Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Minggu, 28 Oktober 2012

Mimpi-mimpi Ayah

pasar kambing

Sudah tiga hari ini ayahku bersikap aneh. Pada pukul setengah empat pagi, alih-alih bertadarus Alquran seperti biasanya, ia justru memaksaku mengantarnya ke pasar kambing.

Di hari pertama, aku mengantarnya dengan mobil ke pasar kambing terdekat, tempat kami membeli seekor bandot untuk kurban, minggu lalu.

“Untuk apa, Yah? Bukankah kita sudah beli hewan kurban?”

“Iya.”

“Ayah mau beli hewan kurban lagi?”

“Tidak.”

“Lalu?”

Ayah tak menjawab. Ia malah berjalan menuju pojok pasar, mencari tempat bersih dekat kandang kambing yang diterangi lampu-lampu bohlam benderang, lalu duduk di sana. Mengamati kambing, domba, sapi dan kerbau. Memandang berkeliling, entah mencari apa. Atau siapa.

Bau prengus bercampur aroma kotoran hewan sontak berebut memasuki indera penciumanku. Kutekap hidungku rapat-rapat dengan telapak tangan, tapi sialnya tak berguna. Sebisa mungkin kuabaikan rasa mual yang meletup-letup kecil di perut. Entah bagaimana orang-orang ini bisa tahan menghadapi bau memualkan setiap hari. Pedagang sapi yang baru saja kulewati, bahkan tengah asyik menyeruput segelas kopi panas tepat di samping kandang.

Pasar masih sepi. Hanya ada beberapa buruh pencari rumput yang terkantuk-kantuk menjaga kandang majikannya, dan para pedagang sate yang tengah berdebat tawar-menawar harga dengan penjual daging kambing.

Saat adzan Subuh berkumandang, Ayah mendesah kecewa. Lalu berdiri, menepuk-nepuk pantatnya dan menatapku heran.

“Kok bengong, Zal? Ayo ke masjid!”
*

Hari kedua, Ayah menginginkan kami pergi ke pasar kambing yang lebih jauh. Sambil menahan kuap, aku menggerutu dan mulai memanaskan mesin mobil. Ayah malah asyik termenung entah memikirkan apa.

Pasar kedua lebih besar dan lebih ramai dari pasar pertama. Mungkin karena waktu semakin dekat dengan hari raya Idul Adha, semakin banyak orang datang untuk membeli hewan kurban.

Kali ini, alih-alih duduk di pojok, Ayah justru berkeliling sambil lalu dari satu pedagang ke pedagang lainnya. Ia mengobrol sebentar dengan mereka, melihat-lihat kambing dan kerbau yang dijual, menolak dengan halus tawaran diskon dari seorang pedagang sapi. Dan, dengan diam-diam namun seksama, mengamati setiap orang yang datang dan pergi. Saat adzan berkumandang, lagi-lagi Ayah tampak kecewa. Kami sholat di masjid terdekat, lalu pulang dalam diam. Belum ada tanda-tanda Ayah mau berbagi rahasianya.
*

Hari ketiga, kami pergi ke pasar kambing yang lain lagi. Aku makin penasaran, namun Ayah masih menolak buka mulut tentang misi misteriusnya ini. Berbagai kemungkinan bermunculan di otakku, tapi tak satupun cocok dengan gerak-gerik Ayah.

Mau beli hewan? Bukan.

Mau beli daging? Juga bukan.

Mau mencuri?? Astaghfirullah, pasti bukan!

Mau mencari seseorang?

Kemungkinan terakhir inilah yang samar-samar kulihat. Tapi siapa yang Ayah cari?




Allaahu akbar! Allaahu akbar!

Takbir pertama adzan Subuh terdengar di antara lenguhan kerbau dan embikan ribut kambing-kambing yang tengah kawin. Ayah menggeleng, tampak ragu dan bingung.

“Ayah mau apa sih sebetulnya?” Aku menghentakkan kaki. Kesal sekaligus ingin tahu.

“Ayah cuma sedang mencari...”

Begitu saja. Ayah membiarkan gumamannya menggantung di udara, tanpa menghiraukan serbuan pertanyaanku.

“Sudah ah, jangan banyak tanya! Ayo sholat, Zal.”
*

Hari-hari selanjutnya, tak banyak yang bisa kuceritakan. Ayah masih bertingkah misterius seperti kemarin-kemarin. Meski rasa ingin tahuku makin menggunung, aku mulai capek bertanya ataupun memprotes. Aku mengikuti kemanapun Ayah pergi. Ikut memelototi setiap orang atau kambing yang diamatinya. Menyimak dengan seksama semua percakapannya. Berharap dengan begitu aku bisa menemukan petunjuk atas segala keanehan tingkah laku Ayah.

