Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Jumat, 13 Januari 2012

Bulan Madu Mendadak (tamat)

9 Desember 2011
Denpasar. 10.00 WITA

Bulan madu masih berlanjut hari ini ^o^. Karena rencananya kami akan jalan-jalan ke tempat-tempat yang agak jauh, Mas Har menyewa satu mobil Avanza. Saya lupa tarifnya berapa (belum termasuk biaya beli bensin), tapi pastinya sudah termasuk pengemudi. Tak lupa kami membawa amunisi berupa berbagai cemilan dan minuman buat bekal selama perjalanan. Pak Nik, pengemudi asli Bali yang memandu kami hari ini, tampil santai dengan topi, kacamata hitam, kaos oblong dan jeans. Selain Bedugul dan Tanah Lot, Pak Nik menanyakan tempat mana lagi yang ingin kami datangi. Hmm, kemana ya?

“Pak Har suka makan babi? Saya tahu tempat makan yang enak,” tanya Pak Nik dengan aksen Bali yang kental nggak pake gula. *krik-krik*
Mas Har meringis. “Saya nggak makan babi, Pak.”
“Kalau anjing, pernah nyoba?”
Mas Har meringis makin lebar. “Hm.. Belum.”
“Ular? Kodok?”
“Ha-ha.. Jangan yang ekstrem-ekstrem dong Pak!” kata Mas Har.
Selain ekstrem, daftar hewan yang disebut Pak Nik kan tidak halal bagi muslim. Ah, tapi mungkin saja kan Pak Nik memang belum tahu kalau makanan-makanan itu dilarang bagi umat muslim.

“Oh.. kalau alkohol gimana, suka?”
Gedubrak!
“Nggak deh, Pak!”
“Hmm.. Kalau begitu, kopi luwak aja? Bisa sekalian lihat cara bikinnya lho,” ajak Pak Nik.
Mas Har yang penyuka kopi langsung tampak berminat. Pak Nik berjanji akan mampir ke kedai kopi nanti.

Pertama, kami mampir di Pura Taman Ayun di Kecamatan Mengwi. Jaraknya sekitar dua jam dari Denpasar, searah dengan Bedugul. Harga tiket masuknya cukup terjangkau, di bawah IDR 10000. Di sini, para pengunjung hanya diizinkan melihat-lihat kawasan di luar pura dengan menyusuri jalan setapak. Di belakang kompleks pura ada taman juga sungai, yang bisa  kita nikmati suara gemericik airnya sambil duduk-duduk di gazebo. Banyak pepohonan dan angin sepoi-sepoi pula. Adem. ^___^


Kompleks puranya sendiri berada di dalam tembok, dan tertutup untuk umum. Tembok ini cukup rendah kok sehingga para pengunjung bisa tetap mengagumi keindahan pura di dalamnya. Saya paling suka melihat bentuk atap pura yang bertumpuk-tumpuk, juga kolam apik yang mengelilingi pura. Nice spot to take some pictures. Futu-futuuu!




Puas berfoto dengan Pak Nik sebagai fotografernya, kami melanjutkan perjalanan ke Bedugul. Di tengah jalan, kami singgah di sebuah kedai kopi luwak. Plang namanya memang terpasang di tepi jalan, tapi kedainya sendiri terletak di belakang, di tengah kebun coklat dan nangka. Kami mesti melalui jalan setapak menuju ke sana. Kedai ini bernuansa alam dengan atap sirap, meja dan kursi-kursi bambu, menyatu dengan kebun di sekitarnya.



Seorang wanita meracik empat cangkir kecil berisi minuman yang berbeda-beda untuk Mas Har dan saya. Keempatnya masih mengepul dan tampak menggoda.


“Ini kopi ginseng, Bali cocoa, Bali lemon tea dan ginger tea olahan kami. Kopi dan coklatnya dihasilkan dari kebun kami sendiri lho. Silakan diminum, gratis. Kalau suka kopi, boleh coba kopi luwak kami.” Wanita itu menjelaskan minuman yang barusan disuguhkannya, sambil menyodorkan daftar menu. Secangkir kecil kopi luwak dibanderol IDR 40000! Strategi marketing yang cukup bagus. Meski dapat free tester dan tak harus beli kopi luwak jika tak berminat, tapi rata-rata pengunjung pasti gengsi dong ya cuma minum sampel gratisan tanpa beli? Hehe. Lagipula iya sih, kopi luwak kan kopi termahal di dunia, apalagi tarifnya tarif turis... Mas Har yang penasaran pingin ngicip kopi luwak akhirnya memesan secangkir.



Saya sendiri paling suka Bali cocoa di antara keempat minuman tadi. Coklatnya kental dan gurih :9 Kopi luwaknya sedap, kata Mas Har. Pantaslah kalau harganya mahal.
Wanita tadi lalu menunjukkan pada kami sebuah toples kaca berisi biji-biji kopi yang menggumpal dan melekat satu sama lain.
“ini biji kopi yang baru keluar dari badan luwak.”
Jadi, bercampur sama kotoran luwak dong ya? Euuh.


Keunikan kopi luwak adalah biji kopinya yang dimakan oleh luwak terlebih dulu. Luwak hanya memilih biji-biji kopi yang bagus dan sudah tua.


Setelah melewati saluran pencernaan, biji-biji kopi itu akan keluar esok harinya bersama kotoran luwak. Selanjutnya biji-biji ini akan dibersihkan dengan air dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering, untuk kemudian disangrai selama sekitar satu jam. Biji-biji kopi pun lalu ditumbuk secara tradisional dengan alu hingga halus, dan diayak. Jadi deh... kopi luwak bubuk!

Seorang nenek sedang menyangrai biji kopi

Gini lho caranya menumbuk biji kopi...

Biji-biji kopi yang sudah halus ini harus diayak dulu
Kami sempat melihat dua ekor luwak yang sedang tidur manis di dalam kandang. Maklum, hewan nokturnal. Luwak-luwak lainnya dibudidayakan di kebun kopi di tempat lain. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami membeli sebungkus lemon tea bubuk yang cukup mahal, tapi rasanya memang mantap banget, nggak nyesel deh. ^.~

Our next stop is Kebun Raya Bali di Bedugul. Sejak memasuki wilayah Bedugul yang terletak di dataran tinggi, udara sangat sejuk hingga kami memutuskan untuk mematikan air conditioner dan membuka jendela mobil lebar-lebar. Wow, udaranya segar dan minim polusi! Kami menghirupnya banyak-banyak, rakus. Bisa dibungkus dan dibawa ke Jakarta nggak? *suvenir kaleee bisa dibungkus* -__-“

Selain sebagai objek wisata, Kebun Raya ini juga merupakan pusat konservasi dan penelitian botani. Kebunnya luas banget! Tepatnya, 157.5 hektar. Karena Pak Nik sudah sering mengajak turis-turis ke sini, sepertinya dia sudah hafal tiik-titik mana yang pemandangannya keren. Ayah berputra satu ini membawa kami semakin naik ke atas, sampai di suatu tempat. Dari sini, kami bisa melihat pemandangan indah yang ada di bawah sana. Jalan raya, tanah perkebunan dan rumah-rumah penduduk, juga sebuah danau bernama Danau Beratan. *Kamera mana kameraaa?*



Pak Nik dan Mas Har

Setelah kira-kira satu jam, kami memutuskan keluar dari Kebun Raya. Sekarang kemana lagi? Nah, kalau tadi kami hanya bisa melihat Danau Beratan dari kejauhan, sekarang kami berada di kawasan wisata Danau Beratan yang ramai dengan turis—domestik dan mancanegara. Pintu masuknya berupa gapura besar berpintu kayu dengan ukiran Bali berwarna merah dan emas. Jalan menuju danau dihiasi dengan macam-macam tanaman bunga cantik. Menjorok ke danau, ada beberapa pura. Disediakan juga perahu bebek yang dijalankan dengan tenaga manusia asli. Pengunjung yang berminat menyusur sampai ke tengah danau bisa menyewa dan mengayuh sendiri pedal perahu itu. Saya sih nggak berminat, karena ogah nggowes. :P

Abaikan pose aneh saya & nikmati saja pemandangan indah di belakangnya

Dari Danau Beratan, kami singgah sejenak untuk makan siang di sebuah warung, lalu sholat di Masjid Besar Al Hidayah, Bedugul-Tabanan. Masjid nya besar juga.


Usai sholat kami lanjut bermobil lagi menuju Tanah Lot. Di tengah perjalanan kami bertemu iring-iringan warga Bali. Berjalan paling depan, adalah petugas keamanan yang disebut pecalang. Menurut Pak Nik, rombongan ini hendak menuju ke suatu upacara.

Pecalang

“Upacara apa persisnya, saya tidak tahu,” kata Pak Nik, “Orang Bali itu banyak upacaranya. Mulai dari lahir ceprot, sampai seribu hari kematian pun dirayakan.”

Kalau kami bisa tinggal lebih lama di Bali, sebenarnya akan ada event menarik yaitu upacara menyambut munculnya bulan purnama, dan Tari Kecak.

Jalan menuju kawasan wisata Tanah Lot agak macet. Semakin sore, terutama di akhir pekan, jalanan ini akan semakin padat oleh rombongan turis yang ingin menyaksikan sunset di Tanah Lot. Pemandangan di sini memang indah, dengan karang bolong dan pura yang berada di atas karang yang menjorok ke laut.


Kami jeprat-jepret lagi di pantai karang sampai puas, lalu tersadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 16.45 WITA! Kami pun menyudahi acara jalan-jalan, supaya nggak kemalaman sampai di Denpasar. Di jalur yang berlawanan arah dengan kami, jalan raya padat oleh mobil-mobil dan bus-bus pariwisata hingga berkilo-kilo meter. Merekalah turis-turis yang ingin melihat sunset di Tanah Lot. Selamat bermacet-macet ria ya...

Kami bermaksud mampir di Toko Joger untuk membeli kaos, titipan teman saya di Jakarta, tapi ternyata tokonya sudah tutup. Joger buka pukul 10.00 WITA dan tutup pukul 17.00 WITA setiap hari. Catet tuh, buat yang mau ke Joger! Jadi, kami kembali ke Tune Hotels untuk mandi dan sholat, keluar makan malam, dan nyangkut sebentar di toko Rahayu, beli beberapa kotak kacang oven Bali. Kacang merk Rahayu ini pesanan teman saya juga. Lalu, mampir lagi di Toko Krisna untuk beli kaos pesanan tadi dan sedikit oleh-oleh. Sekedar info, Toko Krisna ini buka 24 jam lho. Habis itu, kami langsung ngacir ke hotel lagi. Capek habis ngider seharian dan mau bobo!


