Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Kamis, 29 Desember 2011

(Book Review) The Truth About Forever



Judul      : The Truth about Forever
Penulis   : Orizuka
Penerbit: GagasMedia
Tebal      : 284 halaman
ISBN       : 9797802299

Ketika seseorang tahu sisa usianya tinggal sebentar lagi, masihkah hidupnya punya makna?

Makna itu hilang dari diri Yogas sejak dokter memperkirakan dirinya hanya akan bertahan hidup beberapa tahun saja karena virus HIV yang ada dalam tubuhnya. Yogas harus minum obat secara rutin, sekedar untuk memperpanjang masa sehatnya sebelum infeksi di tubuhnya berkembang menjadi AIDS. *maaf yaaa sedikit SPOILER WARNING*  -__-

Jika sisa hidup Yogas adalah sebuah gelas kaca yang terisi air separuhnya, bagaimana Yogas harus menyebutnya? Gelas yang separuh kosong, ataukah gelas yang separuh penuh?
Bagaimana Yogas harus memandang diri sendiri? Sebagai orang yang sekarat akan mati karena HIV, atau orang yang hidup dengan HIV?

Awalnya, Yogas memandang dirinya sebagai orang yang sekarat akan mati. Tanpa harapan. Tanpa masa depan. Hidupnya adalah gelas yang separuh kosong. Semangat dan cita-cita Yogas pupus. Selain itu, orang-orang yang disayanginya menjauh setelah tahu tentang penyakit Yogas. Merasa putus asa, Yogas memutuskan pergi dari rumahnya di Jakarta, menuju Yogyakarta untuk balas dendam pada seseorang; penyebab hancurnya hidup Yogas.

Dalam pencarian itu, Yogas bertekad untuk tak berbuat baik pada siapapun atau menerima kebaikan dari siapapun. Menyayangi dan disayangi adalah hal-hal tidak berguna. Toh dia akan berpisah juga dengan semua orang. Entah berpisah karena mereka menjauhi Yogas setelah tahu tahu penyakitnya, atau berpisah karena Yogas mati.

Tapi sekeras apapun Yogas berusaha menghindar, Tuhan tetap mempertemukannya dengan orang-orang yang peduli padanya, tulus mengulurkan kebaikan. Salah satunya, Kana—gadis tetangga sebelah kamar kos Yogas. Kana cuma ingin bersikap baik, sementara Yogas membenci Kana yang ia anggap sok ikut campur urusan orang. Itu awalnya, sebelum Yogas mulai bimbang dengan perasaannya sendiri terhadap Kana: benci atau cinta?

Membaca novel ini, saya merasa dibawa menyelam dalam-dalam di laut hati kedua tokoh utamanya. *apa seeeh* :p Saya terbahak-bahak saat Yogas berkata, “34A,” untuk mengomentari bra warna pink yang dijatuhkan Kana tanpa sengaja tepat di dekat Yogas. Saya ikut meringis perih sesampainya di adegan-adegan sikap ketus Yogas menanggapi perhatian Kana, dan alasan sebenarnya di balik itu: “Kita nggak punya masa depan.” Ketika Yogas akhirnya bertemu dengan orang yang menjadi sumber petaka dalam hidupnya, saya juga geregetan, malah ingin mengambil alih belati di tangan Yogas untuk membalaskan dendamnya. *Bunuh aja, Gas! Bunuh!* *sadis mode ON* >___<


Kelebihan lain novel ini adalah cara Orizuka membagi informasi penting tentang HIV/AIDS kepada pembaca. Dalam postingan saya berjudul Remaja Harus Melek HIV/AIDS, saya membahas sedikit tentang kampanye masal HIV/AIDS bagi remaja. Pastinya, penyuluhan searah yang boring ataupun ancaman dosa-neraka yang menyuruh mereka menjauhi seks bebas dan narkoba saja nggak bakal cukup! Remaja adalah kalangan unik yang perlu pendekatan tersendiri. Mereka ingin dihargai pendapatnya, ingin diajak berdiskusi bukan ditakut-takuti, ingin didekati sebagai teman bukan obyek.
Salah satu alasan orang menghindari kontak dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) adalah karena takut tertular. Padahal, virus HIV tidak menular semudah virus influenza. Bersentuhan, berpelukan, gigitan nyamuk, memakai peralatan makan yang sama atau tinggal bersama ODHA tidak akan membuat kita ikut terinfeksi!
Nah, kalau informasi di atas saya sajikan seperti itu, jadi mirip brosur kesehatan ya? *garuk-garuk kepala* Tapi The Truth about Forever berhasil menyampaikannya dengan apik lewat narasi atau dialog, misalnya:
“Gas, bukannya kamu yang paling tau kalo virus HIV nggak menular lewat air liur?” kata Kana ketika Yogas minta supaya peralatan bekas makannya dibuang saja.
Atau ini: “Waktu itu, aku masih anak-anak, aku masih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV. Setelah tau Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh. Bukan cuma aku, kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka, seperti aku, malu dan takut karena penyakit itu.”
Jauh dari membosankan, apalagi menggurui kan? J
Kalau selalu harus ada retak pada setiap gading, maka ketidaksempurnaan novel ini mungkin ada pada setting cerita. Dalam novel Infinitely Yours, detil setting terasa sangat nyata, lengkap dengan rute bus dan dialog berbahasa lokal, sehingga saya seakan-akan berada di Korea. Tapi sensasi itu tidak saya alami selama membaca The Truth about Forever. Perpindahan setting dari Jakarta ke Yogya, stasiun Tugu, kampus UGM, UPN, pantai Parangtritis, terasa sama saja. Dialog-dialog berbahasa Jawa juga sangat jarang, hanya terselip satu-dua.

