Airin berdiri
gamang di pinggir tebing. Diabaikannya nyeri berdenyut-denyut yang merambati
tulang-tulangnya. Ia menunduk pada hamparan laut maha luas di bawahnya. Jauh di
bawah tempatnya berpijak, ada segerombolan batu karang yang tegak tak bergeming setiap kali
ombak datang menghantam.
Tempat yang
sempurna untuk mati.
“Hei! Mau bunuh diri ya??”
Airin
terlonjak. Selama sedetik, ia dilanda panik seperti bocah yang tertangkap basah
hendak berbuat onar. Detik berikutnya, saat berbalik untuk melihat siapa yang
datang, ia merasa sangat marah.
Dia sudah
capek-capek agar bisa sampai di puncak tebing sialan ini. Sebelumnya, dia harus
menyelinap pergi dari rombongannya di The Pirates Bay. Airin berbohong pada
ketua grup bahwa ia lelah dan butuh istirahat. Muslihat kedua adalah yang dia
katakan pada ayahnya, bahwa dia tidak sengaja menjatuhkan pil-pilnya ke lubang
toilet dan ayahnya harus mencarikan gantinya di apotek. Obat pain killer itu hanya bisa didapat dengan resep
dokter (yang sudah diselipkannya di koper supaya sulit ditemukan) dan tidak
dijual di sembarang apotek. Ayahnya akan butuh waktu lama sebelum kembali
dengan obat itu. Setidaknya cukup lama bagi Airin untuk menuntaskan
rencananya.
Pengganggu tak
diundang itu seorang gadis seusia Airin. Wajahnya pucat, kontras dengan bandana
warna merah cerah bermotif khas Bali yang ia pakai di bawah topi anyaman
lebarnya. Airin mengenali wajah sembab dan pipi gembil gadis itu sebagai salah
satu efek samping kemoterapi. Moon
face.
Cardigan tebal dan
celana jins tampak terlalu longgar di tubuhnya yang kurus. Walau tidak memakai name tag dan kaus bertuliskan I’m a cancer survivor seperti yang lainnya, ia pasti salah
satu peserta family gathering yang Airin ikuti.
Artinya, gadis
ini sama sekaratnya denganku.
“Kulihat sudah satu
jam kamu berdiri di sini,”
aksen Bali gadis itu terdengar lucu dan unik di telinga Airin. Gadis itu
menatapnya lekat-lekat.
“Yah... Aku cuma
cari angin segar sebentar.”
“Cari angin?” Gadis itu menghampiri Airin.
Langkahnya agak terpincang-pincang. Mereka kini begitu dekat, sampai Airin bisa
melihat sebuah bekas luka halus memanjang di leher gadis itu. “Bukannya cari
mati?”
“Apa??” Airin
tertawa sumbang. “Kamu gila ya?”
Gadis itu dengan
cueknya mengulurkan tangannya.
“Ngomong-ngomong,
aku Ni Putu Widya. Boleh panggil Putu. Atau Widya. Osteosarkoma1 stadium empat. Satu lutut sudah
diamputasi,” dia memperlihatkan kaki palsunya tanpa rasa jengah, “pernah kemo
dua kali, tapi kanker ini rupanya jauh lebih tangguh dari dugaanku. Menyebalkan.” Dia memutar
kedua bola matanya.
Airin sudah familiar
dengan kalimat perkenalan ala cancer
survivor itu. Setelah diam
cukup lama, Airin menyambut uluran tangannya dengan enggan.
“Airin.“ Airin tak
sudi menyebutkan nama lengkap dan riwayat penyakitnya.
“Setelah
bertahun-tahun jadi anggota yayasan kanker ini, aku cukup banyak makan
asam-garam kehidupan,” gaya Widya seperti nenek yang memberi petuah pada
cucunya.
“Sebagian besar
temanku di sini sudah meninggal. Aku bisa tahu tampang orang yang ingin sembuh,
atau sebaliknya, ingin segera mati. Dan kamu, Airin,” dia menatap Airin tepat
di matanya, “ingin mati.”
Airin memicingkan
mata. “Sinting.”
“Jadi kamu bukan mau
terjun ke laut?”
“Mau terjun kek. Mau
disko kek. Bukan urusan kamu.”
“Kamu ikut aku kembali sekarang juga, atau aku bakal
lapor sama Bli2 Agung
bahwa kamu berulah!”
