Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Jumat, 27 Maret 2015

(Book Review) Kaas


Judul             : Kaas
Pengarang    : Willem Elsschot
Penerjemah  : Jugiarie Soegiarto
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama

Selama puluhan tahun, Frans Laarmans merasa puas dengan hidupnya yang datar. Jadi pegawai surat-menyurat di General Marine and Shipbuilding Company, menerima gaji pas-pasan setiap bulan, hidup bersama istri yang hemat dan setia, serta dua anak yang tidak pernah bertingkah macam-macam. 

Satu-satunya kejadian dramatis yang baru-baru ini dialaminya adalah ketika ibunya yang renta dan sudah lama terkena pikun, wafat. Frans dan abang-abangnya mengadakan acara pemakaman. Di sanalah Frans bertemu Mijnheer Von Schoonbeke, pasien sekaligus teman Karel--abang Frans yang berprofesi sebagai dokter. Von Schoonbeke sangat menghormati Karel, maka ia juga bersikap baik pada Frans. Ia mengundang Frans ke jamuan makan malam di rumah mewahnya. Merasa tersanjung atas undangan itu, Frans memenuhinya. 

Ternyata, jamuan itu dihadiri teman-teman Von Schoonbeke; kalangan elite di Belgia. Walau tuan rumah menyambutnya ramah, Frans minder berada di sana. Tema obrolan mereka sama sekali ngga nyambung dengan kehidupan Frans: bisnis (yeah, kayak Frans ngerti aja), restoran mana yang makanannya enak (istrinya akan melotot kalau tahu harga makanannya), mobil model terbaru (Frans tak pernah mimpi untuk punya mobil, yang model lama sekalipun), juga travelling keluar negeri (seumur-umur, Frans keluar kota saja tidak pernah).

Tadinya, Frans berusaha membaur, sesekali melontarkan topik diskusi tapi selalu salah bicara. Akhirnya ia lebih banyak diam di pojokan. Garing ngga sih? Meski begitu, Frans enggan meninggalkan jamuan mingguan itu karena dua alasan. Pertama, tak enak hati pada tuan rumah yang telanjur memperkenalkannya secara terhormat sebagai "Mijnheer Laarmans dari perusahaan perkapalan"

Jika mereka mendapatinya bersama orang yang tak dikenal, ia akan memperkenalkan orang baru itu sedemikian rupa sehingga mereka akan menghargai orang tersebut setidaknya seratus persen lebih tinggi daripada keadaan sesungguhnya.

"Jadi, Anda ini insinyur," kata pria bergigi emas yang duduk di sebelahku.

"Inspektur," temanku Van Schoonbeke menukas.

Padahal sih aslinya jabatan Frans di sana cuma pegawai rendahan.

Kedua, jadi muncul semacam ego dalam diri Frans bahwa ia juga harus punya sesuatu yang bisa dipamerkan ke teman-teman barunya. Mendadak, pekerjaan yang sudah ditekuninya selama 30 tahun, jadi tampak remeh. Maka, begitu Von Schoonbeke menawarinya untuk beralih profesi menjadi pengusaha keju, Frans langsung berminat. 

Abang dan istrinya kurang setuju dengan keputusan Frans yang terburu-buru. Mereka juga kuatir pekerjaan Frans di General Marine akan terancam. Lagipula, selalu ada resiko gagal dalam berbisnis. Tapi karena Frans ngotot, akhirnya mereka mendukung juga. 

Istrinya mengusulkan, selama menjajaki bisnis baru, Frans jangan berhenti dari pekerjaan tetapnya, melainkan harus pura-pura sakit sehingga tidak perlu datang ke kantor. Karel malah memberinya surat dokter yang menyatakan Frans kena penyakit syaraf (semacam depresi gitu) sehingga butuh istirahat selama 3 bulan. 

Berbekal surat rekomendasi dari Von Schoonbeke, Frans datang ke PT. Hornstra, salah satu perusahaan pemasok keju terbesar di Belanda. Frans akan memperoleh 300 gulden setiap bulan plus komisi 5% dari hasil penjualan. Dimulailah petualangan Frans sebagai pedagang keju edam! 

Kini terbentanglah dunia keju bagiku. 

Frans dipenuhi luapan optimisme baru. Penuh semangat, Frans memikirkan nama untuk bisnis kecilnya, memasang pesawat telepon, malah sampai berniat memesan kertas dengan kop surat segala. 