Satu lagi yang mengusik, diceritakan bahwa rumah sakit sering menolak Yogas berobat karena dia pengidap HIV, sehingga Yogas enggan datang lagi untuk mendapatkan obat antiretroviral (ARV). Setahu saya, dalam beberapa tahun terakhir sudah lebih mudah bagi ODHA untuk mengakses obat-obatan. Ada lebih dari 10 rumah sakit rujukan HIV/AIDS di Jakarta dan setidaknya lima rumah sakit di Yogya yang tentunya menyediakan ARV, belum lagi klinik-klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) yang juga menyediakannya. CMIIW J

Bagaimanapun, The Truth about Forever berhasil menyampaikan pesannya, bahwa hidup bisa lebih berarti jika dijalani dengan optimis: sebagai gelas yang separuh terisi. Hidup yang singkat bukan alasan untuk putus asa dan berhenti mengejar cita-cita, tapi justru harus jadi cambuk semangat untuk berbuat yang terbaik..

Esok belum tentu ada buat kita, jadi ayo lakukan yang terbaik hari ini. ^o^
 

Selasa, 27 Desember 2011

10 Finalis GoVlog - Dari Jalan Melati Hingga Jalur Gaza (part 1)


7 Desember 2011
Denpasar, 08.00 WITA.
Yuhuuu, setelah sempat terkatung-katung beberapa lama, saya mau melanjutkan cerita tentang kunjungan 10 finalis lomba blog AusAid – vivanews.com ke Bali ya... Semoga masih belum basi, kan masih bulan Desember ini... *ngeles*
Oya, buat yang belum tahu ceritanya dari awal, boleh baca dulu di sini ^__^v :
Saya membaca lagi lembaran jadwal di tangan saya. Wuih.. field visit hari kedua ini ternyata jadwalnya paling padat di antara hari-hari lainnya; sampai lewat tengah malam! Sebagai agenda pertama pagi hari, kami berkunjung ke kantor Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Bali di Jalan Melati No. 21 Denpasar.

dok. vivanews.com

Di sana, ada Pak Made Suprapta—sekretaris KPAP Bali, Pak I Ketut Subrata—Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Lingkungan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dan Pak Ketut Sukanata—ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali.
Mereka memaparkan pada kami tentang meningkatnya temuan kasus HIV/AIDS di Bali. Sejak pertama kali ditemukan 3 kasus di Bali pada tahun 1987, jumlah kasus HIV/AIDS terus menanjak, bahkan sejak tahun 2000 meningkat secara signifikan menjadi 108 kasus. Bagaimana dengan tahun 2011? Jumlah kasus HIV/AIDS di Bali secara kumulatif sejak ditemukan pertama kali di Bali pada tahun 1987 sampai akhir Juli 2011, telah tercatat sebanyak 4631 kasus.
Ibarat gunung es, jumlah itu pun baru puncaknya saja lho. Jumlah yang sebenarnya sangat mungkin lebih banyak lagi dari itu, tapi belum terungkap atau terdata.
Terus, gimana dong cara mencegah gunung es itu semakin menjulang? Banyak cara! KPA sendiri berjejaring dengan banyak elemen dalam rangka pencegahan/penanggulangan HIV-AIDS, seperti puskesmas, rumah sakit, tokoh adat, LSM, media, dst. Intinya, untuk menaklukkan gunung es bernama HIV/AIDS ini, tenaga satu-dua orang saja nggak bakal cukup.


