“Sudah siap, Yang?”
Teguran lembutnya entah kenapa seperti pekik jam weker yang memutus mimpi
indahku.
“Se-sebentar, Mas!”
Aku bolak-balik mencicipi ramuan berkuah santan di panciku. Layakkah ramuan
itu kusebut masakan? Aku membubuhi gula pasir karena kurang gurih. Menambah garam
karena terlalu hambar. Tapi lalu mengumpat karena rasanya keasinan. Sedetik
kemudian bau gosong tercium. Aku berjengit, baru ingat di kompor sebelah aku
sedang menggoreng bawang. Gosong!
Aku benci memasak! Sial, suami yang kunikahi sebulan lalu sama saja seperti
lelaki lain yang mensyaratkan istri, “Harus bisa memasak”.
“Aku tak bisa masak! Kamu nanti keracunan.”
“Belajar saja sedikit-sedikit. Aku akan makan masakanmu, apa pun rasanya.”
Sayup suara orang bertakbir sahut-menyahut di kejauhan. Ramadhan sudah mencapai
ujungnya, tapi aku masih saja gagal memasak! Air mataku merebak. Top ambitious woman at work, tak berdaya
di dapur.
“Hei, kok menangis?”
Tiba-tiba dia sudah di sampingku, mengamatiku yang tertunduk.
Santai, diambilnya sepiring masakanku. Ditaburinya dengan bawang goreng
gosong. Ditambahnya potongan ketupat. Lalu dilahapnya pelan, suap demi suap.
Dia tahu aku tahu rasa makanan itu tak karuan, tapi dia tidak bilang apa-apa.
Belum.
Piringnya sudah kosong.
Aku memejamkan mata, siap mendengar keluhan, yang mungkin sudah sebulan ini
dipendamnya sendiri.
Tapi yang kudapat hanya satu kecupan lembut di pipiku.
*
I love opor ayam :)
BalasHapusme too, tapi entah kenapa saya suka makanan ini cuma pas Idul Fitri aja, hehehe
Hapusbaru saja makan malam dengan opor :D
BalasHapusWuih, sedapnya :o
BalasHapus