Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Rabu, 24 Desember 2014

(Book Review) Mockingjay



Judul             : Mockingjay
Pengarang     : Suzanne Collins
Penerbit         : PT. Gramedia Pustaka Utama
Penerjemah   : Hetih Rusli
Tebal              : 432 halaman

Lagi-lagi, rasanya kok basi ya, ngobrolin buku ini sementara filmnya, Mockingjay Part 1 sudah mulai turun tayang dari bioskop-bioskop. Hehehe. Ngga apa-apa deh. Memang saya baru sempet bikin resensi sekarang, walau sudah baca bukunya dari tahun 2012 (lama bangeeet). Resensi saya tentang dua sekuel awal cerita ini bisa dibaca di (Book Review) The Hunger Games dan (Book Review) Catching Fire.

Terungkap bahwa sejumlah peserta pertarungan di Quarter Quell bersatu untuk melawan pemerintah di Capitol. Mereka bahu-membahu bahkan bertaruh nyawa menyelamatkan Katniss dan Peeta. Kedua orang ini bisa dibilang maskot perlawanan terhadap penjajahan Capitol. Setelah Katniss dkk berhasil menyabotase arena Quarter Quell, Pasukan Perdamaian berusaha menangkap mereka. Berkat bantuan Haymitch Abernathy dan Plutarch Heavensbee, Katniss dan Finnick berhasil lolos. Sayangnya, Peeta dan Johanna ditawan di Capitol dan tak terdengar kabarnya lagi.

Pemberontakan berkobar di hampir semua distrik. Capitol membumihanguskan distrik 12, sebagaimana distrik 13 puluhan tahun lalu. Hanya sebagian kecil warga distrik 12 yang selamat, termasuk keluarga Katniss dan Gale.

Abu beterbangan di sekelilingku, dan aku mengangkat ujung kemejaku menutupi mulutku. Aku tidak perlu bertanya-tanya abu apa yang kuhirup ini, tapi pertanyaan abu siapa ini yang membuatku tercekat.

Yang mengejutkan, selama puluhan tahun ini distrik 13 di bawah pimpinan presiden Alma Coin diam-diam membangun kembali wilayah mereka di bawah tanah. Di sana berdiam para pemberontak, juga pengungsi dari distrik 12. 

Pin burung mockingjay milik Katniss, tanpa ia sadari menjadi simbol pemberontakan. Alkisah, mockingjay adalah percampuran burung mockingbird dan jabberjay. Dulu jabberjay dirancang oleh Capitol mampu menirukan suara manusia yang didengarnya, dengan tujuan untuk mengintai aktivitas pemberontak. Para pemberontak yang tahu taktik ini malah mengerjai Capitol dengan memperdengarkan percakapan berisi informasi palsu. Akhirnya Capitol melepas semua jabberjay ke alam liar supaya punah. Namun sebaliknya, mereka mampu bertahan hidup bahkan kawin silang dengan mockingbird, menghasilkan spesies baru: mockingjay. Mockingjay mampu menirukan lagu yang dinyanyikan manusia, dan cukup tangguh untuk hidup di alam liar yang keras.

Katniss diminta menjadi Sang Mockingjay, pemimpin pemberontakan, karena ia dianggap mampu mempersatukan distrik-distrik untuk melawan Capitol. Faktanya, Katniss sedang hancur. Kalau di buku kedua Katniss digambarkan lebih manusiawi karena bisa ketakutan dan putus asa, maka dalam sekuel Mockingjay dia benar-benar terpuruk di bagian awalnya. Pengalaman buruk dua kali ikut Hunger Games, kehilangan Peeta dan teman-temannya membuat Katniss depresi. Saat tidak dalam pengaruh obat-obatan, dia keluyuran dan melamun di sudut-sudut sepi. Tidurnya selalu dihiasi mimpi buruk. Penghiburan dari Prim, ibunya, atau Gale tak banyak menolong.