Ancaman itu diucapkan dengan nada santai. Airin menahan diri untuk tidak
menyemprot tukang ikut campur urusan orang ini. Dia tidak ingin cari masalah
dengan Bli Agung, ketua grupnya.
Terutama sekarang, saat
rasa nyeri yang sangat dikenalinya tak bisa lagi diacuhkan. Airin menyeka
keringat dingin di dahinya. Dia butuh obatnya.
“Oke, kita turun.
Aku bisa coba terjun lagi lain kali,” jawab Airin sinis.
Widya mengekori
langkah-langkah Airin kembali ke pantai, menyelinap di antara teman-teman
mereka yang asyik merakit dan melukis layang-layang.
Saat tiba di rumah
pohon tempat ayahnya menyimpan persediaan obat, Airin merasa seolah setiap ruas
tulangnya sedang dihantam palu. Sedikit gemetar, diraihnya sebotol kecil pil
dan air mineral kemasan dari backpack-nya.
Isinya tinggal dua butir, karena Airin sudah membuang sisanya ke lubang toilet
tadi siang, supaya punya alasan untuk menyuruh ayahnya pergi.
Jenius. Airin mengejek diri sendiri. Kalau ayah ternyata tidak
berhasil mendapatkan obat untuknya malam ini, gawatlah. Airin akan
mengerang-erang kesakitan sampai besok pagi!
Dengan cepat,
sebutir pil dan seteguk air berpindah ke kerongkongannya. Mencoba rileks, Airin
menyandarkan tubuhnya, menunggu obat itu bekerja.
Airin menarik nafas
dalam-dalam, menikmati angin laut yang hangat dan beraroma garam. Diamatinya
interior rumah pohon itu. Sederhana, tapi nyaman. Lantai dan tiang-tiang
penyangga rumah mungil ini adalah bambu kokoh dalam berbagai ukuran. Airin tak
yakin apakah atapnya terbuat ijuk atau sirap, tapi dia suka melihat ujung-ujung
helai atap itu bergoyang lembut saat tertiup angin. Tidak ada pintu atau pun
jendela, seolah seluruh bagian rumah ini dan alam sekelilingnya adalah satu.
Perlahan tapi
pasti, rasa sakit memudar dari tubuh Airin, seperti kabut yang menghilang
tersapu sinar matahari.
“Aku cinta morfin,”
kata Airin penuh perasaan.
Widya
tersenyum mafhum.
“Aku batal
terjun dari atas tebing. Puas? Kamu bisa pergi sekarang.”
“Bukannya aku sok
pahlawan mau menyelamatkan kamu ya. Sakit kanker itu memang nggak enak. Tapi
apa harus bunuh diri?” seloroh Widya.
“Memang kenapa?”
“Itu egois, Anak
Kecil!”
“Egois?” Airin jadi
sewot, “Bukannya bagus? Makin cepat aku mati, makin baik. Aku tidak perlu menunggu maut dalam
kesakitan, atau merepotkan orang-orang.”
“Maksudmu, makin
cepat kamu mati, makin
sedikit kamu nyusahin orang lain? Kalau gitu, kamu mati di rumah saja. Minum
racun atau apa lah! Kalau kamu bunuh diri di tempat umum seperti ini, justru
kamu akan menyusahkan banyak orang.”
Airin melotot. Cewek
ini kok ngelantur! Tapi toh masih ada waktu sebelum orang-orang sadar dia telah
kabur dari rombongan. Coba dia dengar dulu apa maunya si Widya ini.
“Tempat keren ini bisa dianggap sial.
Turis-turis tidak akan mau datang lagi ke The Pirates Bay. Belum lagi semua peserta acara ini pasti syok
lihat mayat kamu yang mengenaskan. Bukannya ingin sembuh, jangan-jangan mereka
malah ingin mati juga!”
“Astaga. Kebanyakan
baca novel ya kamu?”
“Kebanyakan nonton
film, tepatnya. Aku suka nonton film. Kamu?”
“Aku justru paling suka
baca novel,” Airin menggaruk hidungnya yang tak gatal, tidak habis pikir kenapa
dia mau duduk di sini, ngobrol akrab bareng orang yang memergokinya hendak
bunuh diri. Situasi yang aneh.
“Oh?” Widya tampak
antusias. “Punya penulis favorit?”
“Ernest Hemingway.”
Orang-orang sering meledek selera Airin yang sok tua, tapi Widya kelihatannya
sama sekali belum pernah mendengar nama sastrawan dunia itu.
“Hebat. Dia masih
hidup?”
“Dia... Mati bunuh
diri,” Airin berdeham kikuk, “dengan senapan.”
Widya
terbahak-bahak. “Jadi kamu mau meniru idolamu, gitu?”
“Buat apa hidup
terus kalau nggak bahagia?” Airin mengajukan alasan.
“Kenapa kamu pikir
kamu tidak bahagia?”
Airin menghela
nafas. “Karena hidupku tidak berarti lagi buat siapa-siapa. Aku sekarat dan nggak
berguna.”
“Ayahmu?
Teman-temanmu? Kamu pasti ada artinya untuk mereka kan?”
“Teman-teman
senasibku juga sudah banyak yang meninggal, Widya. Teman-temanku yang lain,
mereka akan melanjutkan hidup dan melupakanku. Ayahku juga.”
Airmata bergulir
turun di pipi Airin. Ia menatap jauh ke cakrawala. Di sana matahari meluncur
turun perlahan dengan malas, lalu menghilang. Seperti tak rela dirinya harus
tenggelam, tapi toh dia tak bisa melawan kodrat alam yang sudah digariskan
untuknya: terbit setiap pagi, dan tenggelam menjelang malam.
“Pernah nonton film Butterfly Effect?” tanya Widya.
“Belum.”
“Yang paling keren
dari film itu adalah ide ceritanya...,” jelas Widya tanpa diminta, “bahwa kita
dan setiap manusia di dunia ini punya peran penting. Mungkin peran itu sepele.
Atau cuma sekelebat. Seringan kepak sayap kupu-kupu. Tapi satu kepakan itu bisa
mengubah hidup orang lain! Misalnya, coba lihat pasangan kekasih dekat kapal
nelayan itu.”
Airin memandang
seorang gadis berkain lilit Bali sedang beradu mulut dengan seorang pemuda. Si
pemuda akan beranjak ke kapal karena dua sahabatnya sudah menunggunya di sana,
tapi si gadis berlari pergi sambil menangis. Si pemuda tampak jengkel, tapi bimbang
antara mengejar kekasihnya untuk berdamai, atau pergi. Akhirnya dia memutuskan
langsung naik ke kapal yang membawanya pergi dari bibir pantai.
“Andai perahu mereka mengalami
kecelakaan dan kedua temannya
selamat, sedangkan pemuda itu tidak. Mungkin gadis itu akan lama menyesal
kenapa mereka berpisah dalam keadaan saling membenci? Tiga tahun kemudian gadis
itu masih belum memaafkan dirinya, lalu menolak cinta seorang pemuda lain.
Padahal kalau saja mereka menikah, setahun kemudian mereka akan punya seorang
anak laki-laki yang tiga puluh tahun berikutnya akan menciptakan kapal canggih
yang tahan hantaman ombak dan karang. Dengan itu, dia mencegah terjadinya
puluhan kecelakaan kapal dan menyelamatkan banyak nyawa nelayan.”
“Imajinasimu terlalu
dramatis!” protes Airin. “Tapi aku mulai ngerti. Andai mereka sudah saling
memaafkan sebelum berpisah, tentu gadis itu tidak akan menyesal berlarut-larut,
dan akhir ceritanya bisa jauh berbeda. Gitu?”
“Ternyata kamu
pinter juga.” Airin mengabaikan ejekan itu.
“Sisa waktuku
sedikit. Peranku, apa pun itu, sudah selesai. Aku nggak pernah menyelamatkan
nyawa siapa pun atau mengubah dunia jadi lebih baik. Mungkin ketiadaanku malah
akan membuat hidup orang lain jadi lebih baik,” kata Airin getir.
“Kamu nggak tahu,
Airin! Peran kamu, yang kamu anggap tidak berharga itu, besar artinya untuk
kebahagiaan orang lain. Kamu menyelamatkanku.”
Airin merasa
kepalanya memberat. Morfin selalu membuatnya begitu. Tapi...
“Apa maksudmu,
Widya?” Airin terhanyut
kantuknya. “Aku... Menyelamatkanmu?”
Widya tersenyum
teduh padanya.
“Kamu
penyelamatku. Matur suksma3, Airin.”
Belum pernah
Airin merasa selelah ini. Mungkin dia harus istirahat sebentar...