10 Desember 2011
Denpasar. 06.00 WITA.
Sepagi ini Mas Har dan saya sudah rapi dan wangi. Kami akan kembali ke Jakarta dengan pesawat Lion Air pukul 11.10 WITA nanti, jadi kami harus memanfaatkan sisa waktu di Bali sebaik-baiknya. Apalagi kalau bukan keliling naik skuter?? ^.^v

Udara masih dingin, sisa semalam. Jalanan masih lengang. Kami berhenti di gapura jalan masuk Pantai Kuta dan memarkir skuter. Kami berjalan menyusuri pantai. Merasakan pasir yang sejuk dan basah menyusup masuk ke sepatu kami, mengamati kerang-kerang kecil yang terdampar di pantai, mengukir nama kami di pasir, bermain air, dan.. foto-foto dong pasti!




Sesudahnya, kami sarapan di Warung Muslim Harsi. Istilah Muslim ini hanya untuk menginformasikan bahwa makanan yang disediakan di sini halal, tanpa daging hewan-hewan yang diharamkan untuk dimakan umat muslim. Menunya samsa seperti di warteg-warteg. Di Bali, kaum muslim harus agak berhati-hati memilih tempat makan. Warung-warung berlabel “Muslim” seperti yang saya sambangi di atas cukup banyak kok di Bali. Oya, kamu bisa coba juga makan di Warung Nasi Pedas Ibu Andika. Menunya cukup variatif, mulai dari tempe orek, urap, lalapan, teri kacang balado, sampai ikan dan ayam. Rasanya sedap dan sudah pasti pedasss! Menurut saya sih, nasi putihnya juga dikasih merica banyak kali ya. Kami juga sudah mencicipi makan di kedai Bakso Malang Pandawa, yang baksonya dibuat dari daging sapi dan ayam. Ya, intinya sebelum pesan makanan, minimal tanyakan saja dulu apakah kedai atau restoran itu juga menyediakan menu daging-daging hewan yang haram bagi muslim.

Kenyang sarapan, kami datang kembali ke Joger. Bukan untuk beli kaos, karena jam bukanya masih lama :P Kami cuma ingin berpose di depan tembok berisi tulisan-tulisan menggelitik khas Joger.



Terakhir, kami bernarsis ria lagi di depan pintu masuk Bandara Ngurah Rai sebelum kembali ke hotel.

Setelah Mas Har mengembalikan skuter sewaannya, kami berdua segera berangkat ke bandara Ngurah Rai. Oh, well, this is it... Leaving B Island and going back to the J Town. Bulan madu mendadak yang manis ini harus berakhir. Sampai ketemu lagi, Bali! \^o^/ 



Senin, 09 Januari 2012

Bulan Madu Mendadak (part 1)


Denpasar.
8 Desember 2011. 13.20 WITA.
Awalnya, saya pikir selama field visit GoVlog kami akan sempat jalan-jalan dan mampir ke beberapa objek wisata terkenal di Bali, tapi ternyata TIDAK, saudara-saudara... T___T Seperti yang sudah saya ceritakan di beberapa postingan sebelumnya, jadwal kami sangat padat. Usai dari Yayasan Kerti Praja, rombongan mampir di restoran Budesa. Sebelum makan siang, dengan perut lapar, kami masih sempat berpose riang gembira di depan restoran. *emang nggak boleh liat kamera dikit ya.. -.-" *  

ki-ka: Mas Siswanto, Fadel, Eqy, saya, Febi, Vina, Aziz, Chandra, Rahmat, Lingga

depan: Lingga, Aziz, Vina.
belakang: Febi, Rahmat, Eqy, saya, Mbak Galuh, Mas Siswanto
Di luar ruangan tempat kami makan siang, ada sebuah kolam kecil. Di kolam inilah Rahmat, salah seorang finalis GoVlog, melihat adegan dua sejoli katak sedang bermesraan dan ********. *kena sensor, adegan 17+* Peristiwa biologis ini pun kemudian diabadikan sebagai nama grup Facebook kami, Kodok Kawin. Grup Facebook ini dibentuk agar para finalis GoVlog tetap bisa saling kontak walau nanti telah kembali ke daerah asalnya masing-masing. Sumpah deh, saya nggak tahu-menahu bahwa siang itu ada sepasang katak di kolam, juga sama sekali tidak diminta urun saran nama yang lebih keren. 

Selesai makan siang, syukurlah kami sempat bertandang ke Krisna, salah satu pusat oleh-oleh khas Bali terlengkap. Mulai dari makanan seperti pia, kacang dan salak Bali, barang pecah belah, gantungan kunci, mouse pad, kaos Bali bersablon tulisan kocak, sampai aksesoris dan sandal etnik pun ada. Buat kamu yang tidak mau repot tarik urat untuk tawar-menawar harga seperti di pasar Sukawati atau di pasar kerajinan tangan lainnya, harga barang-barang di sini cukup terjangkau. Kalau mau beli suvenir murah meriah untuk rame-rame, beli saja yang kemasan isi 10 pieces, misalnya gantungan kunci yang terbuat dari kayu. Harganya tidak sampai IDR 20000 kok. *emak-emak irit dot com*

Patung Dewa Krisna, maskot Toko Krisna
Pukul 15.00 WITA acara belanja-belanji selesai. Sebelum rombongan bertolak ke bandara Ngurah Rai, saya pamit pada Mbak Galuh, Mas Eko, para personil AusAid, kru-kru Panorama Tours, dan pastinya 9 peserta GoVlog lainnya. Ya, saya masih akan tinggal di Bali 1 hari lagi, bersama... Mas Har, suami saya. o^.^o

Kok bisa?