Saat terombang-ambing ini, Katniss dikejutkan oleh penampilan Peeta dalam siaran televisi Capitol. Ucapan Peeta dalam siaran itu membangkitkan kemarahan pemberontak, dia dicap pengkhianat karena menentang perang.

"Kita hampir punah karena saling membunuh. Apakah ini yang sungguh-sungguh kita inginkan? Memusnahkan satu sama lain?"

Oh, sweet, gentle Peeta. Of course he is against any war for any reason. Aku padamu, Peeta! Hehe..

Awalnya Katniss bersedia jadi Mockingjay bukan demi idealisme nasionalis apa pun, tapi hanya karena dia hilang arah tanpa Peeta (yang awalnya dikira sudah tewas disiksa), dan merasa tujuan hidupnya yang tersisa adalah membunuh presiden Snow. Tapi setelah tahu Peeta masih hidup, Katniss bertekad menyelamatkannya.

"Kau hidup," bisikku, senyum di wajahku begitu lebar sehingga membentuk seringai. Peeta hidup. Dan jadi pengkhianat. Tapi pada saat itu, aku tak peduli.

Sebagai maskot pemberontakan, Katniss harus berakting dalam video-video propaganda, yang disebut propo. Lewat propo, Katniss harus berusaha membangkitkan semangat warga distrik agar mau bergabung melawan Capitol. Beetee si jenius sains menyusupkan video-video propo ini  ke  dalam siaran televisi, sehingga bisa ditonton seantero distrik.

Tahu dong, alangkah tak berbakatnya Katniss akting di depan kamera. Plutarch sampe bela-belain menerjunkan Katniss ke distrik yang sedang bergejolak, bersama Gale, pasukan kecil dan kru kamera, supaya Katniss dapet feel yang dibutuhkan untuk syuting propo. Namun menyaksikan hancurnya distrik tersebut, juga warga yang mati dan terluka karena perang, Katniss malah mendapat motivasi baru untuk melawan Capitol. Tidak sekedar balas dendam, atau Peeta, tapi karena melawan Capitol adalah satu-satunya cara agar di masa depan penjajahan dan pertumpahan darah seperti ini tidak ada lagi. Saat itu juga, Katniss baru paham dirinya amat berarti bagi perjuangan Panem.

Aku mendengar namaku disebut, menyebar di seantero rumah sakit. "Katniss! Katniss Everdeen!" Suara-suara kesakitan dan penderitaan mulai berkurang, digantikan kata-kata pengharapan. Tak ada kata-kata penting, tak ada kata-kata luar biasa yang menginspirasi. Tapi tak masalah. Boggs benar. Melihatku dalam keadaan hidup sudah menjadi inspirasi bagi mereka. 

Terluka, letih, tak sempurna. Itulah cara mereka mengenaliku, dan kenapa aku menjadi milik mereka.

Seiring dengan suksesnya propo Katniss dalam membakar semangat pemberontakan, Capitol berusaha menandinginya dengan menampilkan Peeta, seakan berada di kubu yang berlawanan dengan Katniss. Makin berapi-api Katniss mengajak Panem melawan Capitol, semakin buruk siksaan untuk Peeta. Saat Katniss meragukan kesanggupan dirinya untuk terus menjadi Mockingjay, pasukan sukarelawan yang dikirim ke Capitol berhasil membebaskan Peeta yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Tapi tak sesuai harapan.. pertemuan kembali Katniss dan Peeta sama sekali bukan momen bahagia. Sebaliknya, Peeta berubah drastis dari dirinya yang dulu.

Apa pun yang kurasakan terhadap Peeta, inilah yang kuterima jauh dalam lubuk hatiku bahwa dia takkan pernah kembali padaku.

Di buku pertama dan kedua, bisa dibilang Peeta adalah tokoh kesayangan penulisnya. Betapa Peeta digambarkan menyayangi Katniss sepenuhnya, tanpa pamrih, sama sekali bukan saingan Gale. Tapi di buku terakhir ini, selama separuh bagian awal cerita, Peeta yang jadi tawanan Capitol seperti "disingkirkan". Lalu selama hampir separuh sisa cerita, Suzanne Collins menjungkir balikkan Peeta menjadi sosok asing yang rusak, tidak stabil, tak bisa diandalkan, bahkan berbahaya. Pokoknya pembaca yang nge-fans sama Peeta bakal agak termehek-mehek deh di buku ketiga ini.