Saat bosan membuntuti Ayah, aku akan berjalan ke salah satu kios daging atau kandang hewan. Aku memesan wedang jahe panas dari warung terdekat dan bergabung dalam obrolan ringan bersama pedagang kambing dan buruh pencari rumput. Entah bagaimana, penciumanku berdamai dengan bau prengus kambing dan aroma kotoran sapi.

wedang jahe

Aku tersenyum mendengar seseorang berkata, kesadaran masyarakat untuk berkurban makin tinggi. Makin banyak saja hewan miliknya yang terjual dari tahun ke tahun. Bukan hanya kepada pembeli-pembeli muslim, tapi juga pembeli-pembeli non-muslim yang ingin berbagi pada sesama di momen hari raya.

Aku turut mengangguk prihatin saat seseorang lainnya bercerita, terpaksa menurunkan harga sapi dan kerbaunya menjelang Idul Adha, bahkan hingga titik terendah di hari-hari Tasyrik—tiga hari sesudah hari raya, karena sesudah itu momen berkurban selesai dan dagangannya tak akan laku. Padahal ia tak mungkin memulangkan kembali hewan-hewan itu ke kampungnya; biayanya terlalu mahal.

Absurd memang, tapi aku pelan-pelan mulai menikmati suasana di tiap pasar yang kami datangi.

Tak terasa, tahu-tahu terdengar adzan Subuh. Ayah menghampiriku dengan bahu merosot.

“Belum ketemu juga, Yah?” kataku, meski aku tak tahu apa atau siapa yang dicarinya.

“Belum, Zal. Belum.” Ayah menggeleng-geleng lesu, lalu mengajakku pergi ke masjid.

*

Di hari raya Idul Adha, Ayah membangunkanku pagi-pagi buta. Tepat pukul setengah empat pagi. Sayup-sayup terdengar suara orang-orang bertakbir di kejauhan. Usai membasuh muka dan minum secangkir kopi, nyawaku kembali utuh. Ayah tengah duduk bertadarus, menungguku siap berangkat ke pasar kambing berikutnya. Kutatap wajah Ayah perlahan. Kerut-merut di dahinya. Alis keabu-abuan di pelipisnya. Binar redup di matanya. Dan kesedihan yang menggantung di bibirnya.  

“Apa yang sebenarnya Ayah cari?” kataku, bertekad mendapatkan jawaban hari ini.

Ayah meletakkan Alquran.

“Sampai kapan Ayah mau mencari? Berapa banyak pasar lagi yang mesti kita kunjungi sebelum Ayah puas?“

Masih hening.

“Cerita dong, Yah, cerita! Mungkin Rizal bisa bantu. Ayah nggak percaya sama Rizal?”

Jeda beberapa saat, sebelum akhirnya Ayah berdehem.

“Bukannya Ayah nggak percaya sama kamu, Zal. Ayah cuma.. cuma takut kamu akan menertawakan Ayah, atau menganggap Ayah gila.”

“Nggak akan, Yah. Rizal janji nggak akan berbuat begitu. Rizal tidak akan menganggap Ayah konyol atau gila.”

Ayah memandangiku lama, sebelum mendesah. Lalu, ia mengajakku berangkat ke pasar. Dalam perjalanan, ia mulai bercerita padaku tentang mimpi-mimpinya.

Sudah berkali-kali mimpi yang sama mendatanginya di malam hari. Samar-samar awalnya, tapi makin hari makin jelas. Ayah bermimpi tengah berada di sebuah tempat, dengan berpakaian ihram. Di sana ada kandang-kandang kayu, lengkap dengan hewan-hewan kurbannya. Ramai orang melihat-lihat dan memperjualbelikan hewan-hewan itu. Di antara kerumunan, muncul seorang laki-laki tua berpakaian ihram, yang menggenggam seutas tali tambang. Ujung lain tali itu terikat di leher seekor kambing gemuk miliknya. Laki-laki itu terlihat cemerlang oleh cahaya yang menyelimutinya. Laki-laki itu tersenyum pada Ayah. Lalu mendadak terdengar adzan Subuh, dan Ayah terbangun dari tidur.

Aku lama terdiam, berusaha mencerna cerita Ayah.

“Jadi, semua ini cuma soal mimpi?” seruku setengah tak percaya, setengah dongkol, mengetahui bahwa aku harus bangun pagi-pagi buta tiap hari untuk menjelajahi pasar-pasar kambing yang bau di seantero kota, hanya untuk memuaskan obsesi Ayah tentang mimpi anehnya!

“Zal! Ini bukan mimpi biasa. Ini pertanda!”

“Pertanda apa, Yah?” bantahku, kesal setengah mati.

“Entahlah. Mungkin mimpi Ayah sama seperti mimpi Nabi Ibrahim. Mimpi-mimpi yang punya makna. Dan Ayah merasa tidak akan tahu apa arti mimpi Ayah, kecuali Ayah berhasil menemukan laki-laki tua itu di dunia nyata.”

