Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 15 April 2014

Butterfly Effect


Airin berdiri gamang di pinggir tebing. Diabaikannya nyeri berdenyut-denyut yang merambati tulang-tulangnya. Ia menunduk pada hamparan laut maha luas di bawahnya. Jauh di bawah tempatnya berpijak, ada segerombolan batu karang yang  tegak tak bergeming setiap kali ombak datang menghantam.
Tempat yang sempurna untuk mati.
“Hei! Mau bunuh diri ya??”
Airin terlonjak. Selama sedetik, ia dilanda panik seperti bocah yang tertangkap basah hendak berbuat onar. Detik berikutnya, saat berbalik untuk melihat siapa yang datang, ia merasa sangat marah.
Dia sudah capek-capek agar bisa sampai di puncak tebing sialan ini. Sebelumnya, dia harus menyelinap pergi dari rombongannya di The Pirates Bay. Airin berbohong pada ketua grup bahwa ia lelah dan butuh istirahat. Muslihat kedua adalah yang dia katakan pada ayahnya, bahwa dia tidak sengaja menjatuhkan pil-pilnya ke lubang toilet dan ayahnya harus mencarikan gantinya di apotek. Obat pain killer itu hanya bisa didapat dengan resep dokter (yang sudah diselipkannya di koper supaya sulit ditemukan) dan tidak dijual di sembarang apotek. Ayahnya akan butuh waktu lama sebelum kembali dengan obat itu. Setidaknya cukup lama bagi Airin untuk menuntaskan rencananya.
Pengganggu tak diundang itu seorang gadis seusia Airin. Wajahnya pucat, kontras dengan bandana warna merah cerah bermotif khas Bali yang ia pakai di bawah topi anyaman lebarnya. Airin mengenali wajah sembab dan pipi gembil gadis itu sebagai salah satu efek samping kemoterapi. Moon face.
Cardigan tebal dan celana jins tampak terlalu longgar di tubuhnya yang kurus. Walau tidak memakai name tag dan kaus bertuliskan I’m a cancer survivor seperti yang lainnya, ia pasti salah satu peserta family gathering yang Airin ikuti.
Artinya, gadis ini sama sekaratnya denganku.
“Kulihat sudah satu jam  kamu berdiri di sini,” aksen Bali gadis itu terdengar lucu dan unik di telinga Airin. Gadis itu menatapnya lekat-lekat.
“Yah... Aku cuma cari angin segar sebentar.”
 “Cari angin?” Gadis itu menghampiri Airin. Langkahnya agak terpincang-pincang. Mereka kini begitu dekat, sampai Airin bisa melihat sebuah bekas luka halus memanjang di leher gadis itu. “Bukannya cari mati?”
“Apa??” Airin tertawa sumbang. “Kamu gila ya?”
Gadis itu dengan cueknya mengulurkan tangannya.
“Ngomong-ngomong, aku Ni Putu Widya. Boleh panggil Putu. Atau Widya. Osteosarkoma1 stadium empat. Satu lutut sudah diamputasi,” dia memperlihatkan kaki palsunya tanpa rasa jengah, “pernah kemo dua kali, tapi kanker ini rupanya jauh lebih tangguh dari dugaanku. Menyebalkan.” Dia memutar kedua bola matanya.
Airin sudah familiar dengan kalimat perkenalan ala cancer survivor itu. Setelah diam cukup lama, Airin menyambut uluran tangannya dengan enggan.
“Airin.“ Airin tak sudi menyebutkan nama lengkap dan riwayat penyakitnya.
“Setelah bertahun-tahun jadi anggota yayasan kanker ini, aku cukup banyak makan asam-garam kehidupan,” gaya Widya seperti nenek yang memberi petuah pada cucunya.
“Sebagian besar temanku di sini sudah meninggal. Aku bisa tahu tampang orang yang ingin sembuh, atau sebaliknya, ingin segera mati. Dan kamu, Airin,” dia menatap Airin tepat di matanya, “ingin mati.”
Airin memicingkan mata. “Sinting.”
“Jadi kamu bukan mau terjun ke laut?”
“Mau terjun kek. Mau disko kek. Bukan urusan kamu.”
“Kamu ikut aku kembali sekarang juga, atau aku bakal lapor sama Bli2 Agung bahwa kamu berulah!” Ancaman itu diucapkan dengan nada santai. Airin menahan diri untuk tidak menyemprot tukang ikut campur urusan orang ini. Dia tidak ingin cari masalah dengan Bli Agung, ketua grupnya.
Terutama sekarang, saat rasa nyeri yang sangat dikenalinya tak bisa lagi diacuhkan. Airin menyeka keringat dingin di dahinya. Dia butuh obatnya.
“Oke, kita turun. Aku bisa coba terjun lagi lain kali,” jawab Airin sinis.
Widya mengekori langkah-langkah Airin kembali ke pantai, menyelinap di antara teman-teman mereka yang asyik merakit dan melukis layang-layang. 


