Kalau boleh kuceritakan tentang momen favoritku di sore hari, itu adalah saat mengamatimu di taman kota dekat apartemen kita. Kamu selalu memilih duduk di atas hamparan rumput, asyik sekali membaca buku.
Kau mengenakan blus biru, senada dengan langit kala itu. Kau biarkan saja angin musim gugur bermain-main sepuasnya di sela rambutmu. Wajahmu tidak berpulas apapun kecuali sebuah senyum meneduhkan. Sesekali, beberapa tetangga lewat dan menyapamu, membuat senyummu melebar menjadi tawa.
Saat musim dingin tiba dan taman ini diselimuti salju, aku pasti akan merindukan tawa hangat itu. Maka, diam-diam kuabadikan dengan kamera digitalku.
Saat musim dingin tiba dan taman ini diselimuti salju, aku pasti akan merindukan tawa hangat itu. Maka, diam-diam kuabadikan dengan kamera digitalku.
"Dia istrimu ya, Nak? Cantik!" satu suara lembut menyapaku.
Ah, rupanya sepasang suami-istri lansia yang duduk di sebelahku. Aku cuma tersenyum salah tingkah. Tiba-tiba, pandangan kita bertemu. Kamu tersenyum sejenak, sebelum kembali fokus pada buku di pangkuanmu. Terus terang saja kubilang, senyumanmu mantera. Di bawah pengaruh mantera itu, aku jatuh cinta.
Kurasakan urat-urat di pelipisku berdenyut, bersicepat dengan helaan nafasku. Darahku mendidih. Kuremas kertas putih itu hingga remuk dalam kepalan tanganku, lalu melemparnya tanpa ampun ke perapian yang menyala-nyala.
Kutemukan surat cinta itu, tersembunyi dalam laci. Untuk Frida, istriku, dari lelaki lain.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)