Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Kamis, 24 Januari 2013

Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh


Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia: Catatan Stella: Menanti Lamaran



Jadi, begitulah caraku memenangkan Bahtiar. Mungkin sedikit curang, tapi pernahkah kalian dengar idiom ini? Everything is fair in love and war. Dan aku berhasil. Tadinya kupikir begitu.

Saat bayi perempuanku lahir, Bahtiar, sama seperti halnya diriku, tampak terpesona tak habis-habisnya pada makhluk cantik itu. Bahkan kuapannya pun bisa membuat kami tersenyum.

“Apakah nama Lelie bagus untuknya?” kataku waktu itu.

Bahtiar mengulas senyum samar.

“Kau punya nama cantik lainnya, mijn man1?”

Selagi dia berpikir, aku mengamati wajah berahang kukuhnya. Kelak aku akan memberinya anak-anak yang sehat dan kuat. Darah dagingnya. Tapi biarlah dia mengira bayi ini anak kandungnya.

“Dia tidak mirip aku.”

Sejenak kurasakan diriku membeku, tapi lalu dia berkata, “Dia lebih mirip dirimu, Stella. Dia akan jadi secantik ibunya.”

“Ah.”

“Bagaimana dengan Nalini Sarisha? Itu dua kata Sansekerta untuk ‘cantik’ dan ‘mengagumkan’.”

“Nalini,” aku menatap bayi yang menggeliat dalam dekapanku, “Sarisha. Aku suka itu.”

Hingga bertahun-tahun sesudahnya, kukira kebahagiaanku telah sempurna. Bahtiar, ayah dan suami yang baik. Dia menjagaku dan Nalini seperti melindungi permata di dalam kotak kaca.

Bahtiar juga masih sahabatku yang terkarib. Setiap malam, setelah Nalini tidur, kami menghabiskan waktu dengan memperdebatkan berita hangat atau musik yang disiarkan di radio. Di penghujung semua itu, dia selalu berpesan padaku sebelum tidur, “Bangunkan aku pukul tujuh.”

Dia memang harus bangun pukul tujuh kalau tak ingin terlambat pergi bekerja. Ada mata kuliah yang harus diajarnya pagi-pagi.

Kadang-kadang, aku terjaga di tengah malam tanpa dia di sampingku, dan mendapatinya duduk terpekur di ruang tengah, berkutat dengan kertas dan buku.

“Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” katanya.  Atau, “Tidurlah. Sebentar lagi aku selesai.” Lalu, dia akan kembali ke kamar kami dan berpesan untuk dibangunkan pukul tujuh.

Suatu malam aku mendapati Bahtiar dengan kepala tertelungkup di atas meja. Kupikir dia tertidur, dan berjingkat hendak membangunkannya. Tapi tidak. Samar kulihat bahunya terguncang-guncang pelan. Sebelah tangannya mencengkeram rambutnya. Tangannya yang lain memegang selembar kertas. Lirih, kudengar isaknya.

Aku membeku di ambang pintu, lalu diam-diam menyingkir.

Malam-malam berikutnya, aku mengintainya. Diam-diam, kubuntuti dia keluar kamar. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, aku bisa melihatnya mengambil sesuatu dari laci yang terkunci. Sehelai kertas.

Bahtiar duduk separuh memunggungiku, dan membaca isi kertas dengan cermat. Semakin lama dia membaca, semakin tampak gerak-geriknya yang resah. Dia menggerakkan lengannya, seperti sedang menghapus airmata yang tak habis-habis. Di akhir sedu sedannya yang pelan, dia membawa lembaran itu ke bibirnya, seperti seorang lelaki mengecup kekasihnya.

Saat dia beranjak untuk menyimpan kembali benda itu, aku tersaruk menuju kamar. Pura-pura masih pulas bermimpi, padahal benakku terjaga sampai pagi.

Apa yang dibacanya setiap malam? Apa yang membuatnya menangis? Kenapa dia merahasiakannya dariku, zijn vrouw2? Pertanyaan-pertanyaan menghantuiku.

Aku mencemaskannya, sekaligus kecewa karena dia tidak cukup mempercayaiku untuk berbagi.