Ibarat lima prajurit Power Rangers yang menggabungkan kekuatan untuk mengalahkan musuh *apa sih segala Power Rangers dibawa-bawa -__-“ *, kita semua mesti bersatu untuk menanggulangi HIV/AIDS. Kalau masih penasaran tentang jejaring anti HIV/AIDS di atas, kamu bisa baca sekilas tentang kiprah mereka di sini.
Sesi berikutnya diisi oleh pemaparan Mbak Astara dari Australian Aid (AusAid), tentang kemitraan antara AusAid dan Indonesia dalam memberantas HIV/AIDS dan meningkatkan kualitas hidup ODHA di Indonesia. Pemerintah Australia melalui AusAid sudah berkomitmen senilai AUS$ 100 juta untuk kemitraan ini. Kegiatan yang didanai antara lain konseling dan tes HIV, program Methadon, penyediaan jarum suntik steril untuk para pengguna narkoba suntik, penyuluhan tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS melalui kelompok dukungan sebaya, dan penyediaan obat-obatan untuk ODHA.
Selanjutnya, giliran Mas Danny Yatim, Media & Communication Advisor dari HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI) menjelaskan serba-serbi HIV/AIDS mulai dari istilah baru pengganti ODHA yaitu ODHIV, perilaku beresiko HIV—yaitu perilaku yang memungkinkan pertukaran cairan tubuh dan beresiko menjadi penularan HIV, narkoba, sampai ke selebriti-selebriti dunia yang merupakan ODHA dan mereka tetap menjalani hidup mereka dengan penuh semangat.   
Banyak sekali pengetahuan menarik yang kami dapat hari itu! Tapi jujur nih.. setelah diajak mencerna sekian banyak hal baru, otak saya mulai nge-hang, kelopak mata memberat, dan cacing-cacing peliharaan dalam perut saya juga mulai nge-jazz (satu level lebih parah dari keroncongan).
Untungnya Mas Danny banyak menyisipkan gambar ilustrasi lucu dalam slide powerpoint-nya. Selain itu, materi juga beberapa kali diselingi kuis dadakan seputar HIV/AIDS, misalnya apa saja film dan lagu bertema HIV/AIDS, dan tiga tanggal penting HIV/AIDS. Yang paling gesit menjawab dan berhasil membawa pulang hadiah terbanyak adalah Fadel dan Mbak Vina. Hehe..






Empat film di atas cuma beberapa contoh saja. Yang pernah saya tonton baru Philadelphia dan Thank You. Philadelphia berkisah tentang seorang pengacara yang dipecat dari firma hukum tempatnya bekerja, hanya gara-gara ia ketahuan mengidap AIDS. Pengacara ini tidak patah semangat, dia justru berusaha melawan perlakuan diskriminatif yang diterimanya lewat jalur hukum. Banyak adegan persidangan dengan dialog yang keren. Wajib ditonton.

Thank You bercerita tentang suka duka seorang gadis kecil yang tertular HIV lewat darah yang ditransfusikan padanya. Berbagai perlakuan diskriminatif mulai dialaminya, mulai dari dijauhi teman-teman sekolah, dipukul, sampai diusir dari kampung halaman. Hiks.. mengharukan! Siap-siap tisu aja ya sebelum nonton serial Korea ini! 

Habis itu, apa?
Makan singa, eh.. makan siang dong! Istirahat sejenak!
Cerita dilanjutkan sesaat lagi yaa.. ^o^ *dadah dadah*


~bersambung~

Minggu, 25 Desember 2011

(Book Review) Oppa & I

 


Judul               : Oppa & I
Penulis            : Orizuka & Lia Indra Andriana
Penerbit          : Penerbit Haru
Tebal               : 156 hlm
ISBN                : 9786029832532
Novel Oppa & I sedikit mengingatkan saya pada sepotong dialog dalam film animasi Disney, Lilo & Stitch: “O’hana means family. Family means no one is left behind - or forgotten." O’hana artinya keluarga. Keluarga itu berarti tak ada seorangpun yang ditinggalkan, atau dilupakan.

Senin, 19 Desember 2011

(Book Review) 18 Detik


 


Judul: 18 Detik
Penulis: George D. Shuman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 408 halaman
ISBN: 9789792276237
 
Buat Anda, para penyuka novel thriller, saya wajibkan membaca buku ini. Buat Anda yang tertarik dengan kisah seputar indra keenam atau special gift sejenis, saya juga rekomendasikan buku ini.

Menurut saya, yang membuat 18 Detik berbeda dari banyak novel sejenis adalah cara George D. Shuman, sang penulis, menyajikan adegan-adegan cerita bak keping-keping puzzle yang dijatuhkan seenaknya di atas papan teka-teki; kadang-kadang di kanan, lalu pindah ke atas, atau di ujung bawah.

Kamis, 15 Desember 2011

10 Finalis GoVlog - Field Visit Pun Dimulai

Cerita sebelumnya simak di sini ya ^__~ :


6 Desember 2011
Bandara Ngurah Rai.
Alhamdulillah.. Setelah menempuh penerbangan dari Jakarta selama kira-kira satu setengah jam, kami—enam finalis GoVlog dan dua personil vivanews.com—tiba di Denpasar.