Saat jamuan makan berikutnya, Von Schoonbeke bahkan menyebut Frans sebagai "Mijnheer Laarmans, pedagang besar bahan makanan!". Orang-orang mulai menganggapnya penting dan melibatkannya dalam percakapan. Rasa percaya diri Frans langsung melesat naik.

Namun optimisme Frans harus teruji ketika 20 ton keju edam pertamanya datang. Sanggupkah Frans menjual semua itu dan menjadi pedagang keju yang sukses?

*

Dulu, pertama kali melihat cover Kaas yang minimalis tapi ngejreng itu, saya langsung tertarik beli. Meski buku ini udah lamaaaa banget selesai dibaca, saya ingin menulis resensinya di sini.  Kenapa? Karena temanya lumayan menggelitik, tentang seorang karyawan kecil yang ingin memperbaiki hidupnya dengan berbisnis sendiri. 

Lebih baik mana, jadi pegawai atau punya usaha sendiri? 

Rasanya pertanyaan ini selalu jadi bahan diskusi panas dalam keseharian kita. 

Sebagian berpendapat, lebih baik jadi pegawai bergaji tetap. Sehari dua tak masuk karena izin atau sakit, masih dibayar utuh tiap bulan. Kalau beruntung, bisa dapat tunjangan dan asuransi yang lumayan. Menjadi wiraswastawan itu penuh resiko. Iya kalau dagangan laku. Iya kalau sukses. Banyak juga lho yang bangkrut atau ditipu rekanan.

Sebagian lainnya mengelu-elukan kerennya punya usaha sendiri. Jadi bos bagi diri sendiri meski baru tahap merintis usaha, itu lebih bagus ketimbang digaji besar tapi sebagai bawahan orang lain. Sudah setia mengabdi pada perusahaan, eh bisa aja lho di-PHK! Kalau jadi wiraswastawan, malah bisa bantu membuka lapangan pekerjaan buat orang lain kan?

Frans Laarmans termasuk yang ingin mengubah nasibnya jadi lebih baik dengan menjadi pebisnis. Tapi ternyata, menjadi wiraswastawan tak semudah yang dikira Frans. Butuh kerja keras supaya 20 ton keju yang duduk manis dalam gudangnya itu terjual! Semangat dan usaha Frans sebagai pemula boleh dipuji sih, meski tak semuanya terwujud sesuai angan-angan. 

Salah satu hal yang saya suka dari Kaas adalah, betapa dukungan keluarga itu penting dalam jatuh-bangun karir seseorang. Istri Frans memang menentang ide soal berdagang keju, tapi toh ia tetap menghargai antusiasme suaminya, tetap memberi nasihat tanpa menyinggung ego suaminya, dan untungnya Frans juga mau mendengar masukan dari keluarganya. Ini terbukti menyelamatkan Frans dari resiko kehilangan pekerjaan di tempat lamanya. Saat bisnis keju tak berjalan mulus, istri Frans sama sekali ngga melontarkan celaan semacam "Tuh kan, apa gue bilaaang?". Hehehe.  

Di sisi lain, ada pelajaran berharga juga yang bisa ditarik dari kumpulan orang elite di sekitar Von Schoonbeke. Kadang kita mudah silau dengan keberhasilan orang lain, dan terburu-buru ingin jadi seperti mereka. Padahal, keberhasilan itu bukan sesuatu yang instan dan gampang diraih. Butuh proses panjang, dan mungkin juga berkali-kali gagal, sebelum mencapai sukses. Sayangnya, saat silau kita lupa mempelajari bagaimana perjalanan orang-orang sukses itu sebelum menjadi dirinya yang sekarang.

Perubahan apa pun yang ingin kita lakukan dalam hidup, harusnya datang dari passion. Dari keinginan sendiri, bukan sekedar ikut-ikutan seperti Frans Laarmans yang mendadak minat berbisnis sendiri karena ingin membuktikan bahwa dirinya pantas bergabung dalam kelompok elite Von Schoonbeke.

So, what's the answer for  "Lebih baik mana, jadi pegawai atau punya usaha sendiri?"  

Cuma kita yang bisa menjawabnya. :)   

2 komentar:

Terima kasih untuk komentarnya :)