Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Sabtu, 19 Januari 2013

Cintaku Mentok di Kamu

Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia: Balas Kangenku, Dong!


Tanganku bergerak membuka pintu mobil, tapi Antares menarik tanganku yang lainnya. Kami beradu pandang sejenak.

“Jangan,” katanya.

Akal sehatku memerintahkan hal yang sama. Aku mengabaikan keduanya, dan malah menjejakkan kaki ke aspal. Istri Bahtiar terlalu terperangah untuk berkata apa-apa. Samar kudengar Antares mengumpat, lalu menyusulku keluar dan membanting pintu mobil.

Kini kami berdiri berhadapan, aku dan Bahtiar. Dia menatap perutku yang membuncit, syok. Aku sendiri sedang menutupi bibirku yang gemetar dengan telapak tanganku. Saat itulah dia melihat selingkar cincin platina di jariku. Dulu, di tempat yang sama, terpasang sebuah cincin yang lain. Cincin yang dihadiahkannya saat melamarku. Cincin yang beberapa bulan kemudian kulempar ke wajahnya saat dia bilang akan menikahi perempuan lain.

“Kalian sudah menikah?”

“Ya, September kemarin. Dua bulan setelah...” Dua bulan setelah kau mencampakkanku, bodoh!

Hening. Aku bergerak-gerak gugup di bawah pandangan matanya. Berbeda dengan tatapan Antares yang meneduhkan, sepasang mata milik Bahtiar yang tajam dan menaklukkan selalu berhasil membuatku gugup, sekaligus terpesona.

“Apa kabar, A? Kamu...” Rupanya dia sama canggungnya denganku. Yah, wajar, mengingat kami berpisah dalam situasi menyakitkan. Pandangan matanya kini nanar melekati perutku.

“Kabarku baik... Bayimu sudah lahir, B?” Aku melirik bayi berpipi bulat kemerahan dalam gendongan istrinya. Bahtiar mengangguk kikuk.

“Umurnya dua bulan sekarang... Kami baru selesai dari poliklinik anak. Imunisasi BCG,” lagi-lagi dia memandangi perutku, “Kapan bayimu akan lahir?”

“Bukan urusanmu, Bung,” Antares mendengus sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.

Suasana nostalgia yang aneh antara aku dan Bahtiar buyar. Kami terhempas kembali ke alam nyata. Aku memberi Antares tatapan menegur. Akulah pihak yang disakiti di sini, bukan dia. Kalau ada yang boleh bersikap sengit, akulah orangnya. Bukan dia.

“Menurut dokter, dua minggu lagi,” aku melepas tangan Antares dari pinggangku dan menggenggamnya, “kami sudah menyiapkan nama untuknya.”

Nalini. Abimanyu. Persis yang kita rencanakan dulu, B. Hanya saja, kamu memutuskan keluar dari rencana.   

“Dua minggu lagi?” Bahtiar menatapku menyelidik, “Bukankah itu terlalu dini? Kalau kalian menikah bulan September...”

Aku menggigit bibirku, mengutuk kelancangan lidahku yang berbicara terlalu banyak. Bahtiar mulai curiga memperhatikan gerak-gerikku. Tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.

“Usil betul. Itu juga bukan urusanmu, Bung!” Antares berbalik, masuk kembali ke dalam Ford Convertible-nya. Ia memberi isyarat padaku untuk berbuat serupa. Begitu juga akal sehatku. Kali ini aku menuruti keduanya.

“A!” Bahtiar mencengkeram pergelangan tanganku.

“B! Lepaskan!”

“Apa... Apa ini bayiku?”

Butuh sekian detik hingga lidahku mau bergerak, “Bukan.”

“Lepaskan istriku, Brengsek!” Antares meninju wajahnya, cukup keras untuk membuatnya tersungkur ke aspal.

Bahtiar menyentuh sudut bibirnya yang berdarah, tapi masih memerangkapku dalam tatapannya. “Kau bohong, kan?”

Mendadak, bergumpal-gumpal kemarahan mendesak di dalam diriku. Aku marah karena Bahtiar, setelah apa yang dilakukannya padaku dulu, berani-beraninya mendesakku seperti itu. Di depan istrinya dan suamiku. Aku marah karena aku pembohong yang buruk.

Dan, aku marah karena sekeras apapun aku berusaha melupakan Bahtiar, cintaku masih bersikeras berhenti di dirinya.

“Cukup, B!” bentakku, “Bukan hanya kamu yang bisa meninggalkan masa lalu dan melanjutkan hidup. Aku juga bisa. Dan ini,” aku menyentuh bagian tubuhku, tepat di mana bayi itu berdenyut bersamaku, “adalah bayiku dan Antares. Paham?”

Yang berikutnya kuingat adalah aku membiarkan Antares membawaku meninggalkan huru-hara itu. Antares diam seribu bahasa, tidak membentak ataupun menghiburku. Aku tahu itu artinya dia marah besar padaku. Dia terus mengemudi, membiarkanku menangis sepuasnya hingga badai hatiku mereda.  

“Ambar, aku harus bagaimana?” untuk kali pertama, Antares memecah kebekuan di antara kami.

“Apa maksudmu?”

Antares menghela napas panjang. Ia menepikan mobilnya tiba-tiba.

“Ada bajingan yang pernah menyakitimu dengan menikahi perempuan lain, tapi belum bisa juga kamu lupakan bahkan setelah kamu jadi istriku. Menurutmu, aku harus bagaimana menghadapi dia? Hah?”

Antares menghantam kemudi dengan kepalan tangannya. Dia menumpukan kedua lengan di atas kemudi, lalu membenamkan kepalanya di sana. Aku diam. Kusentuh rambut Antares lembut. Dia menoleh padaku, perlahan memindahkan tanganku ke dalam genggamannya.

“Maafkan aku, Res... Maaf...” aku memandang matanya, mencari sekeping kedamaian di sana, “kamu boleh tidak mempercayai kata-kataku ini, tapi aku benar-benar berusaha keras menuntaskan perasaanku yang masih tersisa pada B.”

Aku membawa tangannya yang besar dan hangat ke wajahku.

“Suatu saat nanti cintaku akan sampai di tempat yang semestinya. Berhenti di dirimu. Sampai saat itu tiba, kumohon tunggu aku di sana... Kau bersedia, Res?”

Antares menarikku mendekat, lalu mendaratkan satu kecupan di keningku, lama. Aku memejamkan mata dan tersenyum.

Kurasa itu berarti jawabannya ‘Ya’.



*

5 komentar:

  1. hahaha.. bahtiar kayak nama temenku dan dia ga mungkin menghamili anak gadis orang hehehe...

    salam kenal mbak ruri..

    BalasHapus
    Balasan
    1. huaaa, apabila ada kesamaan nama, tempat atau peristiwa dalam cerita ini, itu hanya kebetulan belaka, mas. hehehe... salam kenal kembali :D

      Hapus
  2. udah baca dari kemaren tapi belum ngabsen
    hahaha
    #penting

    BalasHapus
  3. Mbak Ambar kethokane galau pisaan.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho-oh, mbak... Angel tenan arep move-on.

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)