Percayakah Anda, ada sebuah gunung es di Bali?
Gunung es itu bernama HIV/AIDS.
Lengkapnya, Human Immunodefficiency Virus/ Acquired Immune Defficiency Syndrome. Tidak ada yang tahu persis kapan dia mulai tumbuh dari dasar laut, tapi puncaknya mulai menyembul ke permukaan pada tahun 1987. Saat itu, untuk pertama kalinya ditemukan kasus HIV/AIDS di Pulau Dewata.
Sesudahnya, tahun demi tahun puncak gunung itu perlahan bertambah tinggi. Jumlah kasus HIV/AIDS tercatat mulai merambat naik, bahkan sejak tahun 2000 meningkat secara signifikan menjadi 108 kasus. Bagaimana dengan tahun 2011? “Jumlah kasus HIV/AIDS di Bali secara kumulatif sejak ditemukan pertama kali di Bali pada tahun 1987 sampai akhir Juli 2011, telah tercatat sebanyak 4631 kasus,” jelas I Ketut Subrata, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Lingkungan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
Sesudahnya, tahun demi tahun puncak gunung itu perlahan bertambah tinggi. Jumlah kasus HIV/AIDS tercatat mulai merambat naik, bahkan sejak tahun 2000 meningkat secara signifikan menjadi 108 kasus. Bagaimana dengan tahun 2011? “Jumlah kasus HIV/AIDS di Bali secara kumulatif sejak ditemukan pertama kali di Bali pada tahun 1987 sampai akhir Juli 2011, telah tercatat sebanyak 4631 kasus,” jelas I Ketut Subrata, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Lingkungan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
Ya, puncak gunung es itu kian menjulang.
Bongkahan-bongkahan apa saja yang menyusun gunung itu? Faktor-faktor resiko apa yang ikut andil dalam penyebaran infeksi HIV? Ternyata, hubungan seks heteroseksual menduduki peringkat tertinggi jalur penularan (3397 kasus), diikuti penggunaan narkoba suntik (774 kasus), hubungan seks sesama jenis ataupun biseksual (259 kasus), penularan dari ibu ke bayi melalui ASI (114 kasus), serta penyebab tak diketahui (87 kasus).
Bali membutuhkan sebanyak mungkin kekuatan untuk meruntuhkan gunung es HIV/AIDS. Berpasang-pasang tangan sudah bergerak mengikis gunung agar puncaknya tak semakin tinggi dan membahayakan.
Pemerintah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), lembaga non-struktural yang mengkoordinir dan memfasilitasi berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. KPA Provinsi Bali sendiri berjejaring dengan banyak elemen:
Pertama, pusat layanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Pemerintah mengupayakan agar masyarakat lebih mudah mengakses pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan tes HIV, serta mempermudah Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengakses obat-obat antiretroviral (ARV). Semuanya tanpa dipungut biaya. Di Puskesmas Kuta I yang saya kunjungi, misalnya, ada semacam one-stop HIV service yaitu klinik pemeriksaan IMS, klinik Voluntary Counselling and Testing (VCT) yang siap memberi penjelasan mengenai seluk beluk HIV/AIDS dan tes HIV, laboratorium sederhana untuk melakukan tes HIV, dan klinik Methadon untuk membantu para pengguna narkoba suntik (penasun) secara bertahap sembuh dari kecanduannya. Jika ditemukan seorang pasien dengan hasil tes HIV “reaktif”, puskesmas akan merujuk pasien tersebut ke rumah sakit.
Di Provinsi Bali, rumah sakit yang menjadi rujukan HIV/AIDS adalah RSU Sanglah, RSU Singaraja, RSU Negara, RSU Tabanan, RSU Sanjiwani, RSU Klungkung, RSU Wangaya dan RSU Badung. Di rumah sakit, pasien akan menjalani tes konfirmasi HIV untuk memastikan apakah ia benar-benar positif terinfeksi HIV dan tes CD4 untuk mengetahui baik tidaknya kondisi sistem kekebalan tubuhnya saat itu. Selain itu, pengobatan ARV ataupun infeksi oportunistik (IO) untuk ODHA juga tersedia di sini.
Kedua, lembaga/instansi pemerintah seperti KPA tingkat Kabupaten/Kota, dinas sektor, serta lembaga legislatif dan eksekutif sebagai pembuat peraturan, perundangan dan penganggaran. Selain itu, KPA juga bermitra dengan lembaga donor seperti Australian Aid dan Global Fund untuk meluncurkan program-program penanggulangan HIV/AIDS. Secara keseluruhan, Indonesia dan Australia sesungguhnya telah bekerjasama mengatasi HIV selama lebih dari 15 tahun, antara lain dengan mempermudah akses obat-obatan untuk ODHA dan membantu program penyediaan jarum suntik steril bagi penasun.
Ketiga, tokoh adat dan tokoh agama. Nuansa adat masih cukup kental mewarnai kehidupan di Bali. Masyarakat Bali atau disebut juga “kraman” memiliki desa-desa adat yang disebut Desa Pekraman. Desa adat ini diikat oleh adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Di sana, tokoh adat dan tokoh agama dianggap sebagai para pemimpin yang mesti dihormati dan didengar kata-katanya. Maka sangat penting untuk mensosialisasikan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS kepada mereka. Diharapkan, para tokoh ini akan menyebarkan pengetahuannya kepada warga yang dipimpinnya, sekaligus mengajak mereka berpartisipasi bersama pemerintah memberantas HIV/AIDS.
