Judul : The Marriage Roller Coaster
Penulis : Nurilla Iryani
Penerbit : Stiletto Book
Tebal : 206 halaman
Ada yang menganggap pernikahan adalah sebuah "happy ending" yang berlaku selama-lamanya seperti drama romantis di televisi. Padahal, tidak juga. Menurut saya, pernikahan itu baru babak pembuka dari keseluruhan cerita. Kadang penuh adegan bahagia, sewaktu-waktu bisa jungkir balik juga menjadi sedih, bahkan ada yang berakhir dengan perpisahan. Betapa kehidupan rumah tangga itu memang mirip wahana roller coaster yang penuh kejutan.
Audi dan Rafa adalah pasangan suami istri yang terjebak dalam kehidupan urban super sibuk. Rafa nyaris selalu pulang larut malam, dan terlalu cuek untuk menanggapi sungguh-sungguh permintaan Audi supaya dia mau berusaha meluangkan waktu berdua. Rafa merasa Audi ngga pantas mengeluh, karena toh Audi juga yang menikmati (tepatnya, menghamburkan) hasil kerja keras Rafa mencari nafkah.
Audi yang shoppaholic memang sering menghabiskan jatah limit kartu kredit suaminya untuk belanja-belanji barang bermerk di mall. Kebiasaan yang dangkal dan kekanak-kanakan sih menurut saya, tapi kasihan juga kalau melihat alasan di balik hobi gila belanja itu. Being a shoppaholic adalah cara Audi menghibur diri dari kesepian karena Rafa sangat jarang ada di sisinya.
Shopping is the best aspirin.
Tanpa disangka, suatu hari dia bertemu dengan Yoga, mantan pacar waktu kuliah dulu. What an awkward situation, karena rupanya masih ada ganjalan soal perpisahan mereka. Yoga yang tidak tahu Audi sudah menikah, berusaha mendekat lagi. Apalagi ketika perusahaan tempat Yoga bekerja ternyata adalah calon klien Audi. Pertemuan-pertemuan antara mereka berdua makin sering.
Payahnya Audi seperti menutupi fakta dari Yoga bahwa dirinya sudah married and no longer available, gara-gara takut Yoga akan marah dan mempersulit jalannya proyek kerjasama kedua perusahaan. Berhasil-tidaknya proyek ini, akan mempengaruhi promosi kenaikan jabatan Audi, yang sudah lama diinginkannya. Di sisi lain, dia juga menutupi dari Rafa yang pencemburu berat bahwa dia dan Yoga kini dekat karena urusan pekerjaan.
Sepintar-pintarnya Audi menyembunyikan rahasia, toh akhirnya terbongkar juga. Yoga yang memergoki Audi pergi bersama Rafa, sakit hati karena merasa dipermainkan oleh Audi. Dia balas mengerjai Audi dengan memaksanya lembur kerja berkali-kali. Rafa juga kesal dan curiga karena Audi jadi sering pulang larut malam. Apalagi itu gara-gara Yoga, calon klien-alias-mantan Audi. Konflik bertambah runyam ketika Audi hamil, dan Rafa sempat meragukan siapa ayahnya. Karena tekanan pekerjaan sekaligus pertengkaran rumah tangga yang dialaminya, Audi terancam keguguran...
Lebih baik mana? Mempertahankan suami dengan karakter yang sudah berbeda jauh dengan saat pertama kenal dulu, atau kembali pada mantan yang tahu cara memperlakukan perempuan seperti ratu?
Jujur, Nurilla Iryani sukses menggambarkan Rafa sedemikian rupa hingga saya jadi kebawa kesel luar biasa. Workaholic, dingin, insentitive, egois dan terlalu pencemburu. Terus saya jadi bingung, kok bisa-bisanya dulu Audi meninggalkan Yoga untuk lelaki semacam Rafa? Di sisi lain, Yoga tetap sabar, lembut dan perhatian seperti dulu saat dia dan Audi masih pasangan kekasih. Sikap Audi yang mencla-mencle saat menghadapi Yoga juga agak menyebalkan sih, tapi bisa dipahami Audi sulit menolak kebaikan Yoga karena dalam hati dia rindu diperlakukan seperti itu.
Saya cuma agak kecewa karena akhir cerita terasa dipaksakan "cepat selesai" dan terlalu mudah. Rafa tiba-tiba saja menyadari kesalahannya dan berubah perhatian sekali pada Audi, sampai-sampai dia menangis dan memohon supaya Audi tidak meninggalkannya. Agak terlalu drastis untuk tokoh Rafa yang sejak awal dideskripsikan dingin dan egois.
However, saya banyak belajar soal kehidupan pernikahan dari buku ini. Kadang-kadang, saat pertama menikahi pasangan, kita berpikir, "Orang inilah yang paling sempurna buat saya." Tapi seiring kita semakin banyak menghabiskan waktu bersama dia, makin kelihatan betapa dia jauh dari bayangan kita tentang sosok pasangan impian. Ini bisa memicu konflik, karena kita bakal "gatal" ingin mengubahnya jadi sesuai keinginan kita. Lebih romantis, lebih perhatian, lebih segala-galanya. Ketika kita gagal melakukannya, lantas kita jadi suka membanding-bandingkan pasangan kita dengan lelaki lain di luar sana yang tampaknya jauh lebih menarik.
Manusia memang tak ada puasnya ya. Seperti Audi yang putus dengan Yoga karena merasa hubungan mereka terlalu harmonis, flat tanpa konflik. Setelah menikah dengan Rafa, baru dia merasa butuh perhatian dan kasih sayang seperti cara Yoga mencintainya dulu.
Beberapa orang tergoda mencari sosok Mr. and Mrs. Perfect itu dengan cara flirting, berselingkuh, bercerai. Itu hak masing-masing sih... Tapi gimana bila suatu saat siklus ini berulang lagi? Apa yang akan kita lakukan saat tiba masa kita bosan pada pasangan baru, dan tak lagi menganggapnya sempurna? Wanna throw him/ her to find another perfect one? How childish and irresponsible...
Mungkin kita harus berkali-kali ngaca, bahwa kita sendiri pun sama sekali ngga sempurna. Bisa jadi jauh lebih tak sempurna ketimbang pasangan yang kita keluhkan ketidaksempurnaannya. Mungkin kitalah yang harus bersyukur, bahwa Tuhan mau ngasih kita pasangan sebaik pasangan kita, padahal kita ini banyak kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)