Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Jumat, 02 Januari 2015

(Book Review) The Five People You Meet in Heaven


Judul             : The Five People You Meet in Heaven
Pengarang     : Mitch Albom
Penerjemah   : Andang H. Sutopo
Penerbit         : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal              : 208 halaman

Ini adalah buku kedua Mitch Albom yang saya baca. Jika dalam Sang Penjaga Waktu, Mitch Albom mengubek-ubek filosofi waktu, maka kali ini ia membahas konsep yang tak kalah menggelitik: kehidupan setelah kematian.

Secara mengejutkan, Mitch Albom membuka adegan dari akhir cerita, yaitu hari terakhir Eddie hidup di dunia.

Memang kelihatannya aneh memulai kisah dari akhir. Tapi semua akhir adalah juga permulaan.

Eddie, yang bekerja sebagai petugas pemeliharaan wahana di taman hiburan Ruby Pier, tewas karena berusaha menyelamatkan seorang gadis kecil dari kecelakaan wahana. Sungguh ironis, kematian Eddie terjadi tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-83. 

Alur cerita dibuat maju mundur untuk menjelaskan kejadian-kejadian yang sekilas tak berkaitan, namun ternyata saling bertaut dan mempengaruhi jalan hidup Eddie.

Tidak ada kisah yang berdiri sendiri. Kadang-kadang kisah-kisah saling bertemu di sudut, dan kadang-kadang saling tumpang tindih bagaikan batu di dasar sungai.

Eddie membenci hidupnya yang tak berarti dan membosankan. Hidup macam itu itu bukanlah impiannya waktu muda dulu, tapi ada hal-hal yang membuat Eddie harus memilih jalan yang tak disukainya, lalu terjebak di sana sepanjang sisa usianya.

Setiap siang ia berkeliling taman hiburan, memeriksa setiap wahana, kalau-kalau ada papan-papan yang lepas, baut-baut yang kendur, baja-baja yang rapuh. Di baju seragam kerjanya ada label di dada, bertuliskan EDDIE di atas kata MAINTENANCE, dan kadang-kadang orang menyapanya dengan, "Apa kabar, Eddie Maintenance," walaupun Eddie tidak pernah menganggap itu lucu.

Kini, setelah perjalanan hidupnya di dunia berakhir, maka dimulailah perjalanan baru: di alam baka. Eddie mendapati dirinya ada di tempat-tempat dan suasana yang janggal, bertemu lima orang yang tak terduga di sana. Sebagian dikenalnya, baik dengan cinta atau benci. Sebagian lagi tak dikenalnya, tapi tanpa disadari mereka telah mengubah hidup Eddie.

"Orang-orang asing adalah keluarga yang masih belum kau kenal."

Dalam perjalanan itu, Eddie menapaktilasi hidupnya yang sudah lewat. Belajar memahami hidup dari lima sudut pandang yang berbeda. Belajar merelakan masa lalu, memaafkan orang lain, juga diri sendiri, supaya ia bisa melanjutkan perjalanan.

"Ada lima orang yang akan kautemui di alam baka. Masing-masing dari kami ada di kehidupanmu karena suatu sebab. Kau mungkin tidak tahu alasannya pada saat itu, dan itulah sebabnya ada alam baka. Untuk mengerti tentang kehidupanmu di dunia."

"Aku di sini untuk menceritakan kisahku, yang jadi bagian dari kisahmu."

Saat mulai membaca, buku ini terasa datar dan membosankan. Apalagi nasib Eddie si tokoh utama jelas-jelas sudah dibeberkan di awal cerita. Tapi saya terpikat pada cara Mitch Albom mengajak pembacanya untuk merenung soal kehidupan, kematian dan maknanya.

Gagasan Albom tentang alam baka mungkin terasa kontroversial dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama yang kita kenal, namun inilah bukti kekuatan imajinasi manusia yang bisa "menciptakan" dunia baru dalam benaknya. Dalam halaman pembuka, Albom membuat catatan kecil bahwa alam baka yang ditulisnya di buku ini, bahkan tokoh Eddie itu sendiri, terinspirasi dari kenangan Albom akan pamannya.

Sayang sekali judul aslinya yang lumayan spektakuler dan memancing penasaran diterjemahkan menjadi terdengar biasa saja: Meniti Bianglala. Apakah karena bianglala berkaitan erat dengan wahana dan pekerjaan Eddie? Entahlah. Yang jelas saya jauh lebih suka judul aslinya.

Cerita diselingi bab-bab berjudul Hari Ini Hari Ulang Tahun Eddie, memotret cuplikan-cuplikan kehidupan Eddie sejak masih kanak-kanak sampai dewasa. Dari sini kita mengenal Eddie lebih jauh. Di mana Eddie tumbuh, dalam keluarga macam apa dia dibesarkan, ayah macam apa yang dimilikinya, perempuan mana yang jadi pendamping  hidupnya. Hal-hal inilah yang membentuk Eddie beserta keputusan-keputusan yang dipilihnya di masa depan.

Bagian favorit saya adalah "kerumitan" hubungan antara Eddie dan ayahnya. Eddie amat membenci ayahnya, sekaligus tak bisa berhenti berharap akan kasih sayangnya. Di sisi lain, ayah Eddie yang berwatak keras bukanlah orang yang mudah mengekspresikan rasa sayang.

Semua orangtua merusak anak-anak mereka. Tak bisa dihindari. Anak-anak, seperti gelas cair, mengikuti bentuk yang dibuat oleh pencetak mereka. Sebagian orangtua membuat buram, sebagian membuat retak, sebagian lagi meremukkan masa kecil menjadi pecahan-pecahan yang tak mugkin lagi diperbaiki.

Satu lagi bagian favorit saya, saat Eddie bertemu dengan orang kelima di alam baka. Orang yang tak pernah sempat dikenalnya, tapi terus menghantui mimpi-mimpi buruk Eddie semasa hidup. Orang inilah yang menyadarkan Eddie, bahwa hidupnya berarti bagi banyak orang.

"Aku sedih karena tidak melakukan apa pun dalam hidupku. Aku bukan apa-apa. Aku tidak menghasilkan apa pun. Aku merasa tidak berguna."

"Kau harus di sana," katanya.

"Di Ruby Pier? Memperbaiki wahana? Itukah kegunaan hidupku? Kenapa?"

"Anak-anak," katanya. "Kaulindungi mereka. Kaubuat mereka aman."

"Tempatmu di sana," katanya, lalu ia menyentuh nama di baju Eddie, "Eddie Maintenance."

Satu hal yang terus membuat Eddie bertanya-tanya adalah, nasib gadis kecil yang coba diselamatkannya di dunia. Berhasilkah Eddie menolong gadis itu tepat pada waktunya?

4 komentar:

  1. Kata temanku memang buku ini datar dan membosankan walaupun sebenarnya ceitanya bagus. Tapi mungkin juga karena tejemahannya kurang oke.. sudah nyoba baca versi aslinya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beloooom. Tp diksi Mitch Albom indah.. jd tetep bisa menikmati sih. Di versi aslinya mungkin lebih indah lagi ya.. :)

      Hapus
  2. Sepertinya menarik mbak Ruri,
    saya memang belum pernah baca karya-karya Mitch Albom.
    Btw. sekarang saya lagi keasyikan baca "Hamba Sebut Paduka Ramadewa" -nya Herman Pratikto

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah kayaknya ngga kalah seru tuh buku yg mas baca :D makasih sudah berkunjung yaa

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)