Jadi.. di hari kedua field visit, suami menyusul saya ke Bali. Bagi saya dan Mas Har, yang tidak bisa tiap hari bertemu karena terpisah jarak (suami saya bertugas di kawasan lepas pantai), momen kebersamaan jadi sangat berharga. Kalau berantem sehari aja, rasanya rugiii banget. Daripada menghabiskan waktu seharian untuk diem-dieman dan saling salah paham, lebih baik segera saling memaafkan dan kembali rukun kan? ^___^

Nah, demi mengejar momen kebersamaan itu pula suami saya berangkat dari Jakarta ke Bali. Tapi selain alasan romantis itu, rupanya Mas Har punya alasan lain: dia belum pernah ke Bali dan kapan lagi travelling ke sini kalau nggak sekarang, saat separuh biaya perjalanan dan akomodasi saya ditanggung oleh AusAid? Hihihi... *bapak-bapak ekonomis dot com* 

Anggap saja kunjungan ke Pulau Dewata ini rezeki tak terduga buat kami. Honeymoon alias bulan madu mendadak!

Siang hari ini kami berdua boyongan dari hotel Santika Kuta ke Tune Hotels, hotel jejaring Air Asia yang memiliki konsep layanan terbatas dan harga terjangkau. Tune Hotels meniadakan berbagai layanan ekstra yang membuat tarif kamar hotel jadi mahal. 

Intinya, selama berada di Bali, kami berdua ingin jalan-jalan, bukan ngendon di hotel. Kami tidak butuh kamar hotel mewah dengan layanan saluran tivi kabel mancanegara, mini bar, room service, bathtub, dan fasilitas lain yang bertujuan membuat tamu betah tinggal di kamar. Kamar hotel bagi kami hanyalah tempat untuk mandi dan istirahat setelah lelah jalan-jalan seharian. Tune Hotels kami rasa cocok untuk itu.

Kuta, 19.30 WITA
Malam harinya, kami berboncengan naik skuter matic sewaan ke daerah Kuta, Legian, dan sekitarnya. Mas Har sudah menyewa skuter ini sejak pagi dengan tarif IDR 50000 per hari. Dengan skuter ini dia ngider keliling Kuta dan Legian sendirian selama saya sibuk dengan jadwal field visit.  Oya, buat kamu yang nggak mau capek berjalan kaki, bisa menyewa sepeda motor atau mobil. Di Denpasar banyak kok tempat persewaan kendaraan. 

Ini lho skuternya..eh.. Ini lho Mas Har! :)
Saran saya, kalau cuma mau jalan-jalan di seputar Denpasar, sewa motor saja biar lebih gesit menyelinap di tengah kemacetan lalu lintas. Iya, serius, kemacetan lalin nggak hanya ada di Jakarta saja, ternyata. Untuk tempat-tempat tujuan travelling yang agak jauh seperti Bedugul, Tanah Lot atau Ubud, sewalah mobil agar lebih nyaman selama di perjalanan.

Di pantai Kuta, kami sempat ngemil jagung bakar dulu sebelum pulang ke hotel. Si abang penjual jagung bakar dengan gaya sok akrab deket menyapa sekelompok turis asing yang lewat sambil menawarkan dagangannya. "Hi, how are you, Mister?!" 

"Wah, Ri, di sini, tukang jagung bakar aja jago bahasa Inggris ya," gurau Mas Har.

Saya tersenyum. Ya, kemahiran berbahasa asing memang bukan hanya milik mereka yang mampu membayar kursus di tempat-tempat mahal dengan native speaker sebagai gurunya. Tapi milik siapa saja yang mau berlatih, mau belajar. Orang bilang, cara terbaik belajar berenang adalah dengan terjun ke air. Maka cara terbaik belajar bahasa Inggris adalah dengan berada di tengah orang-orang yang berbahasa Inggris dan berlatih percakapan dengan mereka. Contohnya, penjual jagung bakar tadi itu.


~bersambung~

Minggu, 08 Januari 2012

Finalis GoVlog - Last but Not Least! (tamat)




8 Desember 2011.

Denpasar, 10.00 WITA


Selesai ngulik layanan-layanan di Puskesmas Kuta I, rombongan kami berangkat lagi untuk menjalani agenda terakhir field visit: berkunjung ke YayasanKerti Praja (YKP). Yayasan non-pemerintah yang digawangi sekitar 45 orang staf ini sebagian besar didanai oleh Global Fund dan HCPI. Selain bergiat dalam penyuluhan mengenai IMS dan HIV/AIDS, YKP juga menyediakan layanan klinik IMS, klinik VCT, pendampingan ODHA dan penyediaan obat-obatan bagi ODHA.







Lewat program penyuluhan, aktifis-aktifis YKP berusaha menyasar para pekerja seks di Bali. YKP mendatangi langsung area lokalisasi, kafe-kafe dan panti pijat. Kendala-kendala yang sering mereka hadapi antara lain, kesulitan menjangkau para pelanggan pekerja seks. Yang beresiko tertular dan menularkan HIV bukan hanya pekerja seks, tapi pelanggannya juga. Banyak juga ODHA yang merupakan ibu rumah tangga. Mereka tertular HIV dari suami mereka yang ternyata pelanggan pekerja seks. *sedih...*


Di YKP sendiri, kami sempat bertatap muka dengan Mbak Bulan dan Ibu Ratna (bukan nama sebenarnya), dua orang wanita ODHA yang menjadi dampingan aktifis YKP. Kira-kira darimana mereka terinfeksi HIV? Dari pelanggan seks? Dari jarum suntik? Tidak. Kedua wanita ini adalah ibu rumah tangga biasa, yang tertular HIV dari suami mereka.