Keempat, klinik-klinik VCT, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergiat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan populasi kunci. Populasi kunci adalah populasi dengan perilaku beresiko tinggi tertular HIV/AIDS, misalnya pengguna narkoba suntik, wanita pekerja seks (WPS), waria pekerja seks, dan gay. Populasi ini seringkali dikucilkan dan dipandang sebelah mata, padahal mereka adalah bagian dari masyarakat Bali juga. Perjuangan melawan HIV/AIDS hanya dapat kita menangkan apabila mereka juga diajak ikut serta.
Di sinilah LSM-LSM memainkan perannya. Di Bali, saya berkesempatan mengunjungi beberapa LSM yang bergerak di bidang kesehatan khususnya IMS dan HIV/AIDS, yaitu Yayasan Spirit Paramacitta (YSP), Yayasan Gaya Dewata (YGD), Yayasan Kerti Praja (YKP) dan organisasi remaja Kita Sayang Remaja (KISARA).
Yayasan Spirit Paramacitta (YSP) bertujuan meningkatkan kualitas hidup ODHA di Bali atau “membuat hidup ODHA lebih hidup”, dengan memberi dukungan untuk mengembalikan rasa percaya diri dan semangat hidup ODHA, konseling HIV/AIDS, mendampingi ODHA berobat atau cek kesehatan, dan menciptakan lingkungan positif bagi ODHA. Di belakang yayasan nirlaba ini berdiri puluhan relawan dan seratusan anggota. Banyak di antara mereka yang merupakan ODHA, WPS, waria, dan gay. Hingga saat ini, YSP telah melakukan pendampingan terhadap lebih dari seribu ODHA di Bali.
Komunitas gay di Bali juga ikut ambil bagian melawan HIV/AIDS. Mereka membentuk Yayasan Gaya Dewata (YGD) yang aktif mensosialisasikan info seputar IMS dan HIV/AIDS dengan tujuan mencegah penyebaran penyakit tersebut pada kelompok gay, waria dan LSL (Lelaki Suka Lelaki) lainnya. Lewat kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan, pembagian kondom sebagai kampanye mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS, kursus menjahit dan keterampilan salon, YGD berusaha melakukan pendekatan terhadap populasi kunci gay, waria dan LSL lainnya.
Satu lagi LSM peduli HIV/AIDS, Yayasan Kerti Praja (YKP), bergiat dalam pencegahan IMS dan HIV/AIDS, pendampingan dan pemberdayaan ODHA. Para pekerja lapangan dan konselor YKP secara rutin mengunjungi kafe, panti pijat, dan tempat-tempat yang biasa menjadi tempat berkumpul populasi kunci yaitu WPS, waria, gay dan LSL lainnya. Mereka diberi penyuluhan dan diajak memeriksakan kesehatan ke klinik IMS dan VCT YKP. Untuk ODHA, YKP juga menyediakan obat-obat ARV, layanan konseling, dan membantu memasarkan kerajinan tangan dari barang bekas, hasil kreasi para ODHA.
Tak mau ketinggalan, remaja Bali pun punya KISARA (Kita Sayang Remaja)—organisasi remaja sukarela di bawah naungan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Dengan visi “membentuk remaja yang bertanggung jawab dari, oleh dan untuk remaja”, KISARA mengajak kaum remaja Bali bergabung bersama menghadapi berbagai problema remaja seperti masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas seperti meningkatnya angka hubungan seks pranikah yang tidak aman, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, penyalahgunaan narkoba hingga HIV/AIDS. Salah satu caranya, dengan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan acara konsultasi di radio-radio remaja. Selain itu, KISARA juga membuka jalur konsultasi remaja via telepon dan e-mail. Keren kan?
Keempat elemen di atas baru sebagian jejaring penanggulangan HIV/AIDS. Cukupkah untuk menghadapi gunung es? Belum! Sekali lagi saya katakan,
Kita membutuhkan sebanyak mungkin kekuatan untuk meruntuhkan gunung es HIV/AIDS.
Anda belum bergabung? Sekarang saatnya. Kita semua bisa dan harus ambil bagian di dalamnya, siapapun kita dan apapun profesi kita. Semakin banyak orang yang menyingsingkan lengan, semakin besar peluang kita untuk mencegah gunung es itu semakin menjulang. Ayo stop HIV/AIDS!
Mau tahu kiprah Puskesmas dan LSM-LSM di atas? Simak di sini:
Puskesmas Kuta I
Jl. Raya Kuta No. 117
Badung, Bali
Tlp 0361 - 751311
e-mail: info@puskesmaskutasatu.com
Yayasan Spirit Paramacitta
Jl. Tukad Buaji Gg. Lotus No. 30,
Tlp 08283600203
Contact person: Putu Utami Desi, SE.
e-mail: bpf@dps.centrin.net.id
Yayasan Gaya Dewata
Jl. Sakura IV No. 8
Denpasar, Bali
Tlp 0361 - 7808250
Contact person: Christian
e-mail: gayadewata@yahoo.com
Yayasan Kerti Praja
Jl. Raya Sesetan No. 270
Banjar Pegok Sesetan
Denpasar, Bali
Tlp 0361 - 728916
Contact person: dr. Dewa N. Wirawan
e-mail: ykpdps@dps.centrin.net.id
KISARA
Jalan Gatot Subroto IV/6 Denpasar,
Gedung PKBI Bali Lantai 3
Tlp 430200
e-mail: remaja@kisara.or.id
ayo singsingkan lengan
BalasHapusbali terkenal dengan pulau yg gaya hidupnya bebas, mungkin karena alasan itu dan kurangnya pengetahuan tentang HIV serta sikap cuek yang mementingkan kenikmatan sendiri yang membuat warga bali banyak yang terkena HIV/AIDS
BalasHapus@Siswanto: sip. yuk! :)
BalasHapus@jimmy63: nah, sumber api sudah ditemukan. sekarang kita mesti cepet2 padamkan sebelum makin tak terkendali! :)
BalasHapus