jeumpa--pulau kecil di wilayah Aceh yang bahkan tak tercantum di peta. Teungku Budiman, jutawan pemilik pulau dan pesantren itu, juga sama misteriusnya. Meski demikian, semua penduduk Lhok Jeumpa menghormatinya karena segala kebaikan yang telah dilakukannya.  

Konon, pesantren itu telah mengubah hidup banyak santrinya. Setelah lulus, sebagian dari mereka bersedia tinggal dan bekerja mengabdikan diri di sana. Sebagian lagi, yang kembali ke dunia luar untuk mengamalkan ilmu yang didapat, secara teratur berdonasi untuk kemajuan pesantren. Namun, berubah adalah pilihan. Sebagian mantan santri kembali ke kehidupan lama mereka, entah itu menjadi berandalan, pemabuk, pencuri, dan lain-lain. 

Pesantren Impian (PI) terus merekrut santri-santri baru. Berbeda dengan pesantren lainnya, diam-diam PI mengamati kehidupan para kandidat santrinya, sebelum kemudian mengirimi mereka undangan untuk bergabung. Kali ini, ada limabelas santri putri baru yang diundang ke pesantren.

Limabelas orang dengan karakter dan rahasia gelap masing-masing:

Keturunan bangsawan yang ingin bersembunyi dari dunia karena trauma perkosaan dan serangkaian percobaan pembunuhan yang dialaminya. Benarkah si pelaku mengejarnya sampai ke pulau terpencil Lhok Jeumpa?

Model kondang yang rapuh dan gamang di tengah gemerlap dunia showbiz. Cukup beruntung untuk bertahan hidup setelah nyaris tewas karena overdosis narkoba. Selalu tampak innocent, tapi mungkin saja itu cuma topeng...

Para pecandu obat terlarang, yang perilakunya bisa berubah brutal tiba-tiba. Cukup brutalkah mereka untuk membunuh?

Pengedar narkoba yang ingin kembali ke jalan yang lurus, namun ternyata "insyaf" tak semudah yang diduga. Jaringan mafia yang dulu jadi tempat berlindungnya, kini berbalik meneror...    

Polisi yang menyamar demi melacak keberadaan seorang pembunuh di pesantren. Berusaha memancing si pembunuh keluar dari persembunyian, meski harus bertaruh nyawa. Semata demi tugas atau demi menyelamatkan reputasi yang hampir pupus?

The last but not least, si buronan pembunuh. Kerasnya hidup telah menempa dia menjadi sosok yang cerdas, berani, dan ya, licik. Benarkah pesantren sekedar liang persembunyian baginya, atau justru akan menjadi suaka pertaubatan?

Lalu, siapa sebenarnya Teungku Budiman? Benarkah dermawan itu sesuci kelihatannya? Atau jangan-jangan, itu hanya kedok untuk menutupi masa lalunya yang hitam...

*

Setelah nge-fans sama buku-buku Asma Nadia sejak begitu lama, ternyata saya belum pernah sama sekali menulis resensinya di blog. Novel Pesantren Impian sebetulnya sudah pernah saya baca duluuu banget, waktu masih dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Annida (sekarang Annida Online). Kalau dibandingkan dengan cerita aslinya yang dirilis tahun 1990-an, novel ini sudah diubah di sana-sini. Menyesuaikan dengan teknologi dan tren masa kini.

Senang bisa membaca versi baru ini. Dan masih ngga nyangka aja, Asma Nadia yang biasa mengulik tema sosial, dunia remaja atau kehidupan rumah tangga, ternyata bisa juga menelurkan kisah thriller. Misteri tentang identitas si pemerkosa dan si pembunuh memang tetap terjaga sepanjang cerita. Cukup untuk mengikat rasa penasaran pembaca, bahkan kalau perlu membaca ulang halaman-halaman sebelumnya demi mencari petunjuk-petunjuk kecil yang diselipkan Asma Nadia.

Namun, sebagai novel yang dilabeli genre thriller, ketegangannya masih kurang terasa. Yang dominan dalam cerita adalah nuansa damai di pesantren dan kekompakan para santri yang sudah seperti keluarga sendiri. Bahkan saat jatuh satu korban tewas dan ada peristiwa penculikan pun, para santri putri masih bisa haha-hihi dan saling bercanda. Suasana jauh dari mencekam. 

Meski begitu, saya berharap Asma Nadia akan menulis lebih banyak buku dengan genre thriller seperti ini. Rasanya menyegarkan banget, setelah selama ini baca buku-buku beliau yang berbau melankoli. Hehe...

Hal lain yang menarik dari Pesantren Impian adalah latar lokasinya. Kisah tentang serunya sekolah berasrama selalu menarik untuk diramu dan dinikmati, baik itu ber-setting luar negeri seperti serial Malory Towers-nya Enyd Blyton, sampai yang berlatar lokal seperti Negeri 5 Menara-nya Ahmad Fuadi dan Pesantren Impian tentunya. 

Lebih spesifik soal pesantren, dulu lembaga pendidikan religius ini cenderung dianggap sebagai--maaf, "sekolah buangan". Tempat untuk anak-anak nakal dan bermasalah, yang ditolak oleh sekolah-sekolah lainnya dan gagal dididik oleh orangtua dan guru. Tempat yang seakan-akan didatangi karena terpaksa, berhubung tak ada yang sanggup menerima. Pesantren adalah harapan terakhir supaya anak-anak tersebut bisa berubah jadi manusia yang berguna. Mirisnya lagi, sempat pula pesantren dianggap sarang teroris.

Padahal, banyak tokoh masyarakat yang harum namanya, ternyata alumni pondok pesantren. Mulai dari ulama, penulis, sampai pengusaha. Sistem pendidikannya juga semakin maju, tak semata soal agama. Boleh dikata pesantren-pesantren modern kini sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya yang mengajarkan bahasa asing, juga mengasah public speaking skill. Bahkan, pesantren dengan sistem asramanya dan ritme kegiatan yang padat punya kelebihan tersendiri, yaitu melatih kemandirian dan kedisiplinan santri-santrinya.

Novel-novel semacam Pesantren Impian masih banyak dibutuhkan untuk meng-counter opini negatif tentang pesantren, yang masih ada di tengah masyarakat. Penting untuk menyuarakan kebaikan-kebaikan sistem pendidikan pesantren: bahwa pesantren adalah sekolah untuk anak-anak terbaik bangsa, dan lulusannya siap berkiprah untuk kemajuan umat. 

4 komentar:

  1. Tak kenal maka tak sayang, begitu pepatah bilang. So, kebutuhan untuk adanya tulisan, buku dan film mengenai pesantren untuk mengenalkan pesantren secara utuh.
    Salam Ngeblur,

    BalasHapus
  2. Maaf, bukan Anwar Fuadi, tapi Ahmad Fuadi. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak Rina, terima kasih koreksinya.. Sudah saya ralat ya :)

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)