“Tahun 2007, saya baru tahu kalau saya kena HIV. Sempat syok juga...” Mbak Bulan mulai bercerita. Syukurlah, wanita berusia menjelang 40 tahun ini tidak terpuruk lama. Ia lalu bergabung dengan peer group di YKP. Di sini ia bisa berbagi semangat dan pengetahuan dengan sesama ODHA ataupun memperoleh informasi kesehatan dari konselor. Ibu berputra dua ini sangat bersyukur ketika tahu dari hasil tes bahwa anak sulungnya tidak tertular HIV.


“Tinggal si bungsu yang belum dites. Mudah-mudahan dia juga nggak tertular...” Doa Mbak Bulan penuh harap. Meski harus hidup dengan HIV dan terus mengkonsumsi ARV, Mbak Bulan tampak sehat dan penuh semangat.


“Cita-cita saya sih, suatu saat nanti pingin buka usaha sendiri. Supaya anak-anak saya bisa hidup lebih baik dari ibunya.”


Sedikit beda dari Mbak Bulan yang terbuka, Ibu Ratna lebih pendiam, tapi tetap ramah dan bersedia ngobrol dengan para finalis GoVlog.


“Awalnya, suami saya sakit-sakitan. Terus disarankan periksa darah. Dari situ baru ketahuan, suami saya kena HIV.. Saya sampe sempat pingsan waktu itu,” kenang Ibu Ratna.


“Lalu saya diajak periksa darah juga, supaya tahu saya tertular apa nggak. Ternyata.. saya juga kena HIV.” Ibu Ratna menghela nafas panjang. Suaminya telah meninggal dunia, dan kini Ibu Ratna harus melanjutkan hidupnya. Mengurus anak-anak dan menjaga kesehatan diri sendiri. “Ya sudah, ikhlas, dijalani saja,” pungkas wanita berkerudung hitam ini sambil tersenyum.


Kendala lain bagi para pegiat YKP adalah rasa lelah dan jenuh ketika menghadapi para pekerja seks yang cuek saat diberi penyuluhan tentang seks aman, malas kontrol ke klinik IMS, putus obat ARV, dan lain-lain. Tapi bagi para pekerja lapangan dan konselor YKP yang sudah terlanjur cinta pada pekerjaan mereka, kendala ini justru jadi tantangan menarik. Buktinya, banyak juga lho aktifis yang sudah belasan tahun bergiat di YKP dan masih aktif sampai sekarang!


Hari beranjak siang. Kami harus pamit, karena panitia sudah memanggil kami untuk kembali naik ke bus, dan bersiap meninggalkan Bali.. kembali ke tempat asal kami, membawa cerita-cerita epik tentang para petarung anti HIV/AIDS. 


Last but not least, field visit kami di Bali memang berakhir hari ini, tapi perjuangan kita semua melawan HIV/AIDS belum selesai. Let’s keep fighting, people!











~fiuhh, tamat juga akhirnya~

Posted via Blogaway for RuriOnline

Sabtu, 07 Januari 2012

Finalis GoVlog - Last but Not Least! (part 1)


Oiya, buat yang belum baca dari awal gimana saya bisa nyasar ke Bali, bisa simak link-link ini dulu yaa: ^___^v


8 Desember 2011.
Denpasar, 07.30 WITA

Huaheemm.. Masih ada kantuk sisa tengah malam kemarin rupanya. Untunglah jadwal field visit hari ini baru akan dimulai pukul 08.30 WITA, jadi saya masih sempat leyeh-leyeh dulu sebelum sarapan.. ^.~  Pagi ini, kami akan bertamu ke Puskesmas Kuta I yang letaknya dekat saja dari Hotel Santika Kuta tempat kami bermalam.

Nampang di depan puskesmas


Setelah sarapan, kami cukup berjalan kaki saja ke Puskesmas Kuta I. Puskesmas yang dikunjungi sekitar 150 pasien setiap harinya ini memiliki dua gedung; gedung induk dan gedung BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak). Gedung induk yang kami kunjungi ini sendiri terdiri dari tiga lantai. Gede banget ya!

Sebagai bentuk partisipasi pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) serta HIV/AIDS, Puskesmas Kuta I mendirikan klinik IMS, klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) Rijasa, dan klinik methadone. Kalau di beberapa postingan GoVlog sebelumnya saya sudah menyinggung tentang klinik IMS dan klinik VCT, kali ini saya akan cerita sedikit tentang klinik Methadone. Klinik ini dibentuk sebagai salah satu implementasi program harm reduction (pengurangan dampak buruk) bagi para pengguna narkoba suntik atau penasun.

Ketika ngobat, para penasun punya kebiasaan memakai satu jarum suntik secara bergantian dengan teman-temannya. Padahal kalian tahu kan, salah satu cara penularan infeksi HIV adalah melalui darah yang terkontaminasi virus tersebut. Kebayang dong, alangkah tinggi resiko penasun untuk menularkan atau tertular HIV lewat jarum suntik yang dipakai keroyokan itu!

