Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Kamis, 08 November 2012

Pendidikan Abal-abal?



Laboratorium kami kedatangan rombongan mahasiswa sebuah sekolah tinggi ilmu kesehatan. Dibagi dalam beberapa kelompok, mereka bergiliran praktikum di instalasi imunologi dan mikrobiologi kami.

Untuk mahasiswa semester atas seperti mereka, pengetahuan dan lab skill mereka masih terlalu minim. Alat-alat yang jamak ada di lab klinik seperti mikroskop dan mikropipet saja ada yang masih canggung memakainya. Konsep pengenceran dalam pemeriksaan kuantitatif pun mereka kebingungan. Ibaratnya, kayak mahasiswa jurusan IT semester atas yang masih bingung bagaimana menggunakan laptop.

Ini mengherankan teman-teman saya yang menjadi pembimbing praktikum mereka. Halooo, dua tahun--bahkan hampir tiga tahun kuliah lho. Ngapain aja selama itu?


Dan pengakuan sebagian mereka cukup mengejutkan. Di kampus mereka hanya ada lab patologi klinik. Untuk praktikum imunologi dan mikrobiologi, apalagi ke lab luar, ya baru kali ini. Itu pun hanya dua hari di tiap instalasi.

Ilmu apa yang bisa mereka peroleh dalam waktu sesingkat itu? Saya mengamati sendiri, mereka masih bingung dan mungkin "overload" dijejali seabrek hal baru.

Sebetulnya kami sudah menjelaskan pada pihak kampus bahwa waktu praktikum ideal adalah lima hari. Pengajar tidak terburu-buru membimbing mahasiswa untuk praktikum, mahasiswa juga tidak merasa dijejali dan terburu-buru menelan semua hal baru yang mereka dapat. Tapi pihak kampus tetap bersikeras pada permintaan mereka semula. Entah apa alasannya.

Menjamurnya institusi pendidikan swasta setingkat Diploma atau Sarjana di kota besar, sayangnya belum tentu dibarengi kualitas yang bagus. Ada segelintir orang yang membangun institusi pendidikan asal jadi atau abal-abal, dengan prinsip yang penting ada. Ada bangunannya, ada tenaga pengajarnya, ada murid yang mendaftar, dan dengan demikian ada pemasukan. Institusi seperti ini mungkin bisa membekali anak didiknya dengan ijazah, tapi bagaimana dengan ilmu dan kemampuannya? Still a big question.

Saya pernah ditawari teman untuk mengajar di salah satu sekolah tinggi kesehatan. Tertarik mencoba, saya terima tawaran itu. Saya tanyakan kapan saya harus datang untuk tes, wawancara atau semacam seleksi fit and proper test gitu. Tahu apa jawabannya?


"Nggak perlu, Bu. Langsung ngajar aja. Sudah sebulan mata kuliah ini kosong karena ngga ada dosennya."



Tanpa meminta surat lamaran kerja, curriculum vitae, atau selembar fotokopian ijazah pun, pegawai bagian kemahasiswaan langsung menyodori saya setumpuk kertas berisi jadwal mata kuliah yang saya pegang dan kurikulum selama satu semester. Aneh... Kok pihak kampus langsung percaya bahwa saya kompeten untuk mengajar mahasiswanya? Ngga takut ya kalo ternyata saya sering bolos, berijazah palsu, atau apa gitu?



Udah gitu, saya diminta mulai bekerja tanpa selembar pun surat resmi, misalnya, bahwa saya diterima sebagai tenaga pengajar paruh-waktu, atau yang semacam itulah. Tadinya saya pikir, ini hanya karena keadaan darurat, berhubung dosen sebelumnya resign dan waktu amat mepet untuk mencari dosen pengganti melalui prosedur yang seharusnya.



Ternyata tiga orang rekan saya di lab, yang juga baru mulai mengajar di sana, mengalami hal serupa.  Tapi, okelah. Kami memutuskan untuk wait and see. Saya mulai hunting buku dan artikel untuk referensi mengajar. Membaca dan merangkumnya menjadi bahan kuliah yang akan saya presentasikan di hadapan mahasiswa. Saya juga menyiapkan contoh-contoh kasus dan gambar-gambar pendukung untuk diskusi, supaya mereka nantinya tak bosan.



Kesan saya selanjutnya?



Saya kecewa, beberapa kali kelas saya tidak kebagian jatah proyektor portabel karena sudah habis dipakai oleh tiga kelas lain di jam yang sama. Pernah pula saya bermaksud pinjam laptop kampus karena laptop saya error sehingga tidak bisa terhubung dengan proyektor, tapi jawabannya: "Tidak ada laptop, Bu. biasanya dosen bawa laptop masing-masing."



belajar dengan laptop di sekolah
Serius nih, kampus ngga punya laptop? Dan jangan tanya juga apa ada wifi di lingkungan kampus. Jangankan mahasiswa, anak SMA saja sudah familiar dengan sarana-sarana itu dalam proses belajar di sekolah. Apalagi ini di ibukota.


So?


Dengan perekrutan dosen yang terkesan asal comot, bagaimana mereka menjamin anak-anak didiknya memperoleh ilmu yang benar? Lalu, dengan sarana yang ngga memadai dan proporsi jam praktikum yang sedikit, bagaimana mereka menjamin lulusannya bisa bersaing dengan banyak kompetitor lain yang punya pengetahuan dan skill mumpuni di dunia kerja nanti?



Semoga saja ini cuma prasangka saya. Mudah-mudahan saya salah. Semoga sekolah tinggi yang saya ceritakan ini hanya institusi yang sedang berusaha sekeras mungkin untuk berbenah dari hari ke hari, dan bukan termasuk institusi pendidikan abal-abal.

*

4 komentar:

  1. Ini menarik banget. Banyak institusi pendidikan yg asal comot begini ya, orientasinya hanya uang dan bukan kualitas lulusannys? Miris ya. Mungkin Ruri dikasih kesempatan utk memperbaiki, walaupun pastinya banyak pengorbanan dan makan waktu yg tidak pendek. Semangat ya! :)

    BalasHapus
  2. Curhat ya bu... :D ... tapi kalau dibaca artikelnya sih, memang kenyataanya gitu... masih banyak kok yang melakukan hal seperti itu... :p

    Eko
    eko.nugroho@viva.co.id

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih mas Eko. Bukan apa-apa, kasian aja sama murid/mahasiswa yang terlanjur masuk ke institusi pendidikan abal-abal. :(

      Hapus
  3. seharusnya tujuan utama dari Yayasan atau apapun yg membuat sekolah/kampus bukanlah Profit tetapi Quality Of Educationnya....krn klu Qualitynya Bagus pasti Profit datang dgn sendirinya....

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)