Sebaliknya, para pendukung Gale pasti merasa di atas angin karena kali ini Gale dapat porsi sangat besar dalam cerita, hmm.. mungkin untuk menebus minimnya peran Gale dalam dua buku sebelumnya ya? Hehe. Di sini, Gale dengan heroik menyelamatkan banyak warga saat distrik 12 dibombardir Capitol, menemani Katniss melalui masa-masa sulit di distrik 13 dan medan pertempuran. Rasa sayang dan pengorbanannya untuk Katniss juga sama besarnya dengan Peeta. Saya bahkan hampir nge-fans sama Gale juga saat dia jadi orang pertama yang mengajukan diri untuk membebaskan Peeta. Satu-satunya kekurangan Gale adalah, dia bukan pemaaf. Gale baik, tapi kemarahan dan kebencian membuatnya jadi punya sifat kejam. Gale tertarik dengan gagasan seandainya Capitol kalah, maka harus diadakan Hunger Games terakhir, dengan anak-anak Capitol sebagai pesertanya...

Tokoh-tokoh baru dalam Mockingjay tak kalah keren dengan sekuel sebelumnya. Ada Presiden Alma Coin yang kharismatik tapi diam-diam manipulatif dan penuh perhitungan, Komandan Boggs yang tampang preman tapi berhati Rinto Harahap (wkwkwk), Cressida si sutradara dari Capitol yang membelot ke pihak pemberontak, dan Pollux kru kamera yang berpostur gede tapi menangis karena mendengar nyanyian Katniss.

Seperti biasanya, saya suka setiap kali Suzanne Collins memasukkan detil-detil strategi bertahan hidup atau taktik bertempur dalam cerita. Misalnya, saat Gale berusaha memahami jalan pikiran mangsa untuk membuat jerat hewan, lalu menerapkan prinsip ini untuk merancang senjata.

Bom, kebanyakan. Tidak berpusat pada mekanismenya tapi lebih ke psikologisnya. Membahayakan keturunan agar bisa menjerat sasaran yang diinginkan, yaitu orangtuanya. Menggiring korban ke tempat perlindungan yang tampak aman--di sana ajal menunggu mereka. Bom meledak. Ada jeda waktu agar orang-orang sempat bergegas menolong mereka yang terluka. Kemudian bom kedua, yang lebih kuat daya ledaknya, akan membunuh para penolong juga.

Namun dari ketiga sekuel The Hunger Games, inilah yang menurut saya paling gelap dan nujes-nujes hati. Meski di awal cerita sedikit membosankan karena berisi propo, cukup banyak adegan pertempuran yang seru, baik itu baku tembak, ledakan, kejar-kejaran dengan mutan pemangsa buatan Capitol, dan sebagainya. Tempo pun jauh lebih cepat dibanding sekuel sebelumnya, jadi ketegangannya lebih terasa. Yang bikin nujes hati, di sini Suzanne Colins membunuh begitu banyak tokoh karangannya dalam waktu singkat. Bahkan tokoh-tokoh lama yang pastinya sudah punya penggemar masing-masing di kalangan pembaca, tak luput dari pembantaian. Aaaargh. Geregetan dan patah hati juga sih. Tapi ending cerita kan memang terserah pengarangnya ya? Pembaca dilarang sewot, hehe.

So, how will it end? Siapa yang akan berada di sisi Katniss akhirnya? Gale? Peeta? Atau tidak keduanya...?


4 komentar:

  1. Menarik ya, tapi sudah ada filmnya sih. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. don't judge a book by its movie... versi buku tetep terasa lebih original lho, mbak Dini ;)

      Hapus
  2. Balasan
    1. To Kill A Mockingbird ya mbak? Itu juga bagus bukunya ^_^

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)