“Salah sendiri kenapa ngobat?”
“Nah, udah tau beresiko, makanya berhenti pakai narkoba dong!”

Mungkin begitu komentar kita. Tapi bagi seorang pecandu, tidak semudah itu meninggalkan narkoba. Gejala putus obat yang harus dialami jika berhenti begitu saja memakai narkoba—seperti rasa sakit di seluruh sendi, gelisah, berkeringat, mual, muntah—sangat menyiksa. Maka dibuatlah program harm reduction yang punya beberapa tahap. Pertama, pengguna didorong untuk berhenti memakai narkoba. Kalau belum bisa, penasun diajak untuk beralih dari obat suntik ke obat minum atau bergabung dengan terapi methadone.

Di klinik ini, pengguna narkoba bisa menjalani terapi rumatan methadone atau methadone maintenance therapy (MMT). Narkoba yang biasa mereka pakai, seperti heroin, morfin, dsb akan diganti dengan methadone. Methadone ini adalah sejenis opiat sintetis yang kekuatannya setara dengan morfin, tapi gejala putus obatnya tidak sehebat morfin dan lebih aman bagi organ-organ tubuh manusia.

Di puskesmas Kuta I, sediaan yang ada berbentuk sirup. Dosis methadone akan ditingkatkan apabila pengguna merasa dosis itu belum nendang. Setelah didapatkan dosis yang pas, dosis itu dipertahankan selama beberapa waktu. Lalu, sedikit demi sedikit akan diturunkan sampai akhirnya pengguna narkoba bisa bebas dari kecanduannya. ^o^ Pagi itu saat saya mampir ke klinik methadone, ada pasangan turis asing yang datang untuk memperoleh dosis harian methadone-nya.

“Iya, layanan klinik methadone kita tidak hanya untuk warga Bali saja, tapi turis atau pendatang pun bisa ke sini,” jelas dokter Wita, salah satu dokter umum yang bertugas di Puskesmas Kuta I. “Pengguna bisa datang tiap hari ke sini dan minum obat methadone langsung di depan petugas puskesmas,” sambungnya.

Selain itu, di klinik ini juga disediakan jarum suntik steril gratis bagi para penasun, supaya mereka tidak perlu berbagi jarum dengan orang lain. Jarum-jarum tersebut, setelah dipakai langsung diserahkan kembali untuk dimusnahkan. Program pembagian jarum suntik (needle syringe program) ini terutama untuk penasun yang masih bandel belum mau beralih ke obat minum dan berdalih begini, “Nggak bisa nge-fly kalau nggak nyuntik!” Mereka juga dilatih untuk mensucihamakan peralatan setiap kali menyuntik.

Mungkin ada sebagian kalangan yang memandang sinis program harm reduction. “Bukannya dibantu supaya  berhenti makai, kok malah dikasih jarum suntik gratis dan methadone.”

Tapi seperti yang tadi saya bilang, tidak mudah menyembuhkan drug addict dari kecanduannya. Butuh waktu! Harm reduction memang hanya upaya jangka pendek untuk memutus mata rantai penularan HIV/AIDS. Para pecandu narkoba nantinya juga akan dibantu untuk sembuh dari adiksinya melalui layanan psikologis dan psikiatri.

Para staf Puskesmas Kuta I & 10 Finalis GoVlog



~bersambung~

Minggu, 01 Januari 2012

Finalis GoVlog - Dari Jalan Melati Hingga Jalur Gaza (part 3)

Jalan Bung Tomo, 22.30 WITA
Bus yang kami tumpangi berhenti di Jalan Bung Tomo. Kawasan yang terkenal sebagai tempat mangkal waria pekerja seks ini sering disebut Ubung karena hanya berjarak beberapa menit saja dari terminal Ubung. Sepi, hanya satu-dua waria berbusana mini yang melintas, mungkin hendak mencari pelanggan. Kawasan ini memang biasanya baru mulai ramai menjelang tengah malam. Di tepi jalan ada beberapa pria duduk-duduk. Menurut Mas Arya, mereka adalah preman-preman yang berjaga kalau-kalau ada pelanggan yang berlaku onar atau berbuat kasar pada waria Ubung.
Sebuah skuter lewat dan parkir tak jauh dari bus kami. Sekilas dari rambut panjangnya yang tergerai, saya pikir pengendaranya seorang wanita, tapi Mas Arya berkata, “Nah, itu dia ketua waria di sini.”
Mas Arya, Mas Bastian, dan Mas Rendy turun dari bus menyambutnya. Supaya tidak tampak mencolok, hanya beberapa finalis GoVlog yang boleh ikut turun. Tak lama, mereka kembali naik ke bus bersama sang ketua waria.
Namanya Karisma. Waria berkacamata ini adalah ketua OSIWA (Organisasi Sosial Waria) Ubung, yang ternyata ada di bawah naungan Yayasan Gaya Dewata. Beranggotakan sekitar 40 orang (sebagian adalah pekerja seks dan ODHA), OSIWA ikut dalam beberapa diskusi kesehatan yang diadakan YGD. Selain itu, mereka aktif mengajak para waria pekerja seks untuk rutin memeriksakan kesehatan beberapa bulan sekali, mengecek adakah infeksi menular seksual atau HIV. Jika ada yang positif terinfeksi HIV, akan didampingi untuk memperoleh konseling dan pengobatan. Di luar itu, OSIWA juga punya beberapa prestasi di bidang olahraga dan entertainment.
Ya, kaum waria, kaum yang seringkali dipandang sebelah mata ini, ternyata punya kegiatan-kegiatan positif dan aktif dalam pencegahan HIV/AIDS.
“Kami ingin diakui sebagai anggota masyarakat juga, dan tidak melulu dipandang negatif,” kata Mbak Karisma sebelum menutup perjumpaan dengan kami.