Saat tiba di rumah pohon tempat ayahnya menyimpan persediaan obat, Airin merasa seolah setiap ruas tulangnya sedang dihantam palu. Sedikit gemetar, diraihnya sebotol kecil pil dan air mineral kemasan dari backpack-nya. Isinya tinggal dua butir, karena Airin sudah membuang sisanya ke lubang toilet tadi siang, supaya punya alasan untuk menyuruh ayahnya pergi.
Jenius. Airin mengejek diri sendiri. Kalau ayah ternyata tidak berhasil mendapatkan obat untuknya malam ini, gawatlah. Airin akan mengerang-erang kesakitan sampai besok pagi!
Dengan cepat, sebutir pil dan seteguk air berpindah ke kerongkongannya. Mencoba rileks, Airin menyandarkan tubuhnya, menunggu obat itu bekerja.
Airin menarik nafas dalam-dalam, menikmati angin laut yang hangat dan beraroma garam. Diamatinya interior rumah pohon itu. Sederhana, tapi nyaman. Lantai dan tiang-tiang penyangga rumah mungil ini adalah bambu kokoh dalam berbagai ukuran. Airin tak yakin apakah atapnya terbuat ijuk atau sirap, tapi dia suka melihat ujung-ujung helai atap itu bergoyang lembut saat tertiup angin. Tidak ada pintu atau pun jendela, seolah seluruh bagian rumah ini dan alam sekelilingnya adalah satu.


Perlahan tapi pasti, rasa sakit memudar dari tubuh Airin, seperti kabut yang menghilang tersapu sinar matahari.
“Aku cinta morfin,” kata Airin penuh perasaan.
Widya tersenyum mafhum.
“Aku batal terjun dari atas tebing. Puas? Kamu bisa pergi sekarang.”
“Bukannya aku sok pahlawan mau menyelamatkan kamu ya. Sakit kanker itu memang nggak enak. Tapi apa harus bunuh diri?” seloroh Widya.
“Memang kenapa?”
“Itu egois, Anak Kecil!”
“Egois?” Airin jadi sewot, “Bukannya bagus? Makin cepat aku mati, makin baik. Aku tidak perlu menunggu maut dalam kesakitan, atau merepotkan orang-orang.
“Maksudmu, makin cepat kamu  mati, makin sedikit kamu nyusahin orang lain? Kalau gitu, kamu mati di rumah saja. Minum racun atau apa lah! Kalau kamu bunuh diri di tempat umum seperti ini, justru kamu akan menyusahkan banyak orang.”
Airin melotot. Cewek ini kok ngelantur! Tapi toh masih ada waktu sebelum orang-orang sadar dia telah kabur dari rombongan. Coba dia dengar dulu apa maunya si Widya ini.
 “Tempat keren ini bisa dianggap sial. Turis-turis tidak akan mau datang lagi ke The Pirates Bay. Belum lagi semua peserta acara ini pasti syok lihat mayat kamu yang mengenaskan. Bukannya ingin sembuh, jangan-jangan mereka malah ingin mati juga!”
“Astaga. Kebanyakan baca novel ya kamu?”
“Kebanyakan nonton film, tepatnya. Aku suka nonton film. Kamu?”
“Aku justru paling suka baca novel,” Airin menggaruk hidungnya yang tak gatal, tidak habis pikir kenapa dia mau duduk di sini, ngobrol akrab bareng orang yang memergokinya hendak bunuh diri. Situasi yang aneh.
“Oh?” Widya tampak antusias. “Punya penulis favorit?”
“Ernest Hemingway.” Orang-orang sering meledek selera Airin yang sok tua, tapi Widya kelihatannya sama sekali belum pernah mendengar nama sastrawan dunia itu.
“Hebat. Dia masih hidup?”
“Dia... Mati bunuh diri,” Airin berdeham kikuk, “dengan senapan.”
Widya terbahak-bahak. “Jadi kamu mau meniru idolamu, gitu?”
“Buat apa hidup terus kalau nggak bahagia?” Airin mengajukan alasan.
“Kenapa kamu pikir kamu tidak bahagia?”
Airin menghela nafas. “Karena hidupku tidak berarti lagi buat siapa-siapa. Aku sekarat dan nggak berguna.”
“Ayahmu? Teman-temanmu? Kamu pasti ada artinya untuk mereka kan?”
“Teman-teman senasibku juga sudah banyak yang meninggal, Widya. Teman-temanku yang lain, mereka akan melanjutkan hidup dan melupakanku. Ayahku juga.”
Airmata bergulir turun di pipi Airin. Ia menatap jauh ke cakrawala. Di sana matahari meluncur turun perlahan dengan malas, lalu menghilang. Seperti tak rela dirinya harus tenggelam, tapi toh dia tak bisa melawan kodrat alam yang sudah digariskan untuknya: terbit setiap pagi, dan tenggelam menjelang malam.
“Pernah nonton film Butterfly Effect?” tanya Widya.
“Belum.”
“Yang paling keren dari film itu adalah ide ceritanya...,” jelas Widya tanpa diminta, “bahwa kita dan setiap manusia di dunia ini punya peran penting. Mungkin peran itu sepele. Atau cuma sekelebat. Seringan kepak sayap kupu-kupu. Tapi satu kepakan itu bisa mengubah hidup orang lain! Misalnya, coba lihat pasangan kekasih dekat kapal nelayan itu.”
Airin memandang seorang gadis berkain lilit Bali sedang beradu mulut dengan seorang pemuda. Si pemuda akan beranjak ke kapal karena dua sahabatnya sudah menunggunya di sana, tapi si gadis berlari pergi sambil menangis. Si pemuda tampak jengkel, tapi bimbang antara mengejar kekasihnya untuk berdamai, atau pergi. Akhirnya dia memutuskan langsung naik ke kapal yang membawanya pergi dari bibir pantai.
Andai perahu mereka mengalami kecelakaan dan kedua temannya selamat, sedangkan pemuda itu tidak. Mungkin gadis itu akan lama menyesal kenapa mereka berpisah dalam keadaan saling membenci? Tiga tahun kemudian gadis itu masih belum memaafkan dirinya, lalu menolak cinta seorang pemuda lain. Padahal kalau saja mereka menikah, setahun kemudian mereka akan punya seorang anak laki-laki yang tiga puluh tahun berikutnya akan menciptakan kapal canggih yang tahan hantaman ombak dan karang. Dengan itu, dia mencegah terjadinya puluhan kecelakaan kapal dan menyelamatkan banyak nyawa nelayan.”
“Imajinasimu terlalu dramatis!” protes Airin. “Tapi aku mulai ngerti. Andai mereka sudah saling memaafkan sebelum berpisah, tentu gadis itu tidak akan menyesal berlarut-larut, dan akhir ceritanya bisa jauh berbeda. Gitu?”
“Ternyata kamu pinter juga.” Airin mengabaikan ejekan itu.
“Sisa waktuku sedikit. Peranku, apa pun itu, sudah selesai. Aku nggak pernah menyelamatkan nyawa siapa pun atau mengubah dunia jadi lebih baik. Mungkin ketiadaanku malah akan membuat hidup orang lain jadi lebih baik,” kata Airin getir.
“Kamu nggak tahu, Airin! Peran kamu, yang kamu anggap tidak berharga itu, besar artinya untuk kebahagiaan orang lain. Kamu menyelamatkanku.”
Airin merasa kepalanya memberat. Morfin selalu membuatnya begitu. Tapi...
“Apa maksudmu, Widya?” Airin terhanyut kantuknya. “Aku... Menyelamatkanmu?”
Widya tersenyum teduh padanya.
“Kamu penyelamatku. Matur suksma3, Airin.”
Belum pernah Airin merasa selelah ini. Mungkin dia harus istirahat sebentar...
*
“Kakak kok sendirian di sini? Airin temenin ya...”
“Airin, ayo turun, Sayang. Jangan ke sana! Airin!!! Aaaa!!!!!”
Airin belum pernah merasa begitu haus akan udara ketika terbangun dari mimpi. Sambil terengah, mata Airin nyalang mencari-cari seseorang. Ayahnya duduk tegak di sisinya, menatap cemas. Bli Agung juga sudah ada di sana.
“Mana Widya?”
Mimpi itu membuka lembar ingatan Airin pada sebuah kejadian di masa lalu. Kala itu, Airin baru berumur enam tahun. Dan pantai Nusa Dua belum seramai sekarang.
“Widya siapa?” tanya ayah Airin.
“Tadi dia di sini. Dia ikut acara ini juga.”
“Mungkin dia sudah tidur di tenda atau di rumah pohon lain.” Kata Ayah
“Nggak ada peserta bernama Widya. Mungkin turis biasa,” Bli membaca data para peserta yang selalu dibawanya kemana-mana, lalu menggeleng yakin.
“Bukan, Bli,” Airin menggeleng-geleng tak sabar. “Dia anggota yayasan. Anaknya kurus, pakai bandana merah. Ada bekas luka di lehernya...” 
“Kakak kok sendirian di sini?Airin temenin ya...”
Gadis itu menoleh. Rautnya waspada, tapi tidak menolak saat Airin menghampirinya di tepi tebing. Senyum perlahan muncul di bibir gadis itu.
“Mestinya kamu yang nggak boleh kesini sendirian, Anak kecil.”
Bli Agung menatap Airin lurus-lurus. “Di leher?”
“Namaku Airin, Kak, bukan Anak kecil!”
Gadis itu tertawa. Rambutnya tersibak angin, memperlihatkan segores luka di leher.
“Hai, Airin. Aku Ni Putu Widya. Boleh panggil Putu. Atau Widya.”
“Tepat di sini, Bli,” Airin memperagakan bentuk luka Widya pada lehernya sendiri. “Widya... Namanya... Ni Putu Widya! Dia mengoceh panjang lebar soal film kesukaannya...”
“Butterfly Effect.” Airin dan Bli Agung menyebut dua kata itu berbarengan. Keduanya saling menatap tak percaya.
*
“Jadi, Widya adalah adik Bli?”
Airin masih sulit menerima kebetulan yang aneh ituLebih aneh dari fiksi.
Bli Agung menghela nafas panjang, lalu mengangguk. Berusaha menggali lagi kenangan tentang orang yang disayanginya. Tatapannya menerawang ke dalam kobaran api unggun di depan tenda tempat mereka berdua duduk.

“Dia anak baik. Sayang kamu hanya sempat berjumpa dengan rohnya...”
“Sebenarnya, Airin sudah kenal Widya, Bli... Waktu dia masih hidup.”
Bli Agung mendongakkan wajahnya yang sejak tadi tertunduk. “Kapan?”
“Waktu itu Airin sedang berlibur ke sini sama Ayah. Itu liburan pertama kami sejak Ibu tewas dalam kecelakaan mobil, setahun sebelumnya. Ayah ingin menghibur Airin yang masih sering sedih. Waktu Ayah sedang bicara dengan tour guide, Airin lepas dari penglihatan Ayah dan asyik menjelajah sendiri. Entah gimana caranya, Airin bisa naik sampai ke tebing sana.” Airin menunjuk tebing karang tempatnya bertemu dengan Widya.
“Di sana... Ada Widya. Sendirian di ujung tebing. Kelihatan sedih dan kesepian, seperti Airin waktu Ibu baru meninggal. Airin sapa dia... Airin ingin menemani dan menghiburnya. Tiba-tiba, Ayah memanggil-manggil Airin dari bawah. Ayah berusaha menyusul dan mengajak Airin turun, karena di situ berbahaya...
“Airin ceroboh. Airin terpeleset dan nyaris jatuh ke laut, tapi Widya berhasil menangkap tubuh Airin sebelum terlambat. Airin selamat karena pertolongan Widya!”
“Waktu pertama kali tahu kena kanker, dia seumur kamu, Rin. Dia tergila-gila pada film. Butterfly Effect itu kesukaannya, yang membuatnya ingin menciptakan film-film yang bisa menginspirasi hidup orang lain. Mimpi itu adalah salah satu hal yang bikin Widya gigih melawan penyakitnya,” ceritanya dengan suara parau.
“Bapa4, Meme5 dan Bli sedih melihat dia bertambah tirus dan lemah. Ah.. Mengapa Sang Hyang Widhi6 sampai hati memberinya cobaan seberat itu? Airin tentu tahu, kemoterapi mungkin hampir sama beratnya dengan kanker itu sendiri...
 “Widya tetap tabah dan percaya dia akan sembuh. Diaantusias bisa menjadi anggota yayasan ini dan bertemu banyak teman senasib. Tapi lambat laun harapan Widya pupus. Setelah kemoterapi yang panjang, sel-sel kankernya tidak merespon. Bahkan menyebar ke liver dan paru-paru... Widya menolak mencoba kemo lagi. 
“Dia sudah putus asa. Dia pernah... mencoba mengakhiri hidupnya, Rin. Bekas luka di leher itu buktinya. Hari itu, Widya menemui Bli sambil menangis. Dia bilang, dia hampir berbuat tolol, terjun dari puncak tebing, kalau saja tidak dicegah oleh seseorang. Widya tak pernah melupakan penyelamatnya itu, sampai akhirnya dia meninggal enam bulan sesudahnya. Ternyata kamulah orangnya, Airin.”
Airin mengusap airmata di pipinya, lalu menggeleng bingung.
“Tapi justru Widya yang sudah menolong nyawa Airin waktu itu.”
“Menolongmu telah menyadarkannya bahwa hidupnya masih punya arti. Itu yang membuatnya memutuskan bertahan, sampai akhir hayatnya.”
Setiap manusia di dunia ini punya peran penting. Mungkin sepele, cuma sekelebat. Seringan kepak sayap kupu-kupu. Tapi satu kepakan sayap itu bisa mengubah hidup orang lain.
Airin mengerti sekarang. Pertemuan mereka di pantai Nusa Dua belasan tahun lalu, kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa Airin, dan pertemuan mereka kembali di sini, semua adalah mata-mata rantai yang saling bertaut, bersebab akibat. Kepak-kepak sayap kupu-kupu yang saling bersentuhan. Widya dan dirinya... saling menyelamatkan satu sama lain.
Airin berbisik, “Butterfly Effect.” 

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!


1.      Osteosarkoma       : sejenis kanker tulang; umumnya menyerang remaja dan orang  
  dewasa usia produktif.
2.      Bli                         : panggilan orang Bali untuk kakak laki-laki
3.      Matur suksma       : terima kasih
4.      Bapa                     : ayah
5.      Meme                   : ibu

6.      Sang Hyang Widhi : Tuhan Yang Esa

5 komentar:

  1. klo pesan butterfly effect yang aku tangkep sih, pada dasarnya biarpun kita berusaha berulang2 kembali ke masa lalu untuk memperbaiki keadaan, terkadang hanya menimbulkan masalah yang seharusnya tidak pernah ada di masa datang. Masa lalu sudah terkunci di laci2 langit, tugas kita berjuang hari ini untuk esok yang lebih baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju. Satu lg pesan yg kutangkap: kita tdk bs mengubah takdir, tapi kita bs mengubah sikap terhadap takdir. Kadang2 kita ngga terima sama ketetapanNya sehingga kita bersikap egois (marah, sedih, putus asa) & melukai diri sendiri/orang lain. Padahal takdir buruk sekalipun pasti ada hikmahnya yg mungkin ngga kita ketahui krn sempitnya pengetahuan kita.

      Hapus
    2. Setuju. Satu lg pesan yg kutangkap: kita tdk bs mengubah takdir, tapi kita bs mengubah sikap terhadap takdir. Kadang2 kita ngga terima sama ketetapanNya sehingga kita bersikap egois (marah, sedih, putus asa) & melukai diri sendiri/orang lain. Padahal takdir buruk sekalipun pasti ada hikmahnya yg mungkin ngga kita ketahui krn sempitnya pengetahuan kita.

      Hapus
  2. Setting Bali-nya terasa banget itu dengan ada orang Balinya :-)

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)