Mimpi, firasat, dan pertanda mungkin punya makna di zamannya. Zaman Ibrahim, ketika bermimpi menyembelih leher Ismail, putra tercintanya. Atau zaman Yusuf, ketika ia menakwilkan mimpi Sang Raja Mesir tentang paceklik yang melanda seluruh negeri. Tapi tidak di zaman edan ini.

“Astaga! Ayah,” seruku, lupa pada janjiku untuk tidak menganggap Ayah konyol ataupun gila. “Pertanda apa yang bisa didapat dari seorang laki-laki renta yang menuntun kambingnya di pasar?”

Ayah tak sanggup berkata-kata. Aku menggeleng-geleng, lalu menepi untuk memarkirkan mobilku. Kami sudah sampai.

Aku mengikuti Ayah berkeliling pasar. Dari semua tempat yang kami kunjungi, pasar kambing ini adalah pasar hewan yang paling besar dan paling ramai. Dalam cahaya kuning lampu-lampu milik para pedagang, kami mengamati kesibukan di sekeliling kami. Ratusan manusia dan hewan berbaur ribut.
Seorang laki-laki bertopi kain datang sambil bersiul-siul, lincah mengangkut sekarung rumput dan menumpahkannya ke dalam kandang kambing. Beberapa kawannya berjalan mendekat dengan karung-karung di punggung mereka, lalu ikut menumpahkan dedaunan ke dalam kandang-kandang lainnya. Para hewan penghuni kandang menyambut menu sarapan itu dengan embikan sukacita.

Seorang wanita penjual sate Madura bersuara nyaring dan seorang pedagang daging saling tawar-menawar harga dengan seru. Di kios-kios sebelahnya, para pria penjual bakso keliling sedang memilih-milih daging dan menyerahkannya untuk ditimbang dan digiling.

Sebuah truk besar berisi sapi-sapi datang tak lama kemudian. Supir truk turun dan membetulkan celananya yang melorot. Kenek mengecek kembali daftar jumlah sapi dan nama-nama pedagang yang memesan sapi. Kuli-kuli berlarian mendekat untuk menurunkan sapi-sapi yang melenguh pasrah dan menyeret mereka ke kandang-kandang para pedagang hewan kurban.

Aku masih terpesona pada semua keriuhan itu ketika tangan Ayah mencengkeram lenganku.

“Rizal!” suara Ayah tercekat. Tatapannya tertancap ke suatu titik di depan sana. Kuikuti arah pandangan Ayah, dan tak peduli sesering apapun mataku bolak-balik menyisir tempat itu, aku tak menemukan sesuatupun yang istimewa. Saat aku sadar, ternyata Ayah sudah berjalan meninggalkanku.

Sambil mengomel, kuikuti saja langkahnya. Ayah berhenti di depan sebuah kandang yang terang benderang oleh lampu.

“Lihat laki-laki itu. Yang berbaju putih,” perintah Ayah. 

gambar dari sini

Kira-kira berjarak satu meter di sampingnya, seorang laki-laki tua berbicara dengan pedagang kambing. Usianya sebaya dengan Ayah, hanya saja tubuhnya tampak kurus dan ringkih. Kemeja putihnya dekil dan lusuh. Sesekali, ia membetulkan sumbu sandal jepitnya yang lepas saat ia mondar-mandir mengamati kambing-kambing lain. Lalu laki-laki itu terdiam dan mengelus-elus seekor kambing dalam kandang. Diam-diam kami mendekati mereka seperti dua orang wanita pengggosip yang hendak mencuri dengar percakapan.

Tak lama, kedua laki-laki itu mencapai sepakat. Si laki-laki kurus mengeluarkan tumpukan uang dari sakunya, dan memberikannya pada si pedagang, yang segera menghitungnya dengan tangan terlatih. Lembaran-lembaran uang lusuh itu kebanyakan pecahan sepuluhribuan, limaribuan, bahkan ada yang seribuan. Bagaimanapun, uang tetap uang, dan si pedagang tampak puas dengan jumlahnya.

Kambing yang tadi pun berpindah tangan pada si laki-laki kurus. Dengan sedikit bujukan menenangkan, kambing itu berhenti mengembik ribut. Tanpa ragu, Ayah membuntuti si pembeli berjalan menuntun kambingnya menuju pintu keluar di mana sebuah bajaj sudah menunggu.

“Kita ikuti dia!” perintah Ayah begitu tegas dan tak terbantahkan, sehingga aku langsung mematuhinya. Kami lari lintang pukang menuju mobil, lalu berusaha mengejar bajaj itu.

“Cepat, Zal! Jangan sampai kehilangan dia!” Ayah berusaha mengatur kembali napasnya yang tak beraturan.

Bajaj itu lumayan ngebut dan sering tiba-tiba berbelok seenaknya di tikungan, tanpa memberi tanda lampu sein. Untunglah lalu lintas sepi.

Bajaj itu akhirnya menepi, lalu pergi setelah penumpang-penumpangnya turun. Kuparkir mobilku agak jauh di belakang. Ayah dan aku berjingkat membuntuti si laki-laki tua dan kambingnya, masuk ke sebuah gang.

Objek pengintaian kami berhenti di depan masjid kecil. Si laki-laki menyerahkan kambing itu pada seorang pemuda berkopiah, yang menatapnya tak percaya. Dari tempat kami berdiri, percakapan mereka terdengar.

“Tumben Pak baru muncul? Biasanya udah nongkrong di masjid, nungguin adzan. Lho, ini kambing siapa?”

“Iya, Nak. Bapak baru pulang dari pasar. Ini kambing Bapak... Bapak mau berkurban.”

Pemuda itu terpana.

“Nak? Kenapa diam saja? Apa... kambing Bapak kekecilan ya?” suara renta itu sedikit bergetar, “Uang Bapak cuma bisa buat beli kambing ini. Tapi kata yang jual sih, kambingnya memenuhi syarat kok... Sudah cukup umur. Sehat.”

Si pemuda berkopiah tersadar, dan tersenyum haru. “Bapak... pasti rajin menabung ya, sampai akhirnya bisa beli kambing kurban ini.”

“Itulah, Nak... Sudah lama sebetulnya Bapak ingin berkurban. Bapak malu sama Allah, seumur hidup kok nerima daging kurban terus... Makanya meski seribu-duaribu, Bapak paksakan menabung. Alhamdulillah.. walau Bapak cuma tukang sampah, ada saja Nak rezekinya.. sampe ngumpul itu duit buat beli kambing.”

“Subhanallah, Allah mengabulkan impian Bapak,” ucap si pemuda.

“Iya, Nak... Anak mau tahu impian Bapak selanjutnya? Bapak ingin sekali naik haji...”

Si pemuda tercengang sekali lagi pada laki-laki di depannya. Petugas kebersihan di kampung mereka, yang berpuluh tahun setia bergelut dengan sampah dan hanya mendapat upah kecil sebagai imbalannya. 

Seekor kambing masih mungkin terbeli, tapi berhaji?

Laki-laki tua itu tersenyum maklum, seolah bisa menebak isi hati si pemuda.

“Nah. Nah. Anak pikir impian Bapak ini mustahil terwujud kan?” Lelaki tua itu terkekeh, “Jujur, Bapak ini sudah uzur, Nak. Sudah bau tanah. Bapak tidak tahu, butuh berapa belas tahun sampai tabungan Bapak cukup buat naik haji. Mungkin Bapak sudah keburu meninggal sebelum sempat pergi ke Mekah... Tapi nggak salah kan, Nak, kalau Bapak terus menyisihkan uang sambil berharap mimpi itu jadi nyata? Yah... Siapa tahu Allah kasihan sama Bapak, terus mengabulkan doa Bapak.”

“Iya, Pak... Aamiin. Saya ikut mendoakan Bapak!”

"Aamiin," sambil berbisik di balik tembok, aku ikut mengaminkan.

“Kalau begitu, tolong diterima ya kambingnya. Bapak mau pulang.”

“Lho, nggak ikut Subuhan bareng nih Pak? Saya baru aja mau adzan.”

“Waduh, badan saya prengus begini, harus mandi dululah. Kasihan nanti jamaah lainnya kebauan,” lelaki tua itu tertawa sumringah. Sekali lagi, dibetulkannya sumbu sandal jepitnya yang lepas, lalu melangkah pergi.

Di balik tembok masjid, aku dan Ayah berpandangan. Mendapati kedua mata kami sama-sama basah.

“Itu dia, Zal. Dialah pertanda itu. Lelaki yang muncul dalam mimpi-mimpi Ayah,” Ayah mengusap airmata dengan lengan baju kokonya.

Tak lama kemudian, adzan Subuh berkumandang merdu dari pengeras suara di menara masjid. Kami sholat berjamaah, lalu Ayah minta tolong pada si muadzin untuk mengantarkan kami ke alamat rumah lelaki tua tadi.

“Apa yang akan Ayah lakukan sekarang?” tanyaku sambil berjalan lekas-lekas di belakang si muadzin. Gema takbir terdengar bersahut-sahutan dari masjid ke masjid.

“Kamu nggak dengar ucapannya tadi? Tentang impiannya pergi ke Baitullah?”

“Maksud Ayah...”

“Insya Allah, tahun depan kan kita jadi berangkat haji. Ayah akan mengajak laki-laki itu pergi bersama kita.”

***

Baitullah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentarnya :)