pasar kambing |
Sudah tiga hari ini ayahku bersikap aneh. Pada pukul setengah
empat pagi, alih-alih bertadarus Alquran seperti biasanya, ia justru memaksaku
mengantarnya ke pasar kambing.
Di hari pertama, aku mengantarnya dengan mobil ke pasar
kambing terdekat, tempat kami membeli seekor bandot untuk kurban, minggu lalu.
“Untuk apa, Yah? Bukankah kita sudah beli hewan kurban?”
“Iya.”
“Ayah mau beli hewan kurban lagi?”
“Tidak.”
“Lalu?”
Ayah tak menjawab. Ia malah berjalan menuju pojok pasar, mencari
tempat bersih dekat kandang kambing yang diterangi lampu-lampu bohlam benderang,
lalu duduk di sana. Mengamati kambing, domba, sapi dan kerbau. Memandang
berkeliling, entah mencari apa. Atau siapa.
Bau prengus bercampur aroma kotoran hewan sontak berebut
memasuki indera penciumanku. Kutekap hidungku rapat-rapat dengan telapak
tangan, tapi sialnya tak berguna. Sebisa mungkin kuabaikan rasa mual yang
meletup-letup kecil di perut. Entah bagaimana orang-orang ini bisa tahan
menghadapi bau memualkan setiap hari. Pedagang sapi yang baru saja kulewati, bahkan
tengah asyik menyeruput segelas kopi panas tepat di samping kandang.
Pasar masih sepi. Hanya ada beberapa buruh pencari rumput yang
terkantuk-kantuk menjaga kandang majikannya, dan para pedagang sate yang tengah
berdebat tawar-menawar harga dengan penjual daging kambing.
Saat adzan Subuh berkumandang, Ayah mendesah kecewa. Lalu berdiri,
menepuk-nepuk pantatnya dan menatapku heran.
“Kok bengong, Zal? Ayo ke masjid!”
*
Hari kedua, Ayah menginginkan kami pergi ke pasar kambing
yang lebih jauh. Sambil menahan kuap, aku menggerutu dan mulai memanaskan mesin
mobil. Ayah malah asyik termenung entah memikirkan apa.
Pasar kedua lebih besar dan lebih ramai dari pasar pertama.
Mungkin karena waktu semakin dekat dengan hari raya Idul Adha, semakin banyak
orang datang untuk membeli hewan kurban.
Kali ini, alih-alih duduk di pojok, Ayah justru berkeliling sambil
lalu dari satu pedagang ke pedagang lainnya. Ia mengobrol sebentar dengan
mereka, melihat-lihat kambing dan kerbau yang dijual, menolak dengan halus
tawaran diskon dari seorang pedagang sapi. Dan, dengan diam-diam namun seksama,
mengamati setiap orang yang datang dan pergi. Saat adzan berkumandang,
lagi-lagi Ayah tampak kecewa. Kami sholat di masjid terdekat, lalu pulang dalam
diam. Belum ada tanda-tanda Ayah mau berbagi rahasianya.
*
Hari ketiga, kami pergi ke pasar kambing yang lain lagi. Aku
makin penasaran, namun Ayah masih menolak buka mulut tentang misi misteriusnya ini.
Berbagai kemungkinan bermunculan di otakku, tapi tak satupun cocok dengan gerak-gerik
Ayah.
Mau beli hewan? Bukan.
Mau beli daging? Juga bukan.
Mau mencuri?? Astaghfirullah, pasti bukan!
Mau mencari seseorang?
Kemungkinan terakhir inilah yang samar-samar kulihat. Tapi siapa
yang Ayah cari?
Takbir pertama adzan Subuh terdengar di antara lenguhan
kerbau dan embikan ribut kambing-kambing yang tengah kawin. Ayah menggeleng,
tampak ragu dan bingung.
“Ayah mau apa sih sebetulnya?” Aku menghentakkan kaki. Kesal sekaligus
ingin tahu.
“Ayah cuma sedang mencari...”
Begitu saja. Ayah membiarkan gumamannya menggantung di udara,
tanpa menghiraukan serbuan pertanyaanku.
“Sudah ah, jangan banyak tanya! Ayo sholat, Zal.”
*
Hari-hari selanjutnya, tak banyak yang bisa kuceritakan. Ayah
masih bertingkah misterius seperti kemarin-kemarin. Meski rasa ingin tahuku
makin menggunung, aku mulai capek bertanya ataupun memprotes. Aku mengikuti
kemanapun Ayah pergi. Ikut memelototi setiap orang atau kambing yang
diamatinya. Menyimak dengan seksama semua percakapannya. Berharap dengan begitu
aku bisa menemukan petunjuk atas segala keanehan tingkah laku Ayah.
Saat bosan membuntuti Ayah, aku akan berjalan ke salah satu
kios daging atau kandang hewan. Aku memesan wedang jahe panas dari warung terdekat
dan bergabung dalam obrolan ringan bersama pedagang kambing dan buruh pencari
rumput. Entah bagaimana, penciumanku berdamai dengan bau prengus kambing dan aroma
kotoran sapi.
wedang jahe |
Aku tersenyum mendengar seseorang berkata, kesadaran masyarakat
untuk berkurban makin tinggi. Makin banyak saja hewan miliknya yang terjual dari
tahun ke tahun. Bukan hanya kepada pembeli-pembeli muslim, tapi juga pembeli-pembeli
non-muslim yang ingin berbagi pada sesama di momen hari raya.
Aku turut mengangguk prihatin saat seseorang lainnya
bercerita, terpaksa menurunkan harga sapi dan kerbaunya menjelang Idul Adha,
bahkan hingga titik terendah di hari-hari Tasyrik—tiga hari sesudah hari raya,
karena sesudah itu momen berkurban selesai dan dagangannya tak akan laku.
Padahal ia tak mungkin memulangkan kembali hewan-hewan itu ke kampungnya;
biayanya terlalu mahal.
Absurd memang, tapi aku pelan-pelan mulai menikmati suasana
di tiap pasar yang kami datangi.
Tak terasa, tahu-tahu terdengar adzan Subuh. Ayah
menghampiriku dengan bahu merosot.
“Belum ketemu juga, Yah?” kataku, meski aku tak tahu apa atau
siapa yang dicarinya.
“Belum, Zal. Belum.” Ayah menggeleng-geleng lesu, lalu
mengajakku pergi ke masjid.
*
Di hari raya Idul Adha, Ayah membangunkanku pagi-pagi buta. Tepat pukul
setengah empat pagi. Sayup-sayup terdengar suara orang-orang bertakbir di
kejauhan. Usai membasuh muka dan minum secangkir kopi, nyawaku kembali utuh. Ayah
tengah duduk bertadarus, menungguku siap berangkat ke pasar kambing berikutnya.
Kutatap wajah Ayah perlahan. Kerut-merut di dahinya. Alis keabu-abuan di
pelipisnya. Binar redup di matanya. Dan kesedihan yang menggantung di bibirnya.
“Apa yang sebenarnya Ayah cari?” kataku, bertekad mendapatkan
jawaban hari ini.
Ayah meletakkan Alquran.
“Sampai kapan Ayah mau mencari? Berapa banyak pasar lagi yang
mesti kita kunjungi sebelum Ayah puas?“
Masih hening.
“Cerita dong, Yah, cerita! Mungkin Rizal bisa bantu. Ayah
nggak percaya sama Rizal?”
Jeda beberapa saat, sebelum akhirnya Ayah berdehem.
“Bukannya Ayah nggak percaya sama kamu, Zal. Ayah cuma.. cuma
takut kamu akan menertawakan Ayah, atau menganggap Ayah gila.”
“Nggak akan, Yah. Rizal janji nggak akan berbuat begitu.
Rizal tidak akan menganggap Ayah konyol atau gila.”
Ayah memandangiku lama, sebelum mendesah. Lalu, ia mengajakku
berangkat ke pasar. Dalam perjalanan, ia mulai bercerita padaku tentang
mimpi-mimpinya.
Sudah berkali-kali mimpi yang sama mendatanginya di malam
hari. Samar-samar awalnya, tapi makin hari makin jelas. Ayah bermimpi tengah
berada di sebuah tempat, dengan berpakaian ihram. Di sana ada kandang-kandang
kayu, lengkap dengan hewan-hewan kurbannya. Ramai orang melihat-lihat dan
memperjualbelikan hewan-hewan itu. Di antara kerumunan, muncul seorang
laki-laki tua berpakaian ihram, yang menggenggam seutas tali tambang. Ujung
lain tali itu terikat di leher seekor kambing gemuk miliknya. Laki-laki itu
terlihat cemerlang oleh cahaya yang menyelimutinya. Laki-laki itu tersenyum
pada Ayah. Lalu mendadak terdengar adzan Subuh, dan Ayah terbangun dari tidur.
Aku lama terdiam, berusaha mencerna cerita Ayah.
“Jadi, semua ini cuma
soal mimpi?” seruku setengah tak percaya, setengah dongkol, mengetahui bahwa
aku harus bangun pagi-pagi buta tiap hari untuk menjelajahi pasar-pasar kambing
yang bau di seantero kota, hanya untuk memuaskan obsesi Ayah tentang mimpi
anehnya!
“Zal! Ini bukan mimpi biasa. Ini pertanda!”
“Pertanda apa, Yah?” bantahku, kesal setengah mati.
“Entahlah. Mungkin mimpi Ayah sama seperti mimpi Nabi
Ibrahim. Mimpi-mimpi yang punya makna. Dan Ayah merasa tidak akan tahu apa arti
mimpi Ayah, kecuali Ayah berhasil menemukan laki-laki tua itu di dunia nyata.”
Mimpi, firasat, dan pertanda mungkin punya makna di zamannya.
Zaman Ibrahim, ketika bermimpi menyembelih leher Ismail, putra tercintanya. Atau
zaman Yusuf, ketika ia menakwilkan mimpi Sang Raja Mesir tentang paceklik yang
melanda seluruh negeri. Tapi tidak di zaman edan ini.
“Astaga! Ayah,” seruku, lupa pada janjiku untuk tidak menganggap
Ayah konyol ataupun gila. “Pertanda apa yang bisa didapat dari seorang
laki-laki renta yang menuntun kambingnya di pasar?”
Ayah tak sanggup berkata-kata. Aku menggeleng-geleng, lalu menepi
untuk memarkirkan mobilku. Kami sudah sampai.
Aku mengikuti Ayah berkeliling pasar. Dari semua tempat yang
kami kunjungi, pasar kambing ini adalah pasar hewan yang paling besar dan paling
ramai. Dalam cahaya kuning lampu-lampu milik para pedagang, kami mengamati
kesibukan di sekeliling kami. Ratusan manusia dan hewan berbaur ribut.
Seorang laki-laki bertopi kain datang sambil bersiul-siul, lincah
mengangkut sekarung rumput dan menumpahkannya ke dalam kandang kambing. Beberapa
kawannya berjalan mendekat dengan karung-karung di punggung mereka, lalu ikut
menumpahkan dedaunan ke dalam kandang-kandang lainnya. Para hewan penghuni
kandang menyambut menu sarapan itu dengan embikan sukacita.
Seorang wanita penjual sate Madura bersuara nyaring dan seorang
pedagang daging saling tawar-menawar harga dengan seru. Di kios-kios
sebelahnya, para pria penjual bakso keliling sedang memilih-milih daging dan
menyerahkannya untuk ditimbang dan digiling.
Sebuah truk besar berisi sapi-sapi datang tak lama kemudian. Supir
truk turun dan membetulkan celananya yang melorot. Kenek mengecek kembali daftar
jumlah sapi dan nama-nama pedagang yang memesan sapi. Kuli-kuli berlarian
mendekat untuk menurunkan sapi-sapi yang melenguh pasrah dan menyeret mereka ke
kandang-kandang para pedagang hewan kurban.
Aku masih terpesona pada semua keriuhan itu ketika tangan
Ayah mencengkeram lenganku.
“Rizal!” suara Ayah tercekat. Tatapannya tertancap ke suatu
titik di depan sana. Kuikuti arah pandangan Ayah, dan tak peduli sesering
apapun mataku bolak-balik menyisir tempat itu, aku tak menemukan sesuatupun
yang istimewa. Saat aku sadar, ternyata Ayah sudah berjalan meninggalkanku.
Sambil mengomel, kuikuti saja langkahnya. Ayah berhenti di depan
sebuah kandang yang terang benderang oleh lampu.
“Lihat laki-laki itu. Yang berbaju putih,” perintah Ayah.
gambar dari sini |
Kira-kira
berjarak satu meter di sampingnya, seorang laki-laki tua berbicara dengan
pedagang kambing. Usianya sebaya dengan Ayah, hanya saja tubuhnya tampak kurus
dan ringkih. Kemeja putihnya dekil dan lusuh. Sesekali, ia membetulkan sumbu
sandal jepitnya yang lepas saat ia mondar-mandir mengamati kambing-kambing lain.
Lalu laki-laki itu terdiam dan mengelus-elus seekor kambing dalam kandang. Diam-diam
kami mendekati mereka seperti dua orang wanita pengggosip yang hendak mencuri
dengar percakapan.
Tak lama, kedua laki-laki itu mencapai sepakat. Si laki-laki
kurus mengeluarkan tumpukan uang dari sakunya, dan memberikannya pada si
pedagang, yang segera menghitungnya dengan tangan terlatih. Lembaran-lembaran
uang lusuh itu kebanyakan pecahan sepuluhribuan, limaribuan, bahkan ada yang
seribuan. Bagaimanapun, uang tetap uang, dan si pedagang tampak puas dengan
jumlahnya.
Kambing yang tadi pun berpindah tangan pada si laki-laki
kurus. Dengan sedikit bujukan menenangkan, kambing itu berhenti mengembik
ribut. Tanpa ragu, Ayah membuntuti si pembeli berjalan menuntun kambingnya menuju
pintu keluar di mana sebuah bajaj sudah menunggu.
“Kita ikuti dia!” perintah Ayah begitu tegas dan tak
terbantahkan, sehingga aku langsung mematuhinya. Kami lari lintang pukang
menuju mobil, lalu berusaha mengejar bajaj itu.
“Cepat, Zal! Jangan sampai kehilangan dia!” Ayah berusaha
mengatur kembali napasnya yang tak beraturan.
Bajaj itu lumayan ngebut dan sering tiba-tiba berbelok
seenaknya di tikungan, tanpa memberi tanda lampu sein. Untunglah lalu lintas sepi.
Bajaj itu akhirnya menepi, lalu pergi setelah penumpang-penumpangnya
turun. Kuparkir mobilku agak jauh di belakang. Ayah dan aku berjingkat
membuntuti si laki-laki tua dan kambingnya, masuk ke sebuah gang.
Objek pengintaian kami berhenti di depan masjid kecil. Si
laki-laki menyerahkan kambing itu pada seorang pemuda berkopiah, yang
menatapnya tak percaya. Dari tempat kami berdiri, percakapan mereka terdengar.
“Tumben Pak baru muncul? Biasanya udah nongkrong di masjid,
nungguin adzan. Lho, ini kambing siapa?”
“Iya, Nak. Bapak baru pulang dari pasar. Ini kambing Bapak...
Bapak mau berkurban.”
