Judul : First Phone Call From Heaven
Pengarang : Mitch Albom
Penerjemah : Julanda Tantani
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 424 halaman
"Dad? ... Ini aku, Robbie."
"Siapa ini??"
"Aku bahagia, Dad. Jangan mencemaskan aku, oke?"
Coldwater adalah sebuah kota sepi di Michigan, di mana para penduduknya saling mengenal satu sama lain sampai tiga generasi. Kantor surat kabarnya hanya menerbitkan koran lokal seminggu sekali saja karena, yah, memang hampir tak pernah ada berita besar di Coldwater. Hampir.
"Siapa ini??"
"Aku bahagia, Dad. Jangan mencemaskan aku, oke?"
Coldwater adalah sebuah kota sepi di Michigan, di mana para penduduknya saling mengenal satu sama lain sampai tiga generasi. Kantor surat kabarnya hanya menerbitkan koran lokal seminggu sekali saja karena, yah, memang hampir tak pernah ada berita besar di Coldwater. Hampir.
Sampai suatu hari, kota itu mendadak heboh karena beberapa penduduk mengaku ditelepon oleh orang-orang yang sudah meninggal. Tess Rafferty ditelepon Ruth, ibunya yang meninggal setelah lama menderita penyakit Alzheimer. Katherine Yellin ditelepon Diane, kakaknya yang mati mendadak akibat pecahnya pembuluh darah otak. Jack Sellers dan Doreen Franklin, mantan istrinya, dihubungi oleh Robbie, putra mereka yang telah gugur di Afghanistan. Elias Rowe mendapat kontak dari mendiang Nick Joseph, mantan pekerjanya. Masih ada lagi yang lainnya.
Sully, mantan pilot AL yang dinyatakan bersalah sebagai penyebab jatuhnya sebuah pesawat, baru bebas dari hukuman penjara. Belum lama berselang, istrinya meninggal usai koma yang panjang akibat kecelakaan.
Kau harus memulai lagi. Begitulah kata orang. Tapi kehilangan orang yang kita cintai tak pernah benar-benar "memulai lagi". Lebih seperti "melanjutkan tanpa".
Setelah rentetan kegetiran yang dialaminya, Sully Harding menganggap telepon itu hanya lelucon, tipuan. Dia tak percaya Tuhan, apalagi surga.
Tidak ada surga. Orang mati tetap mati. Saatnya menerima kenyataan itu.
Coldwater tiba-tiba dibanjiri manusia yang datang dari kota, negara, bahkan benua lain.
Semua orang punya agenda masing-masing.
Produsen telepon mendadak tertarik memasang baliho-baliho iklan dan berinvestasi di kota kecil itu, karena ribuan orang ingin membeli pesawat telepon yang sama seperti yang dimiliki para penerima telepon dari surga. Rumah-rumah yang dijual di Coldwater laku keras oleh para pembeli yang ingin mendapat mukjizat dengan tinggal di sana.
Para reporter dan mobil peralatannya berdatangan. Pemodal-pemodal membuka restoran, losmen, dan kios di sepanjang jalan menuju Coldwater. Antrean panjang terjadi setiap hari di mana-mana.
Para reporter dan mobil peralatannya berdatangan. Pemodal-pemodal membuka restoran, losmen, dan kios di sepanjang jalan menuju Coldwater. Antrean panjang terjadi setiap hari di mana-mana.
Mereka yang yakin telepon-telepon itu sungguh berasal dari surga dan
ingin jadi bagian darinya, berkemah di Coldwater dan sibuk berdoa
memohon keajaiban. Sebagian lagi yang tak percaya pada surga, atau
menganggap ini cuma tipuan berteknologi, sibuk menggelar demonstrasi.
Berita soal telepon surgawi ini begitu berpengaruh, sampai-sampai Jules, anak Sully, membawa-bawa telepon mainan karena berharap akan ditelepon ibunya dari surga. Saat itulah Sully muak dan memutuskan untuk membuktikan kepalsuan telepon-telepon itu. Dia memulai penyelidikannya sendiri.
Lagi-lagi, saya mengagumi Mitch Albom karena sudah memilih tema tak biasa--bahkan mungkin kontroversial. Bisa bercakap-cakap lagi dengan orang-orang tersayang yang telah tiada? Saya sendiri pernah berandai-andai seperti itu ketika merindukan almarhum ayah saya. :)
Saya sangat menyukai cara Albom berulang kali menyelipkan sejarah tentang proses penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell. Bukan cuma dari sisi sains, tapi juga dari sisi yang humanis.
Bell adalah guru yang mengajar murid-murid tuna rungu. Salah satunya yang kemudian menjadi istri Bell, Mabel Hubbard, tuli sejak kecil. Saya juga baru tahu bahwa ibu Bell memiliki gangguan pendengaran. Mungkin merekalah yang sedikit banyak mengilhami Bell dalam menciptakan telepon, salah satu penemuan terbesar dalam sejarah kita. Penemuan itu bahkan mungkin tak akan diketahui dunia jika Alexander Bell tidak datang ke sebuah pameran di Philadelphia. Ia tadinya hanya kebetulan ada di kota itu, untuk menemani Mabel mengunjungi ayahnya.
Pembicaraan telepon yang pertama kali antara Bell dengan Thomas Watson, yang berdiri di ruangan-ruangan terpisah, mengandung kata-kata ini, 'Kemarilah. Aku ingin bertemu denganmu'.
Dalam percakapan telepon antar manusia yang tak terhitung jumlahnya setelah itu, konsep tersebut tak pernah jauh dari bibir. 'Kemarilah. Aku ingin bertemu denganmu'.
Suara di telepon itu hanya sepotong bujukan untuk bertemu, sekeping roti untuk memuaskan selera.
Bagian-bagian awal buku, di mana telepon-telepon mulai berdering, cukup emosional buat saya. Hampir semua yang menerima telepon merasa bahagia bisa mendengar lagi suara orang-orang yang mereka cintai. Sedikit demi sedikit kenangan mereka semasa hidup dikupas dalam cerita. Saya pikir aura melankolis ini bakal bertahan sampai akhir buku, tapi ternyata tidak!
Cerita rupanya bergerak ke arah yang berbeda. Penyelidikan Sully yang lumayan sistematis, perlahan mulai menemukan jejak berharga. Sully berusaha mencari tahu benang merah yang menghubungkan para penerima telepon surgawi itu. Menggali dan menggabungkan keping-keping informasi dari rumah pemakaman, kantor surat kabar, sampai toko yang menjual pesawat telepon. Rasanya jadi seperti sedang baca novel detektif. Saya mengikuti perkembangan ini dengan penuh minat. Penasaran sih!
Konflik makin seru saat kepentingan banyak pihak berbenturan gara-gara telepon surga.
Pihak gereja berselisih pendapat soal pantas-tidaknya peristiwa ini disebut mukjizat. Para penerima telepon merasa privasinya terganggu oleh serbuan wartawan, dan kenangan mereka tentang orang-orang terkasih dieksploitasi oleh pers. Belum lagi jaringan televisi nasional yang berusaha meraup untung sebesar-besarnya dari upaya menyiarkan panggilan telepon surgawi secara live. Kelihatan sekali di sini, dunia showbiz itu materialistis.
Klimaks cerita justru berada hampir di akhir, saat Sully menemukan dalang tak terduga atas kehebohan di Coldwater. Siapa? Tuhan, atau bukan? Tak hanya itu, Sully menemukan satu hal lagi: panggilan telepon dari surga itu terjadi karena dirinya.
Aku mendengarkan cerita-cerita mereka. Mendengarkan penyesalan-penyesalan mereka. Hampir semua menyimpan satu keinginan tunggal: untuk berbicara dengan orang-orang yang mereka sayangi sekali lagi.
Aku memutuskan untuk mewujudkan hal itu bagi mereka.
*
Lagi-lagi, saya mengagumi Mitch Albom karena sudah memilih tema tak biasa--bahkan mungkin kontroversial. Bisa bercakap-cakap lagi dengan orang-orang tersayang yang telah tiada? Saya sendiri pernah berandai-andai seperti itu ketika merindukan almarhum ayah saya. :)
Saya sangat menyukai cara Albom berulang kali menyelipkan sejarah tentang proses penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell. Bukan cuma dari sisi sains, tapi juga dari sisi yang humanis.
Bell adalah guru yang mengajar murid-murid tuna rungu. Salah satunya yang kemudian menjadi istri Bell, Mabel Hubbard, tuli sejak kecil. Saya juga baru tahu bahwa ibu Bell memiliki gangguan pendengaran. Mungkin merekalah yang sedikit banyak mengilhami Bell dalam menciptakan telepon, salah satu penemuan terbesar dalam sejarah kita. Penemuan itu bahkan mungkin tak akan diketahui dunia jika Alexander Bell tidak datang ke sebuah pameran di Philadelphia. Ia tadinya hanya kebetulan ada di kota itu, untuk menemani Mabel mengunjungi ayahnya.
Pembicaraan telepon yang pertama kali antara Bell dengan Thomas Watson, yang berdiri di ruangan-ruangan terpisah, mengandung kata-kata ini, 'Kemarilah. Aku ingin bertemu denganmu'.
Dalam percakapan telepon antar manusia yang tak terhitung jumlahnya setelah itu, konsep tersebut tak pernah jauh dari bibir. 'Kemarilah. Aku ingin bertemu denganmu'.
Suara di telepon itu hanya sepotong bujukan untuk bertemu, sekeping roti untuk memuaskan selera.
Bagian-bagian awal buku, di mana telepon-telepon mulai berdering, cukup emosional buat saya. Hampir semua yang menerima telepon merasa bahagia bisa mendengar lagi suara orang-orang yang mereka cintai. Sedikit demi sedikit kenangan mereka semasa hidup dikupas dalam cerita. Saya pikir aura melankolis ini bakal bertahan sampai akhir buku, tapi ternyata tidak!
Cerita rupanya bergerak ke arah yang berbeda. Penyelidikan Sully yang lumayan sistematis, perlahan mulai menemukan jejak berharga. Sully berusaha mencari tahu benang merah yang menghubungkan para penerima telepon surgawi itu. Menggali dan menggabungkan keping-keping informasi dari rumah pemakaman, kantor surat kabar, sampai toko yang menjual pesawat telepon. Rasanya jadi seperti sedang baca novel detektif. Saya mengikuti perkembangan ini dengan penuh minat. Penasaran sih!
Konflik makin seru saat kepentingan banyak pihak berbenturan gara-gara telepon surga.
Pihak gereja berselisih pendapat soal pantas-tidaknya peristiwa ini disebut mukjizat. Para penerima telepon merasa privasinya terganggu oleh serbuan wartawan, dan kenangan mereka tentang orang-orang terkasih dieksploitasi oleh pers. Belum lagi jaringan televisi nasional yang berusaha meraup untung sebesar-besarnya dari upaya menyiarkan panggilan telepon surgawi secara live. Kelihatan sekali di sini, dunia showbiz itu materialistis.
Klimaks cerita justru berada hampir di akhir, saat Sully menemukan dalang tak terduga atas kehebohan di Coldwater. Siapa? Tuhan, atau bukan? Tak hanya itu, Sully menemukan satu hal lagi: panggilan telepon dari surga itu terjadi karena dirinya.
Aku mendengarkan cerita-cerita mereka. Mendengarkan penyesalan-penyesalan mereka. Hampir semua menyimpan satu keinginan tunggal: untuk berbicara dengan orang-orang yang mereka sayangi sekali lagi.
Aku memutuskan untuk mewujudkan hal itu bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentarnya :)