"Salsabeelaaa! Turun. Sekarang!"
Mami, seperti biasa, menjerit histeris tiap kali memergokiku duduk mencangkung di dahan pohon, tepat di depan jendela kamarku.
Sambil nyengir, kutiti dahan-dahan yang lebih rendah, lalu lompat ke bawah. Mami bergidik ngeri. Takut putri bungsunya jatuh dan patah tulang. Mami geleng-geleng kepala melihatku yang sibuk menepis beberapa semut rangrang bandel yang merayapi bajuku, prihatin.
"Sa, Mami tadi beli ini buat kamu. Coba deh kamu mulai belajar pakai kerudung," Mami menyodorkan selembar kerudung bermotif salur hitam putih yang cantik, “bahannya adem.”
"Panas ah, Mi," kilahku.
"Eh, anak ini.. ini Allah yang suruh kamu tutup aurat lho, Sa, bukan Mami."
"Selama ini kan Sasa nggak pernah mengumbar aurat, Mi. Baju Sasa sopan-sopan semua kok!"
"Salsabeela..." Nah, Mami hanya menyebut namaku seperti itu ketika beliau sedang geregetan karena ulahku. Atau hendak membicarakan sesuatu yang benar-benar serius, "aurat seorang wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Nah ini juga bukan kata Mami. Ini kata Rasulullah SAW lho." Dengan sabar, Mami mengajakku menyimak terjemahan ayat Alqur'an dan hadits yang barusan diceritakannya.
Ih, betul! Berhijab itu wajib.
"Tapi Sasa mana pantes, Mi, pake begituan?"
"Justru itu, Sa, kamu pasti feminin, cantik, anggun deh kalau berhijab! Dan makin salihah, insya Allah. Percaya sama Mami!" Mami menjejalkan kerudung itu ke tanganku. Tak mau dibantah lagi.
"Ah, Sasa emang udah cantik dari dulu kok, Mi!"
"Salsabeelaaa!"
Aku kabur ke kamar, menghindari cubitan Mami. Kuamati bayanganku dalam cermin. Berdiri di sana seorang gadis berusia duapuluhan, dengan celana jeans, kaos gombrong abu-abu dan kemeja kotak-kotak merah, serta rambut panjang ikal yang diikat bergaya ekor kuda. Satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum bandel.
Sifat tomboiku memang sudah sejak dulu ada. Sebagai satu-satunya anak perempuan yang dikepung tiga abang, aku biasa bergabung dengan mereka; entah bermain bola, memanjat pohon, sampai berkelahi. Aku nyaman dan leluasa bergerak mengenakan celana panjang dibanding rok atau segala atribut perempuan lainnya. Ribet!
Seiring beranjak usiaku, Mami selalu ceriwis menyuruhku untuk tampil dan bersikap lebih 'perempuan', tapi akhirnya kami berkompromi: se-macho apapun aku, sebagai perempuan tulen aku harus tetap memanjangkan rambut, mengenakan anting-anting, dan bisa memasak!
Aku menatap sangsi kerudung pemberian Mami. Tapi kalau harus berhijab...
*
"Memang bener, Sa, muslimah yang sudah akil baligh wajib menutup auratnya,” kata Bang Faris sambil mendribel dan menjaga bola basketnya agar tak terebut olehku.
Hari Minggu sore itu, aku dan ketiga abangku adu basket di lapangan depan rumah. “Emang nggak bisa ntar aja, Bang.. Hmm kalau Sasa udah naik haji, misalnya. Hup!” Akhirnya aku berhasil mencuri bola itu. Aku berlari menuju ring, tapi tubuh tegap Bang Rizal menghadangku.
“Emang kapan kamu mau naik haji?” Bang Rizal nyaris merebut kembali bola yang kucuri dari partner se-timnya, tapi aku berkelit.
“Engg.. Yaaa, nggak tau! Sasa nabung dulu lah!”
“Sa, oper sini!” Bang Taufik, rekan se-timku berseru dari bawah ring. Refleks kulemparkan bola padanya melewati sela kaki Bang Rizal. Jitu! Bang Taufik menangkap baik umpanku, lalu melompat untuk memasukkan bola itu ke keranjang.
“Yes!” Aku dan Bang Taufik ber-highfive.
“Tapi apa kamu yakin, Sa, Allah masih memberi kamu kesempatan sampai hari itu tiba?” celetuk Bang Taufik tiba-tiba, membuatku berhenti bersorak.
“Iya, Sa. Kamu berani jamin besok kita masih ada umur? Umur manusia, siapa yang tahu?” Bang Rizal meneguk air dari botol mineralnya.
“Jangan nunda-nunda kebaikan. Takutnya nanti nggak kesampaian,” Bang Faris mengacak rambutku.
“Tapi, Bang..” Duh, bandelnya aku. Ada aja alasannya!
“Apalagi??” seru mereka bertiga berbarengan, lalu kami meledak dalam tawa.
“Sasa kan masih begini. Suka naik gunung, main basket. Bodoh soal Islam, tadarus nggak khatam-khatam, macho, sering kelepasan terbahak-bahak. Nggak ada anggun-anggunnya deh! Kasian citra para hijaber ternodai kalau Sasa nekat berhijab seperti mereka. Sasa harus menghijabi hati dulu sebelum menghijabi rambut Sasa,” akhirnya kucurahkan semua uneg-unegku pada mereka.
“Urutannya terbalik, non! Hijabi aurat dulu, lalu berproses untuk menghijabi hati dan perilaku, dan proses itu panjang, Sa, bisa seumur hidup,” Bang Rizal meluruskan pemikiranku.
“Eh, siapa bilang muslimah nggak boleh gagah?” Bang Faris duduk di tepi lapangan.
“Ada lho seorang shahabiyah bernama Nusaibah binti Ka’ab, yang terjun ke medan perang untuk membela Islam. Beliau pernah sampai terluka gara-gara berusaha melindungi Rasulullah. Orang-orang memberinya sebutan kehormatan 'Perisai Rasulullah'. Masih banyak lagi deh kisah muslimah perkasa lainnya, nanti Abang pinjemin bukunya ke kamu.”
Hmmmh... jadi gimana, Sasa?
*
Mami, Bang Faris, Bang Rizal dan Bang Taufik pasti akan sama tercengangnya denganku saat ini. Kususuri lagi bayanganku dalam cermin. Berdiri di sana seorang gadis berusia duapuluhan, dengan celana jeans berpipa lebar dan kaos merah berlengan kerut yang sangat manis (satu lagi ‘sogokan’ Mami supaya aku mau berhijab, hehehe)--serta kerudung pemberian Mami.
Setitik embun menyusup ke hatiku. Sejuk. Entah bagaimana, terbalut busana ini aku merasa... damai. Perlahan, satu sudut bibirku terangkat membentuk senyum bandel.
Ya, aku masih Salsabeela yang sama. Hanya saja, aku sudah memutuskan untuk menghijabi diri dan hati, mulai hari ini dan seterusnya. Ini bukan akhir cerita. Seperti yang dikatakan abangku, perbaikan diri itu proses yang panjang.
It will take a lifetime effort.
A long story. A long journey.
Jadi, inilah prologku. Langkah pertamaku.
I'm on my way. Bismillah!
Protagonist Red |
***
Tulisan ini disertakan dalam Salsabeela's Writing Competition
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)