*
“Kakak kok
sendirian di sini? Airin temenin ya...”
“Airin, ayo
turun, Sayang. Jangan ke sana! Airin!!! Aaaa!!!!!”
Airin belum pernah
merasa begitu haus akan udara ketika terbangun dari mimpi. Sambil terengah,
mata Airin nyalang mencari-cari seseorang. Ayahnya duduk tegak di sisinya,
menatap cemas. Bli Agung juga sudah ada di sana.
“Mana Widya?”
Mimpi itu membuka
lembar ingatan Airin pada sebuah kejadian di masa lalu. Kala itu, Airin baru
berumur enam tahun. Dan pantai Nusa Dua belum seramai sekarang.
“Widya siapa?” tanya
ayah
Airin.
“Tadi dia di sini.
Dia ikut acara ini juga.”
“Mungkin dia sudah
tidur di tenda atau di rumah pohon lain.” Kata Ayah
“Nggak ada peserta
bernama Widya. Mungkin turis biasa,” Bli membaca data para peserta yang selalu
dibawanya kemana-mana, lalu menggeleng yakin.
“Bukan, Bli,” Airin
menggeleng-geleng tak sabar. “Dia anggota yayasan. Anaknya kurus, pakai bandana
merah. Ada bekas luka di lehernya...”
“Kakak kok
sendirian di sini?Airin temenin ya...”
Gadis itu menoleh. Rautnya waspada, tapi tidak menolak saat Airin menghampirinya di tepi tebing. Senyum
perlahan muncul di bibir gadis itu.
“Mestinya kamu
yang nggak boleh kesini sendirian, Anak kecil.”
Bli Agung
menatap Airin lurus-lurus. “Di leher?”
“Namaku Airin,
Kak, bukan Anak kecil!”
Gadis itu tertawa. Rambutnya tersibak angin, memperlihatkan segores luka di leher.
“Hai, Airin. Aku
Ni Putu Widya. Boleh panggil Putu. Atau Widya.”
“Tepat di sini,
Bli,” Airin memperagakan bentuk luka Widya pada lehernya sendiri. “Widya...
Namanya... Ni Putu Widya! Dia mengoceh panjang lebar soal film kesukaannya...”
“Butterfly
Effect.” Airin dan Bli Agung menyebut dua kata itu
berbarengan. Keduanya saling menatap tak percaya.
*
“Jadi, Widya adalah
adik Bli?”
Airin masih sulit
menerima kebetulan yang aneh itu. Lebih aneh dari
fiksi.
Bli Agung menghela
nafas panjang, lalu mengangguk. Berusaha menggali lagi kenangan tentang
orang yang disayanginya. Tatapannya menerawang ke dalam kobaran api unggun
di depan tenda tempat mereka berdua duduk.
“Dia anak baik.
Sayang kamu hanya sempat berjumpa dengan rohnya...”
“Sebenarnya, Airin
sudah kenal Widya, Bli... Waktu dia masih hidup.”
Bli Agung mendongakkan wajahnya yang
sejak tadi tertunduk. “Kapan?”
“Waktu itu Airin
sedang berlibur ke sini sama Ayah. Itu liburan pertama kami sejak Ibu tewas
dalam kecelakaan mobil, setahun sebelumnya. Ayah ingin menghibur Airin yang
masih sering sedih. Waktu Ayah sedang bicara dengan tour guide, Airin lepas dari
penglihatan Ayah dan asyik menjelajah sendiri. Entah gimana caranya, Airin bisa
naik sampai ke tebing sana.” Airin menunjuk tebing karang tempatnya bertemu
dengan Widya.
“Di sana... Ada
Widya. Sendirian di ujung tebing.
Kelihatan sedih dan kesepian, seperti Airin waktu Ibu baru meninggal. Airin
sapa dia... Airin ingin menemani dan menghiburnya. Tiba-tiba, Ayah
memanggil-manggil Airin dari
bawah. Ayah berusaha menyusul dan mengajak Airin turun, karena di situ berbahaya...
“Airin ceroboh.
Airin terpeleset dan nyaris jatuh ke laut, tapi Widya berhasil menangkap tubuh Airin
sebelum terlambat. Airin selamat karena pertolongan Widya!”
