Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Sabtu, 03 Mei 2014

Saat Antibiotik Tak Lagi Manjur

Kita tentu sudah tak asing lagi dengan obat-obatan yang bernama antibiotik. Antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, jamur, parasit dan virus. Perannya sudah tidak diragukan lagi dalam dunia kedokteran. Banyak penyakit infeksi yang dulu merenggut nyawa jutaan penduduk dunia, sekarang bisa disembuhkan dengan antibiotik.

Misalnya, sebut saja malaria. Ratusan tahun lalu, penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium ini telah menewaskan banyak orang. Setelah ditemukannya chloroquine pada tahun 1934, yang ternyata mampu membunuh Plasmodium, menyusul dibuatnya senyawa quinine sintetis pada tahun 1944, banyak pasien yang kemudian dapat sembuh dari penyakit ini. 

Tuberkulosis (TB), hingga puluhan tahun lalu masih dianggap sebagai 'vonis mati', bahkan di negara-negara Eropa. Siapa yang terkena, yah... tinggal banyak berdoa dan pasrah deh. Pasien TB ditempatkan di sanatorium pedesaan atau pegunungan. Selain agar keluarga si pasien tidak tertular, diharapkan udara yang bersih dan sejuk di lingkungan sanatorium akan membantu penyembuhan. Tapi nyatanya, lebih dari 50 persen pasien TB meninggal dalam waktu lima tahun. Baru pada tahun 1960-an, setelah ilmuwan menemukan bahwa kombinasi antibiotik streptomycin, P.A.S dan isoniazide dapat menyembuhkan TB, banyak pasien tuberkulosis yang diobati  akhirnya sehat kembali. 

Sejarah penemuan antibiotik sendiri cukup menarik lho. Kita napak tilas dikit ya? Antibiotik pertama kali ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming. Itu pun secara ngga sengaja. Suatu hari seusai bekerja di laboratorium, Fleming meninggalkan cawan petri berisi biakan bakteri Staphylococcus. Dua minggu kemudian saat kembali ke laboratoriumnya, Fleming mendapati kapang telah tumbuh pada cawan tersebut, dan daerah di sekitar kapang tampak bersih, padahal tadinya cawan penuh dengan pertumbuhan bakteri Staphylococcus

Karena penasaran, Fleming terus meneliti kapang itu, yang ternyata adalah Penicillium notatum. Dari kapang ini, dibuatlah senyawa antibiotik bernama penicillin. Obat ini ternyata berjasa banget menyelamatkan nyawa para tentara Perang Dunia II yang mengalami infeksi pada luka-luka di tubuh mereka. Wajarlah kalau Fleming akhirnya diganjar penghargaan nobel atas penemuannya itu. Kenal dong yaa sama golongan antibiotik yang satu ini. Mulai dari penyakit batuk-pilek, radang amandel, sampai luka terbuka di kulit, bisa diobati dengan penicillin. Harganya terjangkau pula. Murah meriah deh pokoknya.

Dokter Fleming serius banget melototin biakan bakteri.
Gambar diperoleh dari sini

Seiring perkembangan zaman, ditemukan pula antibiotik-antibiotik baru dari berbagai golongan, yang lebih mumpuni dan efektif. Misalnya cephalosporin, carbapenem dan fluoroquinolone. Penggunaannya sudah meluas di berbagai belahan dunia. Namun, setelah tahun 1970-an, tak banyak kemajuan berarti dalam penemuan antibiotik baru. Dulu ini mungkin tak dipersoalkan, karena antibiotik-antibiotik yang ada cukup efektif untuk mengendalikan penyakit-penyakit infeksi di masa itu.

Namun, saat ini semakin banyak terjadi kasus resistensi antibiotik, alias mikroorganisme menjadi kebal terhadap antibiotik, sehingga diperlukan antibiotik lain, yang notabene lebih canggih dan lebih mahal, untuk membunuhnya. 

Demam tifoid, misalnya. Penyakit saluran cerna ini memiliki gejala-gejala berupa demam selama 7 hari atau lebih, biasanya demam terjadi pada sore atau malam hari, disertai rasa mual, muntah, nyeri perut atau diare. Biang keladinya, yaitu bakteri Salmonella typhimurium, dulu cukup dibasmi dengan antibiotik golongan chloramphenicol yang lumayan terjangkau harganya. Setelah banyak terjadi kasus demam tifoid yang resisten terhadap golongan obat tersebut, terapi beralih ke antibiotik fluoroquinolone. Namun, lagi-lagi bakteri Salmonella mulai menunjukkan kekebalan juga terhadap fluoroquinolone.  

Kenapa kasus mikroorganisme kebal obat kini marak? Suka ngga suka, kita harus mengakui bahwa kita sendirilah salah satu penyebabnya. Selama 70 tahun  terakhir, telah terjadi pemakaian antibiotik secara berlebihan dan tidak rasional di seluruh dunia, baik pada manusia maupun pada hewan ternak. Termasuk di Indonesia. 

Pernah dengar soal ayam ternak yang pakannya dicampur antibiotik supaya tak gampang sakit? Atau bahkan ada di antara kita yang mempraktekkannya?

Pernahkah merasa penyakit kita sudah sembuh setelah minum antibiotik selama dua hari, lalu kita berhenti minum obat itu, padahal dokter jelas-jelas berpesan, "Antibiotiknya harus dihabiskan ya!"?

Pernahkah membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek, dan hanya mengira-ngira nama dan dosis obat itu dari pengalaman, "Kayaknya dulu waktu sakit diare begini, dokter ngasih antibiotik A deh? Kayaknya dosisnya segitu deh."?

Pernahkah kita mengganti sendiri antibiotik yang diresepkan dokter dengan antibiotik lain karena merasa obat dari dokter ngga tokcer?

Atau, pernahkah memaksa dokter agar memberi antibiotik untuk penyakit kita padahal menurut dokter belum perlu?

Kalau sebagian besar jawabannya adalah ya, maka selamat! Kita sudah berperan membuat mikroorganisme penyebab penyakit menjadi kebal antibiotik! :(

Antibiotik bukan permen yang boleh dikonsumsi siapa saja. Juga bukan vitamin yang boleh distop kapan saja. Dan jangan dianggap sama seperti obat pegal linu yang sekali minum saja sudah bikin sembuh. 

Banyak penyakit infeksi memiliki gejala yang sekilas mirip satu sama lain, misalnya malaria dan demam tifoid. Sama-sama ada demam yang sering disertai mual muntah. Tapi penyebab keduanya sangat berbeda. Malaria disebabkan oleh parasit, sedangkan demam tifoid disebabkan oleh bakteri. Antibiotik untuk keduanya jelas beda dong.

Setiap mikroorganisme penyebab penyakit juga punya karakteristik masing-masing. Ada yang bisa dibasmi hanya dengan dosis antibiotik selama lima hari, ada yang baru bisa dibunuh tuntas setelah berbulan-bulan digempur antibiotik! 

Antibiotik pun punya karakteristik masing-masing. Misalnya, penicillin lebih cepat berkurang kadarnya di dalam tubuh kita dibandingkan dengan ciprofloxacin, sehingga supaya bekerja sempurna, penicillin perlu diminum tiga kali sehari sedangkan ciprofloxacin cukup dua kali sehari. 

Mulai paham kan, kenapa dokter memberikan antibiotik yang berbeda, dengan dosis dan cara minum yang berbeda untuk berbagai penyakit?

Nah, apa jadinya kalau kita mengkonsumsi antibiotik seenaknya? Salah pilih, salah dosis, atau menghentikan minum antibiotik sesukanya bisa menyebabkan mikroorganisme bermutasi alias berubah sifatnya menjadi kebal terhadap antibiotik. Akibatnya, kita juga yang rugi lho. Kita jadi butuh waktu lebih lama dan antibiotik yang lebih mahal untuk sembuh. Resiko kematian akibat infeksi juga meningkat. Dan pastinya, biaya pengobatan pun menjadi lebih mahal.

Awas! Bakteri yang masih hidup karena 
konsumsi antibiotik tak sesuai aturan,
dapat berubah menjadi kebal obat.
Gambar diperoleh dari sini

Jika penggunaan antibiotik yang sembarangan masih terus berlanjut, bukan tak mungkin nanti akan tiba masa di mana antibiotik tak lagi ada berguna karena sudah tidak manjur untuk menyembuhkan penyakit infeksi. Bayangkan, dunia seolah mundur seribu langkah ke abad ke-19 di mana luka remeh macam tergores pisau cukur bisa berujung pada kematian, dan penyakit seperti kolera dan disentri kembali menjadi wabah yang membunuh jutaan orang.

Ngga mau kan hal buruk itu sampe terjadi? Lalu, apa yang harus kita lakukan? WHO (World Health Organization) merekomendasikan dua langkah ini:

Jangan sampai sakit atau menularkan penyakit kepada orang lain.

Kalau sehat, tidak perlu sampai minum antibiotik kan?

Selalu jaga kebersihan tangan. Tangan adalah anggota tubuh kita yang paling aktif 'mengembara' kemana-mana. Coba ingat-ingat, benda apa saja yang sudah kita sentuh hari ini? Lembaran uang kembalian? Sayuran mentah di pasar? Gagang pintu? Bayangkan, alangkah banyak mikroorganisme yang telah kontak dengan tangan kita melalui benda-benda tersebut. So, jangan lupa cuci tangan sebelum dan sesudah makan. Pastikan tangan kita bersih sebelum bermain-main dengan anak atau sesudah merawat orang yang sakit.

Makanlah makanan yang cukup dan bergizi, agar daya tahan tubuh kuat. Sistem kekebalan tubuh yang oke ibarat benteng kokoh yang melindungi kita dari serangan penyakit infeksi. dan tidak gampang sakit. Selain itu, lingkungan sekitar juga mesti sehat. Misalnya, upayakan bagian dalam rumah kita mendapat sinar matahari yang cukup. Kondisi ruangan yang  cenderung lembab bakal bikin mikroorganisme seperti jamur dan parasit betah hidup di sana.

Untuk penyakit-penyakit tertentu yang sudah ada vaksinnya, misalnya meningitis dan tuberkulosis, kita bisa mencegahnya dengan cara vaksinasi. Kalaupun setelah itu masih terkena penyakit juga, setidaknya dengan vaksinasi tidak terjadi komplikasi penyakit yang parah.

Yuk cegah penyakit infeksi agar tak harus minum antibiotik!
Gambar diperoleh dari sini

Jangan sembarangan mengkonsumsi antibiotik.

Kalaupun kita sakit dan perlu mengkonsumsi antibiotik, maka lakukan dengan benar! Minumlah antibiotik hanya bila diresepkan oleh dokter. Dosis dan aturan pakainya mesti sesuai dengan perintah dokter, serta wajib dilanjutkan sampai tuntas sekalipun kita sudah merasa lebih baik. Satu lagi nih, jangan pakai obat sisa bekas orang lain ya, mentang-mentang pingin irit. Soalnya, kondisi penyakit seseorang belum tentu sama dengan orang lain, jadi penanganannya tidak bisa disamaratakan begitu saja. Lagipula obat-obat bekas bisa jadi khasiatnya sudah berkurang, misalnya karena tidak disimpan dengan baik atau sudah kadaluarsa.

Cara mengkonsumsi antibiotik yang benar.
Gambar diperoleh dari sini



Referensi:
Cegah Resistensi Terhadap Antibiotik




3 komentar:

  1. membaca artikel ini jadi makin sadar bahwa sehat itu mahal :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selagi sehat badan harus dijaga.. mencegah itu lebih murmer daripada mengobati ya :)

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)