Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 18 Februari 2014

(Book Review) Bittersweet Love


Judul     : Bittersweet Love
Penulis  : Netty Virgiantini & Aditia Yudis
Penerbit: GagasMedia
Tebal     : 244 halaman

Karena judulnya yang melankolis, awalnya saya sempat menyangka novel ini bakal bercerita tentang cinta menye-menye sepasang kekasih, atau tema klise semacamnya. Ya, saya melankolis, tapi bukan penggemar drama "lebay", hehe.

Namun, berhubung belum paham apa yang dimaksud karya duet, saya jadi penasaran sama konsep yang ditawarkan novel ini. Novel duet, maksudnya novel yang ditulis bersama oleh dua orang. Ini pertama kalinya saya membaca tulisan Netty Viargiantini. Sedangkan Aditia Yudis, saya pernah membaca beberapa fiksi singkat yang ia tulis di blognya. And I like her stories. Jadi, saya putuskan untuk membaca Bittersweet Love.

Novel ini terdiri dari dua novela. Novela pertama, Take It, bercerita dari sudut pandang Nawang, seorang gadis yang tak lagi bahagia sejak perceraian kedua orangtuanya.

Surya, ayah Nawang, yang jatuh cinta dengan Hesti, akhirnya bercerai dari istrinya dan menikahi Hesti. Pernikahan ini memberi Nawang saudara tiri, yaitu anak laki-laki Hesti yang bernama Hefin.

Nawang memilih tinggal bersama Ajeng, ibunya, yang kini telah menikah lagi dengan Adjie, duda yang istrinya telah meninggal karena kanker. Pernikahan ini mempertemukan Nawang dengan satu lagi saudara tiri, yaitu Joanna, anak perempuan Adjie.

Perceraian mungkin dipandang sebagai solusi terakhir ketika pernikahan tak bisa dipertahankan lagi. Tapi seringkali perceraian juga membawa luka dan rasa kecewa. Nawang tak pernah bisa menerima perceraian kedua orangtuanya, yang katanya dilakukan demi kebaikan bersama. Nawang menggugat:

"Kebaikan? Kebaikan yang mana? Untuk siapa?"

'Keluarga' menjadi kata yang terasa asing dan jauh. Nawang telah kehilangan keluarga yang dulu dicintainya, dan ia membenci dua keluarga barunya. Hefin adalah musuh bebuyutannya dalam tawuran antar pelajar kedua sekolah mereka. Sedangkan Joanna hanyalah adik tiri manja merepotkan yang harus diboncengnya setiap hari ke sekolah, dan ternyata malah ditaksir oleh Artan--sahabat sekaligus orang yang diam-diam disukai Nawang.

Merasa tak memperoleh kedamaian tinggal serumah bersama orang-orang yang terasa asing, Nawang memutuskan pergi sendirian ke rumah Akung, kakeknya di Tawangmangu. Perlahan kekerasan hati Nawang melumer saat Akung meminta Nawang menempatkan diri di posisi 'keluarga' yang dibencinya. Selain itu, Nawang mulai menyadari bahwa selama ini tatap mata Hefin yang aneh padanya, ternyata bukan mengandung kebencian...

Novela kedua, Pulang, dikisahkan dari sudut pandang Joanna. Jo, anak tunggal yang hidup bahagia dengan kedua orangtuanya, harus menerima kenyataan bahwa bundanya telah wafat dan ayahnya kini menikah dengan wanita lain. Padahal, tidak ada yang pantas menggantikan Bunda, menurutnya. Jo semakin tidak betah berada di rumah dengan adanya Nawang yang membencinya.
Jo sering membolos sekolah dan bertengkar hebat dengan ibu dan kakak tirinya. Jo kabur seorang diri ke Bandung, kota tempat semua kenangan baik tentang bundanya berada. Di tengah pelariannya, tiba-tiba Nawang the queen of evil meneleponnya. Apa iya Nawang sejahat yang ditunjukkannya selama ini?

Saya suka buku ini karena, meski diramu oleh dua penulis yang berbeda dari sudut pandang dua tokoh yang berbeda pula (Nawang dan Joanna), jalinan cerita tetap terasa utuh sebagai satu kesatuan.  Kompak. Saya juga menyukai tema keluarga yang melandasi cerita ini. Saya jadi membayangkan, seperti apa rasanya ya punya keluarga tiri? 

Bahagia karena menemukan sosok pengganti orang tercinta yang telah pergi? Atau malah bikin hidup tambah runyam gara-gara perselisihan antara orang-orang yang tadinya asing tapi kemudian dipaksa tinggal bersama sebagai 'keluarga'? Saya yakin, itu ngga mudah. Pasti butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang yang kepribadiannya mungkin jauh berbeda dengan kita. Dan yang jelas, butuh komitmen dari masing-masing penghuni rumah supaya keluarga yang baru terbentuk ini bisa langgeng. Love needs effort, right?

Dari cerita Nawang & Jo, saya diingatkan lagi soal cinta sejati. Selama ini, kayaknya saya lebih banyak menuntut untuk dicintai daripada mencintai. Ingin supaya orang yang saya cintai berubah jadi lebih baik (menurut saya), padahal saya malas memperbaiki diri sendiri. Lebih sering berkata, "Ngertiin saya dong!" ketimbang "Apa yang perlu saya lakukan supaya bisa mengerti kamu?"

Padahal cinta itu selalu punya dua sisi yang harus dipeluk. Suka dan duka. Manis dan pahit. Memberi dan menerima.

Love is bitter. Love is sweet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentarnya :)