Membaca bagian-bagian awal buku, saya penasaran, seperti apa ya rasanya punya saudara kembar? Terutama kembar identik, seperti Adi dan Ari Witjaksono dalam Kakak Batik. Seru banget kali ya, ada teman seperjuangan bareng dalam satu rahim yang sama, lahir di waktu yang hampir sama, punya rupa wajah yang sama, dan tumbuh besar bersama. Karena itu, katanya antara saudara kembar punya ikatan batin yang kuat satu sama lain.
Di luar kesamaan dan kedekatan antar saudara kembar, takdir dan masa depan yang ditulis Tuhan untuk mereka belum tentu sama. Seperti yang dialami Adi dan Ari, yang sama-sama bercita-cita jadi dokter. Meski keduanya sama-sama sudah berusaha keras, takdirNya memutuskan Adi tidak lulus ujian masuk fakultas kedokteran. Adi sempat kecewa, bahkan iri pada kembarannya yang sudah mulai asyik dengan kegiatannya di kampus. Akhirnya, Adi nekat meninggalkan Surabaya untuk mengadu nasib ke Jakarta.
Adi hidup prihatin di Jakarta, bekerja serabutan. Jadi tukang parkir, kuli bangunan, menulis cerita-cerita anak di media, sampai jadi baby sitter anak penyandang polio. Salut nih dengan prinsip hidup Adi, "mencari nafkah dengan cara apa saja yang penting halal". Tidak seperti sebagian anak muda lain yang malas merintis kesuksesan dari nol, gengsi kalau ngga kerja kantoran atau kerja di dalam ruangan ber-AC.
Adi bertemu suami-istri Dibyo yang sangat concerned dengan dunia anak-anak. Adi yang penyuka anak-anak bergabung dalam kegiatan taman bermain anak yang dikelola Pak dan Bu Dibyo. Ternyata, cara Adi mengajar dan mengajak bermain, dengan lagu dan pertunjukan boneka, disukai anak-anak. Dengan segera Adi jadi idola bocah-bocah dengan julukan kesayangan "Kakak Batik" karena hobi berbaju batik.
Lambat laun namanya mulai dikenal masyarakat lewat berbagai acara untuk anak-anak, off air mau pun televisi. Kehidupan finansial Adi perlahan membaik. Setelah mencoba lagi ikut ujian masuk FK sebuah universitas di Jakarta dan gagal lagi, Adi belajar menerima: masa depan yang sudah ditakdirkan buatnya mungkin berbeda dengan yang dia inginkan. Pak Dibyo malah berpendapat, Adi lebih cocok mendalami ilmu psikologi. Sesuai dengan hobinya berinteraksi dengan orang banyak, terutama anak-anak.
Tadinya sempat rancu juga.. Sebetulnya cerita dalam buku ini pengalaman nyata atau bukan ya? Karena di sampul belakang buku ditulis kategori fiksi, tapi di sisi lain isinya Kak Seto banget. Nah, ketika saya baca profil penulis di halaman akhir, ternyata bisa dibilang buku ini adalah catatan perjalanan beliau sendiri, dibumbui cerita cinta fiksi.
Kisah roman antara Adi dan Inna, seru dan cukup proporsional dibandingkan dengan kisah perjalanan Adi di dunia anak. Tapi saat pertama membaca buku ini, sebetulnya saya berharap akan menemukan lebih banyak cerita tentang interaksi Adi dan anak-anak. Soalnya, waktu kecil dulu saya sendiri adalah pengagum Kak Seto, karena gaya bicaranya yang ramah dan sabar, selain itu suaranya juga empuk, hehehe. Saya penonton setia serial Si Komo, lho. Memang ya, salah satu cara efektif mengajak anak kecil belajar ya lewat lagu, cerita dan permainan. Jadi terasa fun, bukan seperti lagi belajar betulan. :D
Sayang juga sih, tidak ada tokoh anak kecil dalam cerita, yang digali lebih dalam. Misalnya, anak bu Winata yang diasuh Adi. Soal anak ini tidak disinggung banyak, kecuali bahwa ia penyandang polio dan memerlukan lebih dari sekedar pengasuh biasa. Padahal bila digali lagi, misalnya gimana proses Adi bisa akrab dengan anak bu Winata, pasti bakal menarik banget.
Atau ketika ada seorang ayah curhat pada Adi tentang kebingungannya membesarkan tiga anak kembar sekaligus. Saya penasaran lho, kayak apa suka duka punya anak kembar, bagaimana hebohnya andai para kembar saling bertengkar, dan bagaimana orangtua harus memperlakukan mereka semua dengan adil. Tapi, lagi-lagi hal ini hanya disinggung sepintas, sebagai cikal bakal ide didirikannya Yayasan Nakula Sadewa untuk anak-anak kembar.
Atau ketika Adi terjun membimbing anak-anak jalanan, juga anak-anak yang terlibat kasus kriminal. Bahwa anak-anak ini pada dasarnya baik, hanya saja lingkungan yang keras bisa membentuk mereka jadi jahat. Sayang soal ini juga tidak diceritakan lebih rinci.
Mudah-mudahan, lain kali Kak Seto mau menulis buku lainnya tentang pengalaman-pengalaman serunya bersama anak-anak ya.
Tadinya sempat rancu juga.. Sebetulnya cerita dalam buku ini pengalaman nyata atau bukan ya? Karena di sampul belakang buku ditulis kategori fiksi, tapi di sisi lain isinya Kak Seto banget. Nah, ketika saya baca profil penulis di halaman akhir, ternyata bisa dibilang buku ini adalah catatan perjalanan beliau sendiri, dibumbui cerita cinta fiksi.
Kisah roman antara Adi dan Inna, seru dan cukup proporsional dibandingkan dengan kisah perjalanan Adi di dunia anak. Tapi saat pertama membaca buku ini, sebetulnya saya berharap akan menemukan lebih banyak cerita tentang interaksi Adi dan anak-anak. Soalnya, waktu kecil dulu saya sendiri adalah pengagum Kak Seto, karena gaya bicaranya yang ramah dan sabar, selain itu suaranya juga empuk, hehehe. Saya penonton setia serial Si Komo, lho. Memang ya, salah satu cara efektif mengajak anak kecil belajar ya lewat lagu, cerita dan permainan. Jadi terasa fun, bukan seperti lagi belajar betulan. :D
Sayang juga sih, tidak ada tokoh anak kecil dalam cerita, yang digali lebih dalam. Misalnya, anak bu Winata yang diasuh Adi. Soal anak ini tidak disinggung banyak, kecuali bahwa ia penyandang polio dan memerlukan lebih dari sekedar pengasuh biasa. Padahal bila digali lagi, misalnya gimana proses Adi bisa akrab dengan anak bu Winata, pasti bakal menarik banget.
Atau ketika ada seorang ayah curhat pada Adi tentang kebingungannya membesarkan tiga anak kembar sekaligus. Saya penasaran lho, kayak apa suka duka punya anak kembar, bagaimana hebohnya andai para kembar saling bertengkar, dan bagaimana orangtua harus memperlakukan mereka semua dengan adil. Tapi, lagi-lagi hal ini hanya disinggung sepintas, sebagai cikal bakal ide didirikannya Yayasan Nakula Sadewa untuk anak-anak kembar.
Atau ketika Adi terjun membimbing anak-anak jalanan, juga anak-anak yang terlibat kasus kriminal. Bahwa anak-anak ini pada dasarnya baik, hanya saja lingkungan yang keras bisa membentuk mereka jadi jahat. Sayang soal ini juga tidak diceritakan lebih rinci.
Mudah-mudahan, lain kali Kak Seto mau menulis buku lainnya tentang pengalaman-pengalaman serunya bersama anak-anak ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)