Pemuda itu terpana.
“Nak? Kenapa diam saja? Apa... kambing Bapak kekecilan ya?”
suara renta itu sedikit bergetar, “Uang Bapak cuma bisa buat beli kambing ini. Tapi
kata yang jual sih, kambingnya memenuhi syarat kok... Sudah cukup umur. Sehat.”
Si pemuda berkopiah tersadar, dan tersenyum haru. “Bapak...
pasti rajin menabung ya, sampai akhirnya bisa beli kambing kurban ini.”
“Itulah, Nak... Sudah lama sebetulnya Bapak ingin berkurban.
Bapak malu sama Allah, seumur hidup kok nerima daging kurban terus... Makanya
meski seribu-duaribu, Bapak paksakan menabung. Alhamdulillah.. walau Bapak cuma
tukang sampah, ada saja Nak rezekinya.. sampe ngumpul itu duit buat beli
kambing.”
“Subhanallah, Allah mengabulkan impian Bapak,” ucap si pemuda.
“Iya, Nak... Anak mau tahu impian Bapak selanjutnya? Bapak
ingin sekali naik haji...”
Si pemuda tercengang sekali lagi pada laki-laki di depannya.
Petugas kebersihan di kampung mereka, yang berpuluh tahun setia bergelut dengan
sampah dan hanya mendapat upah kecil sebagai imbalannya.
Seekor kambing masih
mungkin terbeli, tapi berhaji?
Laki-laki tua itu tersenyum maklum, seolah bisa menebak isi
hati si pemuda.
“Nah. Nah. Anak pikir impian Bapak ini mustahil terwujud kan?”
Lelaki tua itu terkekeh, “Jujur, Bapak ini sudah uzur, Nak. Sudah bau tanah. Bapak
tidak tahu, butuh berapa belas tahun sampai tabungan Bapak cukup buat naik
haji. Mungkin Bapak sudah keburu meninggal sebelum sempat pergi ke Mekah... Tapi
nggak salah kan, Nak, kalau Bapak terus menyisihkan uang sambil berharap mimpi
itu jadi nyata? Yah... Siapa tahu Allah kasihan sama Bapak, terus mengabulkan
doa Bapak.”
“Iya, Pak... Aamiin. Saya ikut mendoakan Bapak!”
"Aamiin," sambil berbisik di balik tembok, aku ikut mengaminkan.
“Kalau begitu, tolong diterima ya kambingnya. Bapak mau
pulang.”
“Lho, nggak ikut Subuhan bareng nih Pak? Saya baru aja mau adzan.”
“Waduh, badan saya prengus begini, harus mandi dululah.
Kasihan nanti jamaah lainnya kebauan,” lelaki tua itu tertawa sumringah. Sekali
lagi, dibetulkannya sumbu sandal jepitnya yang lepas, lalu melangkah pergi.
Di balik tembok masjid, aku dan Ayah berpandangan. Mendapati
kedua mata kami sama-sama basah.
“Itu dia, Zal. Dialah pertanda itu. Lelaki yang muncul dalam
mimpi-mimpi Ayah,” Ayah mengusap airmata dengan lengan baju kokonya.
Tak lama kemudian, adzan Subuh berkumandang merdu dari pengeras suara di menara masjid. Kami sholat berjamaah, lalu Ayah minta tolong pada si muadzin
untuk mengantarkan kami ke alamat rumah lelaki tua tadi.
“Apa yang akan Ayah lakukan sekarang?” tanyaku sambil
berjalan lekas-lekas di belakang si muadzin. Gema takbir terdengar
bersahut-sahutan dari masjid ke masjid.
“Kamu nggak dengar ucapannya tadi? Tentang impiannya pergi ke
Baitullah?”
“Maksud Ayah...”
“Insya Allah, tahun depan kan kita jadi berangkat haji. Ayah
akan mengajak laki-laki itu pergi bersama kita.”
***
Baitullah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)