Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 22 Januari 2013

Catatan Stella: Menanti Lamaran



Aku menghisap rokokku dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Batang yang keberapa ini? Ah, masa bodohlah. Aku berhenti menghitung sejak berjam-jam lalu. Tepatnya, sejak aku pulang dari rumah sakit tadi malam, membawa suatu rahasia. 

Stella... Niet geslapen, ja1?” Adriaan bergumam padaku dengan suara mengantuk. Kedua matanya setengah terpejam. “Pukul berapa ini...?” 

“Pukul tiga pagi, Adriaan,” kataku, menikmati hisapan terakhir sebelum melumat puntung rokokku ke asbak di atas nakas.

“Hmm,” jawabnya, lalu berguling membelakangiku.

Aku menyelinap kembali ke balik selimut.

“Adriaan.”

“Hmm?”

Aku menimbang-nimbang. Haruskah kuberitahu Adriaan rahasiaku? Hubungan kami baru berlangsung sebentar. Sejujurnya, hubungan ini bahkan lebih berupa simbiosis mutualisme belaka. Adriaan butuh seseorang untuk mengisi kesepiannya. Aku butuh seseorang untuk mengalihkan hatiku dari mantan kekasihku.

Mantan? Ah, niet2. Aku dan lelaki itu bahkan tak pernah jadi sepasang kekasih. Dia hanya menganggapku sahabat, yang menyenangkan untuk diajak berdebat tentang apapun. Tentang kebencian ingenieur3 Soekarno pada Amerika, yang dianggapnya absurd. Tentang buku Jane Austen yang digemarinya; Pride and Prejudice. Tentang Elizabeth Bennet, tokoh utama dalam buku itu, yang menolak tunduk pada definisi “terhormat” pada zamannya. Zaman di mana seseorang haruslah kaya raya atau berdarah bangsawan untuk bisa disebut “terhormat”.

“Stella, kamu ini tidak hanya cantik, tapi juga cerdas, dan tak sungkan memperlihatkan kecemerlanganmu pada siapapun. Ini,” katanya di setiap akhir perbincangan seru kami, “adalah kemewahan yang jarang kutemui pada perempuan-perempuan pribumi asli. Terutama perempuan Jawa. Mereka terbiasa dipingit dan menuruti kata-kata kaum lelaki.”

Aku sudah terlampau sering mendengar lelaki menyebutku cantik. Pertama, Papa. Dia selalu memanggilku mijn mooie lelie. Bunga liliku yang cantik. Kedua, mantan-mantan kekasihku. Postur tinggi dan garis wajah Eropa yang kudapat dari Papa Willem, mereka sebut cantik. Kulit langsat dan rambut ikal legam yang kuperoleh dari Mama Hartini juga mereka bilang cantik.

Tapi kenapa hatiku bergetar hanya ketika lelaki itu yang memujiku? Kenapa senyumku tak bisa berhenti mekar hanya karena dia bilang, aku mengingatkannya pada Elizabeth Bennet?

Tak terbilang lagi waktu yang kami isi dengan obrolan intim yang panjang, pertengkaran, sesapan kopi (atau, dalam kesempatan yang sangat jarang, brendi), serta kepulan asap rokok.

Sampai suatu malam, kami terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak menyesap alkohol. Semuanya tampak kabur, dan tahu-tahu kami terbangun esok paginya di atas ranjang yang sama, hanya terbungkus sehelai selimut. Dia tampak sangat bingung, terus-menerus minta maaf padaku atas “peristiwa semalam” yang bahkan tak diingatnya.

Tapi aku ingat. Semuanya.

Tatapan matanya yang tajam. Lengannya yang kokoh. Bibirnya yang terasa manis di bibirku.

Diam-diam aku jatuh cinta padanya. Diam-diam aku berharap dia punya rasa yang sama untukku. Aku bermimpi suatu saat dia akan memintaku menjadi zijn vrouw. Istrinya.

Nyatanya, hubungan kami tak kemana-mana. Aku tak pernah beranjak dari posisi lamaku yang terkutuk: zijn beste vriend. Sahabat karibnya. Dia mengagumiku hanya karena jiwa liberalku, yang kuwarisi dari mendiang Papa. Dia betah bersamaku sebab kami seide, sejiwa. Tapi tidak sebagai kekasih.

Penantianku kandas saat suatu hari dia berlari padaku dan berseru, “Stella! Aku bertemu seorang gadis!”

Lalu, tanpa bisa kubungkam, dia bercerita tanpa henti tentang gadis pribumi itu. Matanya berbinar membahas senyum simpul, wajah tersipu, bahkan kegalakan perempuan itu saat dia coba merayunya.

Politik, sastra, dan seisi dunia tersingkir dari pembicaraan kami. Dia terus mencekokiku dengan cerita asmara mereka, sementara aku pura-pura antusias mendengarnya.

Hanya dua bulan berselang, dia datang memamerkan cincin emas itu.

“Cantik kan?” ujarnya bahagia.

Aku menatapnya nanar, lalu menjawab, “Cantik,” meski tahu cincin itu bukan untukku.

“Aku akan melamarnya malam ini, lalu kami akan menikah tahun depan. Tentu saja kalau dia menerima lamaranku...”

“Absurd! Kalian baru dua bulan saling mengenal!”

“Dua bulan, duabelas tahun. Apa bedanya, Stella? Kami saling mencintai.”

Aku menghilang berhari-hari. Bersembunyi di kamar sewa temanku, menangis sepuasnya dan hanya berhenti saat tegukan-tegukan brendi berhasil menumpulkan hatiku. Temanku prihatin dan memperkenalkan Adriaan, orang berdarah campuran sepertiku.

“Siapa tahu kalian saling cocok.”

Dan dalam waktu singkat, aku sudah bersama Adriaan.

 “Adriaan, aku ingin bilang sesuatu.”

“Apa?”

“Aku hamil.”

Aku merasakan tubuhnya mengejang sesaat.

“Semalam aku ke rumah sakit. Dokter bilang aku hamil.”

Hening.

“Siapa ayahnya?”

Aku terduduk.

“Apa maksudmu? Kaulah ayahnya.”

“Kau yakin?”

“Yakin!” teriakku jengkel, “Berbaliklah dan biarkan aku melihatmu.”

Aku ingat merasa lega ketika mendapat haid setelah “peristiwa semalam” dengan “sahabatku”. Lalu aku terus bersama Adriaan, dan sejak itu aku belum haid lagi. Sudah telat dua minggu.

Adriaan tersadar penuh sekarang. Dia menatap kanopi tempat tidur. Gelisah.

“Kapan aborsinya?”

“Apa?” Aku tidak tuli kan? “Aku tidak mau aborsi.”

“Kita tak mungkin menikah secepat itu. Kita kan... baru saling kenal. Yah, aborsi atau tidak, itu kuputusanmu. Tapi aku tak ingin terlibat.”

Malam itu kuakhiri dengan hengkang dari kamar Adriaan. Ohya, aku sempat menamparnya. Bagaimanapun, jiwaku tertampar berkali-kali lipat lebih sakit. Tak adakah yang benar-benar peduli padaku?

Suara Papa terngiang lembut, “Mijn mooi lelie, kuatlah. Beranilah!”

Papa sudah mengajariku untuk jadi gadis pemberani, tapi lupa mengajariku cara sembuh dari patah hati. Aku sudah menunggu dia begitu lama, tapi justru gadis lain yang memenangkannya.

Wacht alleen voor degenen die zwak zijn. Vergeet niet dat!4

Langkahku terhenti.

Kuulang lagi, dan lagi kalimat Papa.

Wacht alleen voor degenen die zwak zijn.”

Menunggu hanyalah untuk mereka yang lemah.

Papa benar. Apa yang kudapat dari penantian? Tidak cinta sejatiku. Tidak juga Adriaan.

Aku tidak akan pasrah. Tidak akan pernah menunggu lagi.

Aku harus mengejar apa yang hendak kuraih.

Aku memaksa otakku bekerja sepanjang perjalanan pulang. Rencana mulai tersusun, satu-persatu. Aku membasuh wajahku. Memulasnya dengan bedak tipis dan gincu berwarna pucat. Memasang ekspresi bingung yang tepat untuk lelaki tercintaku.

Lalu, dengan tenang aku datang ke pintu rumahnya. Membiarkannya menyambutku, kaget sekaligus senang karena aku muncul setelah sebulan lebih menghilang. Dan, ini dia.

“Bahtiar...”

Aku tak mau menunggu lagi.

“Aku hamil.”

*





Terjemahan:

  1. Belum tidur ya?
  2. Bukan
  3. Insinyur
  4. Menunggu hanyalah untuk mereka yang lemah. Ingat itu!

6 komentar:

  1. eeeeeeeeeeeeeh?
    haduuuh..

    #makin penasaran

    BalasHapus
  2. hadeuuh ini toh yang ngerebut bahtiar ...

    BalasHapus
  3. hiks..
    kasian bahtiar, ambar, abimanyu :'(

    keren..

    BalasHapus
    Balasan
    1. belum sempet bersatu tapi udah berpisah aja ya... T.T

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)