Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 07 April 2015

(Book Review) Kota Kertas


Judul             :  Kota Kertas
Pengarang    :  John Green
Penerjemah  :  Angelic Zaizai
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Tebal             : 360 halaman

Karya John Green yang diterbitkan di Indonesia Oktober lalu ini sebetulnya sudah lama saya tamatkan tapi.. yah, begitulah, lagi-lagi baru sekarang saya sempat menulis review-nya. *Alesan. Hehe* Kota Kertas adalah buku ketiga John Green yang saya baca setelah Salahkan Bintang-bintang dan Mencari Alaska.

Seperti kedua buku tersebut, Kota Kertas masih berkisah seputar kehidupan remaja dengan segala kekacauan sekaligus renungan filosofisnya. Kali ini, tokoh utama cerita adalah Quentin Jacobsen alias Q, remaja biasa-biasa saja yang sedang menjalani tahun terakhirnya di SMU bersama dua sahabat karibnya yang juga tak populer, Marcus "Radar" Lincoln dan Ben Starling.

Radar, yang IT freak, terobsesi untuk sesempurna mungkin mengedit dan mengelola Omnictionary, semacam situs referensi online ala Wikipedia. Sedangkan Ben terobsesi untuk memperoleh teman kencan yang bersedia diajak ke pesta prom saat kelulusan mereka nanti. Q sendiri punya obsesi yang disimpannya sejak lama: Margo.

Margo Roth Spiegelman adalah teman masa kecil sekaligus cewek yang selama ini ditaksir Q diam-diam. Pertemanan mereka lumayan dekat dulu, namun menginjak masa remaja entah mengapa menjadi renggang. Margo tumbuh menjadi gadis yang cantik namun eksentrik, dan bergabung dengan geng murid-murid populer di sekolah. Sementara Q--yang dulu sering jadi bulan-bulanan keisengan teman-teman segeng Margo, tetap berada di "kasta rendahan" dan hanya mengagumi Margo dari kejauhan. 

Anehnya, tiba-tiba suatu tengah malam, Margo muncul di jendela kamar Q dengan wajah tertutup cat hitam, mengajak Q terlibat dalam segudang rencana absurdnya, saat itu juga. Q awalnya enggan menanggapi, mengingat sudah bertahun-tahun ini Margo bisa dibilang mengacuhkannya.


"Q," panggilnya, "Q, Sayang. Sudah berapa lama kita bersahabat?"

"Kita bukan sahabat. Kita bertetangga."

"Oh, Q, apa aku memperlakukanmu dengan buruk? Apa aku tidak memerintahkan semua kaki tanganku agar bersikap baik padamu di sekolah?"

"Uh-huh," jawabku ragu, meskipun sebenarnya aku sejak dulu menduga Margo-lah yang melarang Chuck dan gerombolannya mengganggu kami.

Harapan Q mendadak melejit setelah tahu Margo masih peduli padanya. Yah, walau sebatas mencegah dia di-bully gerombolan murid jagoan di sekolah. Akhirnya Q bersedia membantu Margo menjalankan aksinya malam itu, yang rupanya aksi balas dendam.

"Malam ini, kita akan memperbaiki banyak hal yang keliru. Dan kita akan mengacaukan beberapa hal yang benar."

Anehnya, sasaran aksi itu tak lain adalah sahabat-sahabat segeng Margo sendiri. Margo pun membeberkan rahasia besar yang membuatnya berbalik membenci gengnya. Walau rentetan aksi tengah malam itu cukup gila, Q harus mengakui semua ide Margo brilian. Lagi-lagi, bertambah baginya satu alasan untuk menyukai cewek eksentrik itu. Q berharap, setelah apa yang mereka bagi bersama malam itu akan kembali mendekatkan dirinya dan Margo.

Tapi, sebaliknya, malam itu adalah saat terakhir mereka bertemu. Keesokan paginya, Margo menghilang.

Walau terselip rasa marah dan kecewa, Q tetap mencemaskan Margo. Ia bisa saja dalam bahaya. Ketika menemukan petunjuk kecil tentang keberadaan gadis yang disayanginya, Q bertekad untuk mencari petunjuk-petunjuk lain yang akan membawanya pada gadis itu. Apakah lenyapnya Margo ada kaitannya dengan aksi balas dendam malam itu? Mampukah Q membawa pulang Margo hidup-hidup?

*

Sebelum membahas tokoh, alur kisah dan sebagainya, bagi saya ide "kota kertas" saja sudah menjadi daya pikat tersendiri dari buku John Green yang satu ini.

Yang dimaksud kota-kota kertas di sini adalah kota-kota yang pernah direncanakan akan dibangun tapi karena sesuatu hal (misalnya karena jumlah orang yang berminat membeli properti di sana terlalu sedikit) pengembang yang kekurangan modal membatalkan rencana itu. Calon-calon kota itu pun berakhir sebagai kawasan tak berpenghuni, dengan bangunan-bangunan yang separuh jadi, berdebu dan terabaikan.

Di sisi lain, kota kertas bisa juga berarti kota fiktif; yang diam-diam dicantumkan di peta oleh kartograf, sebagai jebakan bagi para plagiat. Bila kota fiktif itu ditemukan tercantum dalam peta buatan orang lain, maka jelaslah bahwa orang lain itu telah mencontek peta sang kartograf tadi.

John Green cukup brilian, menjadikan kota-kota kertas ini sebagai setting cerita. Bayangkan macam-macam kisah yang bisa tercipta di tempat terbengkalai seperti itu; tempat itu bisa jadi lokasi perburuan harta karun atau sarang teroris, misalnya. :D Dalam buku ini, Green memilih untuk menjadikan kota kertas sebagai benteng aman, yang memisahkan penghuninya dari dunia yang berisik dan mengecewakan.

Jujur, perjalanan Q dalam menyusuri jejak Margo sendiri agak lambat dan membosankan. Karakter Q sebagai tokoh utama terasa kurang menarik dan justru kalah pamor oleh tokoh-tokoh di sekitarnya yang lebih "nyeleneh". Sebut saja Ben, yang di balik keculunannya ternyata punya banyak stok lelucon absurd. Atau Radar, yang selalu berpikir logis dan merencanakan segalanya dengan rinci, termasuk waktu pelaksanaan sampai ke menit-menitnya. Dan tentu saja, Margo, si eksentrik, perancang aksi balas dendam kelas kakap, dan (ternyata) penyendiri yang egoistis.

Dinamika cerita baru menanjak makin seru di sepertiga bagian akhir buku. Sepertiga bagian yang heboh dan kocak sehingga buku ini tetap layak dibaca seluruhnya. Bagian yang berkali-kali bikin saya ketawa sendirian adalah ketika Q beserta para kroninya--masih mengenakan toga di hari kelulusan mereka, pontang-panting berkendara sejauh seribu mil menuju satu tempat di mana Margo mungkin berada.

Berbagai kejadian mewarnai perjalanan 19 jam itu. Mulai dari kebelet pipis di mobil sehingga harus memodifikasi botol kosong menjadi "toilet darurat"...

"Aku sudah tidak tahan. Carikan aku sesuatu untuk tempatku kencing!"

Paduan suara berseru: TIDAK. Tahanlah seperti laki-laki. Tahanlah seperti perempuan zaman Victoria mempertahankan kesucian mereka. Tahanlah dengan penuh martabat dan keanggunan!

Lalu, otot-otot jari kedutan gara-gara kebanyakan menenggak minuman berkafein, bahkan ada kecelakaan mobil yang nyaris menewaskan mereka semua. Mereka melalui itu semua demi menemukan Margo. Sepadankah?

Makin dekat Q pada Margo dan makin banyak teka-teki tentangnya yang terpecahkan, makin tampak jelas bahwa gadis itu bukanlah porselen mulus cantik-cerdas-seksi-orisinil yang selama ini ia bayangkan. Ternyata gadis itu punya banyak sisi lain dalam dirinya, yang retak.

Margo, sama seperti Q dan semuanya, hanyalah manusia biasa.

"Mudah menyukai seseorang dari kejauhan. Tapi ketika dia tak lagi menjadi sosok mengagumkan yang tak tersentuh, dan mulai menjadi sekadar gadis biasa... maka pada dasarnya aku harus mulai menyukai seseorang yang benar-benar berbeda."

4 komentar:

  1. Wah, ternyata gitu ya. Aku dari awal buku ini terbit penasaran maksud judulnya itu apa. Ternyata ada misteri tersembunyi. Keren si kartograf bisa mengantisipasi plagiat petanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, yg bikin saya suka sama buku ini ya kota kertas-nya itu ^_^

      Hapus
  2. Keren banget nich cerita bukunya, jadi terharu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maschuuun haha masa terharu sih, kan baru baca resensi, belum baca bukunya.. hehe

      Hapus

Terima kasih untuk komentarnya :)