Jalur Gaza, 22.30 WITA.
Sekarang kami melintasi beberapa bar di Jalan Seminyak yang padat pengunjung, meruah ke trotoar dan jalan-jalan. Agar tak menarik perhatian, bus diparkir agak jauh dari Jalur Gaza, julukan ngetop untuk kawasan hiburan para gay ini. Para peserta tidak turun semua sekaligus, melainkan dibagi menjadi beberapa rombongan kecil. Saya, Mbak Vina, Fadel dan Rahmat dipandu Mas Bastian berjalan kaki menuju kerumunan ratusan manusia di trotoar.   

Waria & beberapa finalis GoVlog

Telinga saya mencoba beradaptasi dengan suara musik yang berdentum-dentum. Saya berbaur dengan puluhan atau mungkin ratusan orang yang bersantai di trotoar. Awalnya berpasang-pasang mata menatap aneh saya dan Mbak Vina. Tuh kan.. Kerudung kami menarik perhatian.. Tapi itu cuma sebentar. Tak lama kemudian, mereka kembali asyik dengan kegiatannya masing-masing.
Di trotoar, beberapa waria dengan make up tebal dan baju mini melintas, mencari pelanggan. Sesekali berpose seksi saat beberapa turis membidikkan kamera pada mereka. Kadang mereka terpekik senang saat berpapasan dengan temannya, cipika-cipiki sebentar lalu kembali ke kesibukannya semula. Di seberang jalan, berjajar beberapa bar gay yang dihiasi lampu warna warni. Di dekat pintu masuk salah satu bar yang terbuka lebar-lebar, ada panggung kecil tempat seorang pria atletis berdiri. Hanya mengenakan sehelai celana dalam, pria itu menari erotis; meliuk-liukkan tubuhnya yang mengkilap berkeringat. Di sekitar panggung, berjejalan para pengunjung bar yang juga berdisko seirama musik. Beberapa orang yang mungkin tertarik melihat tariannya beranjak masuk ke bar.
Di bar sebelahnya, seorang waria ber-wig pink menyanyikan secara lipsync sebuah lagu dari band Aqua. Meski mengenakan sepatu high heels, ia tetap lincah melenggak-lenggok di atas panggung, kadang-kadang genit menjawil beberapa pengunjung yang sedang menyaksikan penampilannya. Pekerja seks, penari erotis dan karyawan bar di sini tak semuanya warga setempat. Ada pula yang datang dari pulau lain seperti Lombok atau Jawa.


Mas Bastian memperkenalkan kami pada Yudi dan Oding, dua aktifis Yayasan Gaya Dewata yang malam itu sedang membagi-bagikan brosur edukasi dan kondom gratis sebagai bentuk kampanye seks aman untuk mencegah penularan IMS dan HIV. Sambil berbincang dengan saya, Oding menawarkan kondom gratis pada seorang waria yang melintas. Waria itu menerimanya, lalu dengan kenes menyelipkan kondom itu di bagian dada mini dress-nya. Oala.
“Kegiatan bagi-bagi kondom ini memang rutin kita lakukan beberapa kali seminggu,” cerita Oding. “Kita mulai keliling jam 10 malam sampai sekitar jam 4 pagi.”
Di luar aktifitasnya sebagai anggota YGD, cowok kalem ini bekerja sebagai penjaga sebuah butik di Bali. Nggak capek?
“Nggak. Kita sempet istirahat sebentar kok sebelum berangkat kerja pagi-pagi. Lagipula, kegiatan ini kan nggak tiap hari.”
Wow, salut dengan semangat mereka! *two thumbs up*
Akhirnya panitia memberi kode pada kami untuk kembali menuju bus. Dengan sedikit berat hati karena obrolan kami masih seru, saya berpamitan pada Oding.
“Makasih ceritanya ya. Sukses selalu!” kata saya.
“Iya sama-sama. Kamu juga ya, sukses lomba blognya!”
Ternyata sudah pukul 00.30 WITA, saudara-saudara! Agenda field visit hari kedua selesai. Kami kembali ke hotel, membawa banyak pengalaman baru yang membuka mata kami bahwa banyak pejuang yang gigih memerangi HIV/AIDS di sini.


~bersambung~

Finalis GoVlog - Dari Jalan Melati Hingga Jalur Gaza (part 2)



Denpasar, 14.00 WITA.
Syukurlah, setelah makan siang dan sholat, otak dan mata saya mulai bisa diajak konsentrasi lagi. Cacing-cacing perut kesayangan saya pun sudah tertidur nyenyak, kekenyangan. Kami berangkat ke markas Kita Sayang Remaja (KISARA). Lahir pada 14 Mei 1994, KISARA adalah sebuah organisasi remaja sukarela di Bali yang berada di bawah naungan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia).
KISARA dibentuk karena ingin ikut peduli terhadap problema remaja seperti penyalahgunaan narkoba dan masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas, misalnya hubungan seks pranikah yang tidak aman, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, hingga HIV/AIDS. Salah satu caranya, dengan memberi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi yang dikemas dengan pendekatan remaja. Kegiatannya banyak! Ada penyuluhan ke sekolah, pelatihan, acara konsultasi via siaran radio remaja, telepon dan e-mail.
Para relawan KISARA rata-rata merupakan mahasiswa, malah ada juga yang masih pelajar SMA lho. Hmm, rasanya saya ingin menyentil telinga para pelajar sekolah (bahkan mahasiswa) yang hobi tawuran dan bilang pada mereka, “Daripada baku hantam nggak jelas, kenapa nggak melakukan hal keren dan berguna kayak gini??”
Sesudah acara diskusi, kami diajak melihat-lihat markas KISARA. Ruangan yang cukup lapang itu letaknya di lantai tiga dan sekat-sekat membaginya menjadi beberapa ruang kecil. Sinar matahari dan angin siang itu bebas menerobos masuk lewat jendela-jendela yang dibuka lebar. Di dinding yang bercat cerah, ada beberapa poster yang juga berwarna cerah berisi gambar-gambar edukasi HIV/AIDS. Saya melongok ke satu ruangan tanpa kursi dan meja. Di sana terhampar karpet dan bantal-bantal duduk, cozy banget... bikin saya pingin duduk melingkar di sana dengan teman-teman semua, ngobrol sambil mengamati gedung-gedung dan pepohonan di luar jendela besar.
“Ini ruang konsultasi. Remaja-remaja bisa ngobrol, berbagi masalah yang dihadapinya dengan relawan di sini,” kata salah seorang relawan.
Turun kembali ke lantai terbawah, kami diajak melihat-lihat klinik VCT. Ruang tunggu klinik cukup nyaman dengan adanya kursi-kursi, sejumlah tabloid dan brosur untuk dibaca dan televisi untuk para pengunjung. Selain klinik VCT, di sini ada klinik IMS dan laboratorium sederhana. Jika relawan KISARA menemukan remaja yang perlu menjalani tes IMS atau VCT, mereka akan mengajaknya untuk menemui konselor VCT dan menjalani pemeriksaan lab di sini. Tentu saja secara sukarela tanpa paksaan. Oya, kalau masih penasaran dengan kegiatan-kegiatan KISARA yang lain atau ingin bergabung, simak website KISARA di www.kisara.co.id <-- ^__~
Hari hampir sore, kami pamit untuk kembali ke hotel. Pukul 16.00 WITA, kami istirahat dulu dan mesti berkumpul lagi di lobi garis miring ruang makan pukul 20.00 WITA untuk makan malam dan bersiap melaksanakan agenda seru: berkunjung ke transgender and gay hotspots!

Hotel Santika Kuta, 20.30 WITA.
Usai makan malam, kami masih berbincang-bincang di meja makan di sisi kolam renang. Tidak mengenakan busana atasan putih bawahan jins—dresscode wajib para finalis GoVlog selama field visit di Bali, kali ini kami berpakaian bebas. Memang Mas Rendy yang menyarankan begitu, agar di transgender and gay hotspots nanti kami tidak tampak mencolok dan lebih mudah membaur dengan para pengunjung di sana.
Ya, malam ini kami akan menyambangi tempat-tempat di mana para waria dan gay berkumpul. Entah kemana panitia field visit akan membawa kami, tapi yang jelas kami baru akan berangkat ke sana sekitar pukul 22.00 WITA, karena kawasan-kawasan itu baru mulai ramai dan hidup menjelang tengah malam.
Tiba-tiba kami kedatangan dua tamu yaitu Mas Arya dan Mas Bastian, aktifis Yayasan Gaya Dewata (YGD), sebuah organisasi yang didirikan oleh komunitas gay di Bali.

Mas Arya & Mas Bastian dari Gaya Dewata

Organisasi ini punya misi untuk mencegah penyebaran infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS di kalangan gay, waria dan LSL (lelaki suka lelaki) lainnya. Melalui kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan IMS dan HIV/AIDS, mengajak mereka yang termasuk kelompok beresiko terinfeksi HIV untuk memeriksakan diri ke klinik, pembagian kondom sebagai kampanye safe sex, kursus menjahit dan keterampilan salon, dsb YGD berusaha melakukan pendekatan terhadap kalangan-kalangan itu. Kalau mau tahu kiprah YGD lebih detil, langsung aja buka www.gayadewata.com ya!
“Kami berusaha memberi bekal keterampilan supaya semakin banyak waria pekerja seks atau gay pekerja seks bisa mencari nafkah tanpa harus berkecimpung lagi di dunia prostitusi,” kata Mas Arya. “Misalnya, mereka kami arahkan untuk buka usaha menjahit atau salon kecil-kecilan, jadi dancer dan entertainer.”
Berhasilkah?
“Ya sudah banyak yang sekarang mandiri dengan pekerjaan barunya, tapi banyak juga yang bandel dan kembali menjadi pekerja seks.”
Waktu beranjak makin malam. Kami bersiap berangkat ke dua tempat: pertama, ke Jalan Bung Tomo—yang terkenal sebagai tempat mangkal para waria pekerja seks. Kedua, ke Jalan Seminyak—kawasan hiburan dengan bar-bar yang sering dikunjungi para gay.  
Saya sempat deg-degan juga sih. Saya kuatir bakal tampak mencolok dengan kerudung saya. Hei, tapi kan saya nggak sendirian. Ada Mbak Vina dan Febi—dua finalis wanita GoVlog selain saya, juga Mbak Galuh dari vivanews.com, kami semua berkerudung.
Oke.. ayo berangkat. Whatever will be, will be deh!


~bersambung~