Suatu malam dia pulang terlambat karena janji diskusi dengan mahasiswanya di kampus. Setelah menidurkan Nalini, aku berdiri di depan meja itu. Memandangi lacinya yang bisu terkunci seperti kotak pandora.

Apa isinya?

Aku menemukan perkakas di gudang, dan merusak kunci itu. Di dalamnya ada selembar kertas terlipat, agak lusuh seperti terlalu sering dibuka dan dilipat kembali. Itulah satu-satunya benda dalam laci itu.

Aku membaca tulisan huruf-huruf sambung yang indah di dalamnya.

“My dearest B,

‘Kita.’

Huruf-huruf yang mampu meleburkan dua jiwa berbeda, aku dan kamu, menjadi satu...


Aku mendudukkan tubuhku yang limbung ke kursi. Meski tak ingin, mataku terus terhunjam ke sana, membaca surat itu sampai bagian terakhir.

‘Kita.’

Kita terurai paksa, kembali menjadi aku dan kamu yang asing satu sama lain. Pintalan mimpi kita musnah, tiada. Sekedar istana pasir yang luluhlantak terhela ombak. Ombak itu berwujud seorang perempuan dari masa lalumu. Orang ketiga yang merampas ‘kita’ dariku.

Sejak itu, ‘kita’ bukan aku dan kamu yang menyatu.

Mulai detik itu, ‘kita’ adalah kamu dan dia.

Jadi inilah, B. Kita berpisah di persimpangan takdir. Kamu ambil jalanmu, dan aku pilih jalanku sendiri. Kemanapun ini menuju, kuharap ada akhir yang bahagia di sana.


Salam terakhirku,

A.”

Jika biasanya Bahtiar yang duduk di sini, kali ini akulah yang berada di tempatnya, termangu memegang surat itu. Surat dari Ambar. 

Kupikir aku telah menyingkirkannya dari benak Bahtiar. Kupikir diriku dan bayiku sudah cukup untuk menghapus kenangannya bersama perempuan itu. 

Kupikir aku berhasil memenangkan Bahtiar.

Oh, Stella tolol!

Aku hanya berhasil merantai tubuhnya di sisiku, tapi tidak hatinya.

Saat dia tersenyum padaku, dia sedang tersenyum pada perempuan lain. Saat dia bisikkan kata-kata cinta, dia sedang menyatakan cinta pada perempuan lain. Saat aku ada dalam dekapannya, yang dia harapkan ada di sana adalah perempuan lain. 

Aku melolong, murka dan kecewa. Aku ingin melumat surat itu jadi serpihan-serpihan kecil sebelum membakarnya, tapi sepasang tangan kokoh menghentikanku pada robekan pertama.

“Hentikan, Stella!” hardiknya menggelegar.

Direbutnya robekan itu dariku, dan dipandanginya dengan patah hati.

“Jadi ini yang kamu tangisi setiap malam? Ini rahasiamu? Bahwa selama enam tahun kita bersama, kamu selalu memikirkan Ambar? Hah?”

Hening.

“Jawab aku,” kataku, setengah memohon.

Dia hanya menatapku dengan sorot terluka, yang selama ini aku terlalu buta untuk melihatnya. Dibenahinya potongan surat itu, lalu dilipatnya hati-hati. Disimpannya baik-baik benda itu di saku kemeja.

Bahtiar berbalik pergi menuju ke kamar, namun di ambang pintu dia menoleh.

“Bangunkan aku pukul tujuh...” katanya, sama seperti malam-malam sebelumnya. 
Dalam kepalan tanganku, ada sisa robekan surat. 

Di dalamnya, ada nama yang seharusnya untuk bayi perempuan mereka. Nalini Sarisha.  



*



Terjemahan:

  1. Mijn man : suamiku
  2. Zijn vrouw : istrinya

3 komentar:

  1. bangunkan ayu kalo udah ada cerita selanjutnya ya mbaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo bangun, banguuun... udah ada tuh! :D

      Hapus
  2. Ternyata mbak suka nulis fiksi ya, yuk ikutan Giveaway Flash Fiction BeraniCerita.com! DL 21 Feb ya! Jangan ketinggalan!

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)