Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 29 April 2014

(Book Review) Hujan Daun-daun


Judul        : Hujan Daun-daun
Penulis     : Lidya Renny Ch.
                   Tsaki Daruchi
                   Putra Zaman
Penerbit   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal       : 248 halaman

Sepintas, Tania tampak seperti remaja cewek kebanyakan. Tidak menonjol, jomblo, dan punya penyakit maag yang sering kambuh tiap kali dirinya telat makan. Hanya beberapa orang yang betul-betul mengenal dirinya. Kakek Susilo dan Nenek Arini yang mengasuhnya sejak kecil, dan Stella, sahabat terbaiknya di kampus. 

Tania lahir pada tanggal yang membuatnya jarang memperingati ulang tahunnya sendiri: 29 Februari. Hehe, empat tahun sekali, gitu lho. Cewek ini mencintai seni lukis, namun entah mengapa kakeknya tidak menyukai hal itu. Mungkin beliau menganggap, di negeri ini seniman bukan profesi yang menjanjikan kemapanan. Demi sang kakek pula, Tania memilih untuk kuliah di jurusan administrasi niaga yang tidak diminatinya. Meski begitu, Tania masih suka menggambar sketsa dan mengunjungi galeri seni, sekedar untuk menyalurkan hobi. 

Tidak ada yang diingat Tania tentang Ayah dan Ibunya, kecuali cerita sepotong-sepotong dari Kakek dan Nenek, bahwa kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Itu pun kalau Tania bertanya. Mereka lebih suka tidak membahasnya. Mungkin itu untuk kebaikan Tania sendiri, agar tidak jadi sedih karena mengenang orang-orang yang tak akan kembali lagi.

Tania berusaha mengingat semua hal yang pernah ia alami dengan orangtuanya. Tapi makin ia berusaha mengingat, makin kosong imaji yang hadir. Hanya layar hitam yang muncul di otaknya.

Satu-satunya benda pengobat rindunya pada Ayah dan Ibu hanya selembar foto berpigura.

"Lo pernah kangen sama orang yang lo bahkan nggak inget pernah ketemu? Itu yang gue rasain setiap kali lihat foto ortu gue."

Di awal, alur saya rasakan berjalan lambat, seputar kehidupan sehari-hari Tania. Cerita mulai agak seru ketika Stella memaksa Tania ikut dalam sebuah double date, dan memperkenalkan Tania pada Adrian. Adrian ternyata tidak sesombong dan sedingin dugaan Tania. Begitu tahu Adrian lahir di hari yang sama dengan dirinya, cuma beda tahun saja, Tania tak butuh waktu lama untuk merasa klik dengannya.

Saya suka dialog awal mereka di sini. Walau masih saling grogi, tapi obrolannya tetap smart, hehe.

"Tanggal lahir kita sama. Jarang lho orang yang ngerayain ulang tahunnya empat tahun sekali."

"Hmmm... kemungkinannya sekitar 1 dari 1.461 kelahiran sih."

"Hah?"

Adrian tertawa. "Sori... biasa deh, anak Fasilkom. Gue pernah sengaja bikin program buat ngitung probabilitasnya. Mudah-mudahan nggak salah."

"Oke... Kalau orang yang sama-sama lahir di tahun kabisat dan duduk di satu meja buat makan malem bareng? Probabilitasnya berapa?"

Tania sering bermimpi aneh saat tidurnya. Dalam mimpi-mimpi itu, Tania kembali ke masa kecilnya, mengenakan gaun dengan warna kesukaannya. Dia selalu berada di tempat yang sama, di antara pepohonan rindang dan daun-daun yang berguguran. Di sana ada seorang gadis kecil bergaun biru yang misterius. 

Orang bilang, mimpi itu ya cuma mimpi. Sekedar gelombang listrik dalam otak saat kita berada di alam bawah sadar. Tidak ada yang perlu ditafsirkan. Tapi, kenapa datang berulang-ulang? Tania mulai curiga, mimpi itu adalah penglihatan yang berkaitan dengan peristiwa nyata. Apalagi setelah seorang perempuan bernama Meilia datang mencarinya, dan mengaku menyimpan rahasia besar tentang keluarga Tania. Meilia bahkan memberikan sebuah benda milik ayah Tania: lukisan yang akan menjadi salah satu kunci rahasia tentang orangtua Tania.

Dari sini, konflik cerita semakin intens, bikin saya terharu sekaligus penasaran. Ternyata pernikahan kedua orangtua Tania tidak seindah yang dibayangkannya. Ternyata perempuan itu adalah orang yang punya andil dalam tercerai-berainya keluarga mereka. Ternyata kenyataan yang sesungguhnya jauh berbeda, jauh lebih tragis dari apa yang selama ini Kakek dan Nenek ceritakan padanya. 

Tokoh favorit saya dalam kisah ini adalah Tania. Di balik penampilan luar yang biasa-biasa saja, Tania ternyata lebih kuat dari yang saya kira. Saya suka aja melihat bagaimana kesedihan dan kepahitan tidak meruntuhkan dirinya, tapi justru membuatnya bertransformasi, dari gadis yang penurut, pasrah, menjadi gadis yang lebih kritis dan berani bertualang untuk mengungkap kebenaran tentang orang-orang yang disayanginya.

Pelajaran lain yang saya dapat dan harus selalu saya ingat kalau kelak punya anak: orangtua tidak selalu benar. Ada kalanya orangtua salah mengambil keputusan, atau memaksakan kehendak pada anak karena mereka menganggap diri mereka selalu lebih tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Seperti Kakek dan Nenek yang menyembunyikan masa lalu keluarga karena tidak ingin Tania tersakiti karenanya.

Ia dan istrinya merahasiakan masa lalu demi kebaikan sang cucu, tapi mungkin, mungkin saja pertimbangan mereka selama ini keliru. Mereka berusaha melindungi Tania dari masa lalu, tapi akhirnya masa lalu berhasil mengejar mereka.

Satu lagi yang saya suka dari Hujan Daun-daun adalah, keseluruhan cerita yang menyatu meski pun ditulis oleh tiga orang yang berbeda. Misalnya, tidak ada detil yang terlupa, atau gaya bertutur yang tiba-tiba berubah lantaran ditulis oleh orang yang berbeda. Rasanya utuh dari awal sampai akhir, seolah-olah ini karya satu orang saja. Salut untuk trio Lidya Reni, Tsaki Daruchi dan Putra Zaman atas kerjasamanya yang kompak. :)

Dari informasi yang saya baca di halaman-halaman awal buku, saya tahu bahwa mereka adalah tiga penulis jebolan Gramedia Writing Project, yang telah melewati seleksi cukup ketat sebelum terpilih untuk mengikuti pelatihan menulis dan diterbitkan karyanya. Proyek ini digagas Gramedia untuk mencari calon-calon penulis baru yang berbakat di Indonesia. Menurut saya, ini cara keren yang akan membuat dunia perbukuan di negeri kita makin meriah. Makin banyak penulis bagus, berarti makin banyak buku bagus. 

Setuju? ;)

1 komentar:

Terima kasih untuk komentarnya :)