“Waktu pertama kali
tahu kena kanker, dia seumur kamu, Rin. Dia tergila-gila pada film. Butterfly Effect itu kesukaannya, yang membuatnya ingin
menciptakan film-film yang bisa menginspirasi hidup orang lain. Mimpi itu
adalah salah satu hal yang bikin Widya gigih melawan penyakitnya,” ceritanya dengan
suara parau.
“Bapa4,
Meme5 dan Bli sedih
melihat dia bertambah tirus dan lemah. Ah.. Mengapa Sang Hyang Widhi6 sampai hati memberinya cobaan
seberat itu? Airin tentu tahu, kemoterapi mungkin hampir sama beratnya dengan
kanker itu sendiri...
“Widya tetap tabah dan percaya dia akan
sembuh. Diaantusias bisa menjadi anggota yayasan ini dan bertemu banyak teman
senasib. Tapi lambat laun harapan Widya pupus. Setelah kemoterapi yang panjang,
sel-sel kankernya tidak merespon. Bahkan menyebar ke liver dan paru-paru... Widya
menolak mencoba kemo lagi.
“Dia sudah putus
asa. Dia pernah... mencoba mengakhiri hidupnya, Rin. Bekas luka di leher itu buktinya. Hari itu, Widya menemui Bli
sambil menangis. Dia bilang, dia hampir berbuat tolol, terjun dari puncak tebing,
kalau saja tidak dicegah oleh seseorang. Widya tak pernah melupakan
penyelamatnya itu, sampai akhirnya dia meninggal enam bulan sesudahnya.
Ternyata kamulah orangnya, Airin.”
Airin mengusap
airmata di pipinya, lalu menggeleng bingung.
“Tapi justru Widya
yang sudah menolong nyawa Airin waktu itu.”
“Menolongmu telah
menyadarkannya bahwa hidupnya masih punya arti. Itu yang membuatnya memutuskan
bertahan, sampai akhir hayatnya.”
Setiap manusia di
dunia ini punya peran penting. Mungkin sepele, cuma sekelebat. Seringan kepak
sayap kupu-kupu. Tapi satu kepakan sayap itu bisa mengubah hidup orang lain.
Airin mengerti sekarang.
Pertemuan mereka di pantai Nusa Dua belasan tahun lalu, kecelakaan yang nyaris
merenggut nyawa Airin, dan pertemuan mereka kembali di sini, semua adalah
mata-mata rantai yang saling bertaut, bersebab akibat. Kepak-kepak sayap
kupu-kupu yang saling bersentuhan. Widya dan dirinya... saling menyelamatkan
satu sama lain.
Airin berbisik, “Butterfly
Effect.”
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
1.
Osteosarkoma :
sejenis kanker tulang; umumnya menyerang remaja dan orang
dewasa usia produktif.
2.
Bli :
panggilan orang Bali untuk kakak laki-laki
3.
Matur suksma :
terima kasih
4.
Bapa :
ayah
5.
Meme :
ibu
6.
Sang Hyang Widhi :
Tuhan Yang Esa
klo pesan butterfly effect yang aku tangkep sih, pada dasarnya biarpun kita berusaha berulang2 kembali ke masa lalu untuk memperbaiki keadaan, terkadang hanya menimbulkan masalah yang seharusnya tidak pernah ada di masa datang. Masa lalu sudah terkunci di laci2 langit, tugas kita berjuang hari ini untuk esok yang lebih baik
BalasHapusSetuju. Satu lg pesan yg kutangkap: kita tdk bs mengubah takdir, tapi kita bs mengubah sikap terhadap takdir. Kadang2 kita ngga terima sama ketetapanNya sehingga kita bersikap egois (marah, sedih, putus asa) & melukai diri sendiri/orang lain. Padahal takdir buruk sekalipun pasti ada hikmahnya yg mungkin ngga kita ketahui krn sempitnya pengetahuan kita.
HapusSetuju. Satu lg pesan yg kutangkap: kita tdk bs mengubah takdir, tapi kita bs mengubah sikap terhadap takdir. Kadang2 kita ngga terima sama ketetapanNya sehingga kita bersikap egois (marah, sedih, putus asa) & melukai diri sendiri/orang lain. Padahal takdir buruk sekalipun pasti ada hikmahnya yg mungkin ngga kita ketahui krn sempitnya pengetahuan kita.
HapusSetting Bali-nya terasa banget itu dengan ada orang Balinya :-)
BalasHapusmatur suksma, mbak Leyla :)
Hapus