Rabu, 14 Desember 2011

10 Finalis GoVlog - Berangkat ke Bali


Bandara Soekarno-Hatta, Terminal 2F.
6 Desember 2011
Saya duduk di pinggir pot palem di samping sebuah kedai kopi franchise ternama. Bengong. Saya datang kepagian! Memang sih, saya sengaja berangkat pagi-pagi sekali dari rumah karena paranoid akan kemacetan lalu lintas Jakarta. Prinsip saya, di Jakarta, demi mengejar momen-momen penting lebih baik datang lebih awal daripada terlambat dan menyesal. ^.^v
Ehm, memang ada momen penting apa sih? Masih ingat cerita saya sebelumnya tentang terpilihnya saya menjadi salah satu dari 10 finalis lomba blog “Remaja dan HIV/AIDS” yang diadakan AusAid dan vivanews.com? Buat yang belum baca, boleh simak sebentar di sini ya :D Dari 10 finalis yang akan melakukan field visit ke Bali, enam diantaranya berangkat dari Jakarta. Oleh panitia, kami disarankan sudah tiba di bandara paling tidak satu sampai satu setengah jam sebelum jadwal keberangkatan, yaitu pukul 9.55 WIB.

Minggu, 11 Desember 2011

Nominator GoVlog - Meruntuhkan Gunung Es


Percayakah Anda, ada sebuah gunung es di Bali?



Gunung es itu bernama HIV/AIDS.

Lengkapnya, Human Immunodefficiency Virus/ Acquired Immune Defficiency Syndrome. Tidak ada yang tahu persis kapan dia mulai tumbuh dari dasar laut, tapi puncaknya mulai menyembul ke permukaan pada tahun 1987. Saat itu, untuk pertama kalinya ditemukan kasus HIV/AIDS di Pulau Dewata.

Sabtu, 10 Desember 2011

10 Finalis Lomba Blog AusAid - vivanews.com

Awalnya, saya melihat banner iklan lomba ini di blog seorang teman:

Rupanya, Australian Aid dan vivanews.com menyelenggarakan lomba blog ini untuk menyambut Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember. Tema lomba "Remaja dan HIV/AIDS" sukses membuat saya tergelitik untuk ikut serta. Mengapa? Jumlah  ODHA baru di Indonesia terus bertambah, dan ditilik dari usianya banyak di antara mereka yang masih tergolong remaja. Mengenai statistik rincinya, saya pikir sudah banyak diberitakan di media jadi saya tak akan membahasnya di sini.
Tertarik dengan tema tersebut, saya menulis tiga artikel untuk disertakan dalam lomba, judulnya Haipe Eids itu Apa, Bu? , Remaja Harus Melek HIV/AIDS, dan Ayahku ODHA dan Aku Bangga Padanya. Dua artikel pertama lahir karena keprihatinan saya tentang masih rendahnya tingkat pemahaman remaja Indonesia akan HIV/AIDS. Sedikit banyak, hal ini tentu menjadi penyebab tingginya angka penularan HIV/AIDS di kalangan remaja.
Ibarat mengendarai mobil, bagaimana mungkin menghindar dari bahaya terperosok ke jurang kalau tidak tahu jurang itu bentuknya seperti apa?

Senin, 05 Desember 2011

Mama dan Saya: Momen Spesial itu



Belum lama ini saya dan Mama jalan-jalan ke Mal Metropolitan. Niat awal saya sih, menemani Mama cari sandal baru, sekalian saya mau hunting blus putih. Eh tapiii... akhirnya ada beberapa barang belanjaan lain yang terbawa pulang selain sandal dan blus putih (maksutnyaaahh? ^.^" ) yaitu sepasang sepatu buat saya, sebuah kemeja kotak-kotak dan sebuah kaos polo buat suami. Saya menyalahkan promo diskon akhir tahun untuk insiden ini.

Nah, siang harinya kami berdua turun ke musholla di basement untuk sholat Zhuhur. Meski terletak di lahan parkir, musholla ini lumayan agak lapang, sejuk pula air conditioner-nya. Mukena-mukena yang tersedia juga cukup bersih. Kami bergantian wudhu. Mama wudhu lebih dulu, sementara saya menjaga tas kami berdua. Setelah wudhu, saya sholat di samping Mama.

Usai kami sholat, datanglah seorang ibu dengan putrinya yang kira-kira berusia 6 tahun. Tidak seperti beberapa anak kecil lain di sekitarnya yang menangis atau justru lari-larian menjelajah shaf pria ketika ibu mereka sedang sholat, gadis kecil ini mulai mengenakan mukena juga seperti yang dilakukan bundanya, bersiap untuk sholat.